MIMPI DAN API

(Adi Dev Onk)
SEBELUM mandi pagi ia nyayi-nyanyi seperti biasa.
“Susahnya jadi orang
Yang jatuh cinta
 Jangankan harta
Nyawa pun rela”
Bibi menghampiri wajah pintu.
“Hari ini kamu akan keluar?”
“Ya, kenapa Bik”
“Kemarin pamanmu telpon...”
Si laki-laki membatin. Bibi pasti mau minta tolong untuk diambilin uang di ATM, kemarin pasti paman baru mengirim uang.
“Kemarin pamanmu telpon, kalau kamu keluar kamu disuruh hati-hati”
Bibi menceritakan mimpi paman. Dan menceritakan bahwa paman langsung telpon jam tiga dini hari agar bibi bisa segera memberitahu Si lelaki. Wah sepertinya permasalahn urgen.
“Ya terimakasih Bik”
Bibi kembali ke warung. Dahi Si laki-laki mengerenyit menafsirkan mimpi itu.
“Ah mungkin cuma bunga tidur”
“Tapi aku tetap harus waspada”. Bicara pada diri sendiri.
Setelah sempat meluangkan waktu beberapa menit menggendong keponakannya. Si alki-laki berangkat ke kampus.  Penyakit kronis lalainya berangkat ke tempat aktivitas tetap terjadi.  Sehingga ia harus memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Namun ia tetap ingat dengan firasat buruk pamannya . Tapi bagi dia: Hati-hati bukan berarti tidak ngebut. Hati-hati itu boleh ngebut dengan  catatan tingkat kefokusan tinggi saat berkendara.
Dia telat tiba di kampus namun diperbolehkan masuk karena keterlambatannya belum melampaui lima belas menit toleransi keterlambatan. Dia tidak pernah membaca materi diskusi  hari itu. Dia tidak bertanya. Tidak mengeluarkan pendapat. Dia hanya menjadi penonton.
Dan kepasifan itu bukanlahhal yang dia senangi. Kuliah berakhir. Dia membuka gembok motor kemudian mengendarainya ke Sekret Unit Kegiatan Mahasiswa.Cukup lama ia disana. Ia merasa monoton. Dia butuh suasana baru.
“Gdmna Tar?”
“Dkos Muli”
“Kerjain skripsi?”
“Gk, lg mxendiri”
“Skrang kt jalan yok!”
“ Kemana?,Blm mandi”
“Mandi ja dulu, kemana aja q kan temenin”
“Skrg kn Jumat. Selese Jumat ja biar sampe kpn2”
Beberapa menit menonton pertandingan tenis meja amatrian. Bosannya sudah tak terbendung.
“Mera, kamu ada kuliah?”
“Ada”
“Jam berapa?”
“Jam dua”
“Kita cari es buah yok!”
“Ayok”
Sekembali dari membeli es buah. Ia membuka tas dan mengeluarkan novel. Mencoba mengisi waktu dengan membaca. Mera sempat mengomentari kebiasaan baiknya mengisi waktu luang dengan membaca. Namun baru membaca beberapa halaman kantuknya tak tertahankan. Setan-setan sudah bergelantungan di kelopak matanya.
“Mer , nanti kalau udah azan bangunin ya”
“OK”
Dia terjaga dari tidur singkatnya. Dia mengajak salah satu temannya pergi Jumatan. Temannya  malah menjelaskan kalau jumatan sudah selesai.
****
Sore itu Tari sudah meninggalkan  kost Muli.  Ada seorang teman yang mencoba menghiburnya di kamar kost-nya. SMS masuk ke HP-nya.
“Jd?”
“Jadi, dmna tu? V masih ada tmen ne dikos”.
“Di Studio”
“Tari jmput ato gmna?”
“Jmput dah”
Satu jam berlalu Tari baru berangkat menjemput Si laki-laki. Sesampai di studio mereka tidak langsung berangkat tapi ngobrol santai berbagai macam hal dulu disana. Mulai dari ngobrolin pemilihan gubernur  yang masih berjalan proses rekapitulisasinya, dan tentunya ngobrolin tujuan utama pertemuan mereka.
Mereka meninggalkan studio  itu dengan arah tujuan yang belum pasti. Mereka ngobrol sepanjang perjalanan.
“Bagaimana hubunganmu dengan Nadya?”
“Enggak jelas. Tadi itu, dia di dalam ruang siaran lho”
“Hati-hati lho, jangan sampai anak orang bunuh diri”
“Aku enggak yakin dia bisa percaya kalau kita cuman temenan, tapi...peduli amat”
“Eh bagaiamana kalau kita ke taman kota?”
“Boleh”

