MENDUNG SEMAKIN MENDUNG



MENDUNG SEMAKIN MENDUNG

(Adi Dev Onk)

            LANGIT GELAP berselimut awan hitam tebal. Gemuruh petir mencekam. Sepertinya siang itu akan turun hujan lebat. Keluarga dan tetangga dekat Jalim berkumpul di rumahnya. Di tengah alunan merdu pembacaan surat Yasin  yang semestinya mendamaikan jiwa terlihat ekspresi yang kontradiksi dari wajah mereka. Ketegangan perasaan menunggu Jalim yang sedang sekarat senada dengan cuaca di luar rumah sederhana tersebut.

“Innalillahi Wainnalillahirajiun!”, Kata seorang tua yang sejak tadi bertugas membimbing Jalim melafaskan syahadat.

            Beberapa saat kemudian kalimat penyerahan diri kepada sang pencipta itu terucap juga dari mulut kerabat Jalim yang lain. Raung tangis istri almarhum memecah kebisuan sesaat dalam ruangan itu. Anaknya pun menangis melihat ibunya yang menangis. Duka membuat manusia dalam rumah itu kaku. Yang ada hanya suara tangis dan linangan air mata. Jalim telah pergi menghadap Illahi. Diusia 23 tahun ia meninggalakan seorang istri dan putrinya. Putri balita, yang mungkin belum mengerti arti kehilangan. Luka hati keluarga terasa begitu dalam, alamarhum dipercaya meninggal karena santet yang dilakukan oleh seseorang yang dendam padanya.

            Satu jam berlalu, setelah seluruh kesedihan tertumpah pada tangisan. Dada yang sesak perlahan menjadi lega. Air mata mulai mengering dan terasa keras di pipi. Wajah-wajah kusut dengan mata lebam itu mulai sadar, tak ada gunanya terlalu lama larut dalam kesedihan. Ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan, yaitu mempersiapkan pemakaman. Keluarga dengan tetua kampung bermusyawarah. Musyawarah memutuskan jenazah akan dimakamkan besok sore mengingat banyak keluarga dan kerabat yang harus dikabari dan jarak rumah mereka cukup jauh. Memberikan kabar  duka melalui alat komunikasi seperti Handphone dianggap tidak sopan oleh masyarakat disana. Mereka pun harus mengabarkan secara langsung dengan datang  kampung ke kampung untuk mengabarkan.

            Sore hari, berita kematian Jalim tersiar melalui pengeras suara masjid-masjid kampung terdekat.

“Innalillhi Wainnalillahirajiun.

Innalillhi Wainnalillahirajiun.

Innalillhi Wainnalillahirajiun.

Saya sampaikan salam Haji Na’im Desa Paribang, yang bermaksud mengundang seluruh jama’ah untuk shalat jenazah dan memakamkan almarhum anaknya yang bernama Jalim.

Shalat jenazah akan dikukan di masjid Paribang besok sejak pukul dua siang sampai pukul empat sore.

Pemakaman akan dilasungkan pukul empat sore di pemakaman Paribang.

Terimakasih. Wassalumualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

*8*

            Berita duka itu menjadi berita bahagia bagi Sri. Ia menoleh ke kiri dan kanan kemudian tersenyum puas. Dia membatin, “Mampus kau lelaki tak bertanggung-jawab!”. Sri adalah mantan pacar Jalim. Dia pernah dijanjikan akan dinikahi. Namun setelah ia menyerahkan “mahkotanya”. Ia dicampakkan begitu saja tanpa alasan apapun. Sakit hati menuntunnya menemui neneknya. Ia meminta pertolongan neneknya untuk memberikan pelajaran pada lelaki laknat yang pernah sangat ia sayangi itu.

*8*

            Mendung masih menghiasi langit sore. Rintik gerimis melantunkan kedukaan. Paman Jalim yang akrab dipanggil Akim sudah menunggangi motor bebeknya.

“Kita enggak pakai helm, Paman?”, tanya Bidin.

“Ah males, helm bikin kepala berat  aja”

“Kalau ketemu Polantas, bagaimana?”

“Kita ‘kan pakai peci. Pokonya enggak bakalan ditangkap deh. Apalagi kita mengikatkan tali yang terbuat dari batang pohon pisang seperti ini”, Kata Akim menyakinkan.

“Ya juga sih, apa lagi agak gerimis kayak gini. Polantas kan malas liat seragamnya basah”

            Mereka berangkat mengabarkan kematian Jalim ke rumah kerabat mereka yang jaraknya cukup jauh. Sepanjang perjalanan menuju arah selatan gerimis semakin reda namun badan jalan sudah cukup basah karena gerimis tadi.

            Sore yang basah. Kendaraan mereka sedang melaju di jalan propinsi. Udara terasa begitu sejuk. Angin membelai wajah mereka dengan lembut, seolah angin ingin menjadi pelipur lara atas duka. Gerimis memang sudah reda namun mendung masih menggantug di kolong langit. Jalan itu ramai dengan berbagai macam jenis kendaraan. Sebagian besar kendaran yang melaju di jalan itu menyalakan lampu walaupun gelap malam belum menyelimuti. Hanya beberapa kendaraan yang tidak menyalakan lampu termasuk motor bebek yang mereka kendarai. Mereka yang hidup di kampung dan jarang berkendara di jalan propinsi tidak terbiasa menyalakan lampu di siang hari. Mereka hanya akan menyalakan lampu kendaraan ketika malam sudah tiba.

*8*



            Gerimis sudah reda, Abet meninggalkan warung pinggir jalan yang menjadi tempatnya berteduh tadi.Ia tidak membawa jas hujan dan ia memang tidak terbiasa memakai jas hujan. Abet menunggang Satria F berwarna hitam miliknya. Ia dikenal suka kebut-kebutan di jalan raya. Jarak rumahnya yang cukup jauh dengan kampus membuatnya terbiasa memacu motor dengan kecepatan tinggi. Melihat mendung semakin gelap, Abet meningkatkan kecepatan dengan pertimbangan agar tidak terkena hujan yang dalam waktu dekat akan mengguyur bumi.

            Abet sangat menikmati kebut-kebutan itu. Ia menyalip kendaraan di depannya dengan angkuh. Ia merasa jiwa pembalap Moto GP menjelma ke dalam dirinya. Banyak pengendara lain kesal karena ulah unggal-ugalannya.

“Semoga kau tertabrak truck!”, Kata salah orang pengendara yang hampir terserepet olehnya. Lampu merah diterobos. Ia benar-benar menjadi penjahat jalanan. Ia tidak memikirkan bahaya yang mengancam nyawanya apalagi sempat memikirkan nyawa orang lain yang terancam bahaya oleh tingkahnya. Saat ia asik menikmati “kencan” dengan motornya tiba-tiba ia kaget karena motor bebek yang terlihat di depannya. Ia sempat membanting motornya dengan refleks namun jarak dengan motor itu sudah sangat mepet. Ia berhasil menghidarkan dirinya dari menabrak motor bebek itu secara telak tetapi  stang motor itu tersenggol sehingga terjatuh.  Pengendara motor bebek itu terpelanting  ke kiri jalan. Sementara itu orang yang dibonceng terpelanting ke kanan sehingga tertabrak Bus yang datang dari arah berlawanan. Motor Abet goyang namun ia berhasil mengendalikannya. Ia tidak terjatuh. Sisi kemanusian pada dirinya menyuruhnya berhenti dan bertanggunga-jawab terhadap korban tetapi resiko dihajar massa membuatnya takut sehingga ia memutuskan untuk melarikan diri.

            