Gerimis berbisik pada petang. Daun-daun mulai nampak siluet. Angin malu-malu mendekap dua tubuh manusia bagai satu jiwa itu. Panggilan menghadap bersujud pada-Nya menggema.
“Hari ini aku sedang tidak ber-Tuhan”
“Kenapa?”
“Tadi ketiduran jadi enggak sempat shalat Jumat..  Dan seperti biasa kalau udah gitu merembetke Asyhar juga“
“Kalau lagi galau kayak gini kita harus mendekatkan diri pada Allah”
Akhirnya dua insan itu selesai menyapa penciptanya. Mereka berkeliling di taman yang remang-remang. Berjumpa dengan sosok-sosok berpasangan.  Suasana romantis untuk manusia-manusia yang sedang mabuk asmara. Bisikkan-bisikkan nakal mendekati jiwa. Tapi mereka mampu tepiskan perlahan.
Jagung bakar, rujak dan sate bulayak menemani sharing mereka di remang-remang. Seperti sudah tak ada rahasia pada dua jiwa ini. Tak ada kata tabu pada kamus mereka. Jiwa mereka menyatu. Pengalaman rahasia melepas keperjakaan si laki-laki sudah diketahui si perempuan.  Hubungan mereka ditanggapi aneh oleh mereka yang pura-pura aneh mendengar kisah mereka.  Seksualitas masih dianggap tabu di masyarakat kita namun diam-diam mereka doyan.
“Eh, tadi pagi bibiku bercerita bahwa pamanku berfirasat buruk padaku”
“Maksudnya?”
“Kata bibi, paman mimpi tentang aku. Di dalam mimpinya itu paman datang ke rumah mau pinjam uang ke aku tapi malu ngomong. Di rumah, paman mendapati ibu sedang mengipas sate dan aku tiba-tiba dateng dengan lengan baju sebelah kanan yang robek karena dilalap api. Aku enggak ngerti arti mimpi itu. Tapi mungkin ada kaitannya dengan kita yang makan sate hari ini ya”, Sambil menunjuk ke arah pedagang yang sedang mengipas sate.

Kumandang azan Isya terdengar agak unik. Membuat ibu-ibu setengah baya berlogat bali di sebelah mereka tertawa. Ibu-ibu itu pulang meninggalakn ampas-ampas bulayak. Dua insan itu masing asyk ngobrolin kisah super pribadi mereka masing-masing. Satu persatu pengunjung pulang. Pedagang-pedang terlihat membereskan dagangan mereka. Semakin malam taman semakin sepi. Akhirnya mereka juga memutuskan meninggakan taman.
Di perjalan obrolan mereka berlanjut lagi. Seolah tak habis-habis bahan obrolan mereka.
“Kita mampir Mall ya”
“Ngapain?”
“Lihat-lihat buku sekalian aku mau numpang kencing di Mall”
“Kenapa enggak di pinggir jalan aja tadi?”
“Sekalipun aku lagi enggak ber-Tuhan, aku enggak nyaman seperti itu”


Mereka agak susah memarkir motor mereka. Kendaraan berjubel. Mall itu memang enggak pernah sepi pengunjung. Mungkin karena satu-satunya Mall di propinsi itu.
Mereka masuk melalui tangga pintas menuju lantai dua. Masuk ke WC dan langsung menuju ke Book Land. Mata mereka sibuk menyisir rak buku obralan. Si lelaki memburu buku-buku yang berbau sastra sementara Tari selalu tertarik untuk membuka buku-buku resep memasak. Tak satu pun buku yang membuat mereka benar-benar tertarik. Mereka berpindah ke Karisma. Beberapa menit disana Si lelaki menemukan sebuah ontologi cerpen yang membuatnya tertarik. Baru beberapa saat melihat daftar isi buku itu tiba-tiba Handphone-nya bergetar.
“Lg dmna? Hati-hati kalau plg”
“ Lg d Kota.Ya Ayah”
Laki-laki itu memperlihatkan isi cerpen itu ke Tari.
“Kalau akau tidak tahu namamu, bagaiamana aku bisa membawamu ke surga”
“Ah bagaimana mungkin kamu yang bergelut di dunia seperti ini bisa membawa orang lain ke Surga, pelacur. Goyangan dan eranganmu saja palsu, hanya untuk memuaskan pelanggan. Kalau kamu sudah tua dan tak laku lagi kamu mau jadi apa?”
“Mucikari”
Melihat dialog dalam cerpen itu Tari berkomentar.
“Vulgar sekali, mirip cerita-ceritanya Ayu Utami’
“Karya Ayu Utami yang apa saja yang pernah kamu baca?”
“Nayla...”

Pramuniga toko buku itu dengan gerak cepat mematikan sesuatu.
“Ada apa Mas?”
“Ada kebakaran. Itu asapnya sampai sini. Keluar dulu ya Mas”, tak ada intonasi panik sama sekali.
“Apa?! Kebakaran?!”, Tari panik
Mereka lari menuju pintu keluar.
 “Mas dimana kebakarannya?”
“Motor Mas dimana?” Pramuniaga malah balik bertanya.
“Di belakang”
“Emm lewat mana ambilnya ya.. lewat sisni aja Mas”. Pramuniaga ini tidak kalah santai dengan parmuniaga sebelumnya.
“Ayo cepatan.!” Tari semakin panik.
            Si lelaki sempat menoleh ke arah utara. Asap tebal mengepul. Dia menarik tangan Tari. Mereka berlari meyelamatkan diri. Si lelaki tetap mengingatkan Tari untuk jangan terlalu panik agar otak mereka tetap bisa bekerja sehingga tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk. Semua pengunjung berhamburan keluar. Keadaan jadi kacau. Eskalator-eskalator mati. Si lelaki dan Tari menerobos kendaraan-kendaraan yang juga buru-buru meninggalakan Mall. Jalanan macet. Klakson kendaraan bersahut tanpa henti. Teriak histeris melengking. Tangisan berhamburan. Untungnya Si lelaki dan Tari berhasil menyelamatkan diri.
“Mungkin itu maksud mimpi pamanmu itu”.

****

Ketapang, 19 Mei 2013 | 01:46

0 komentar: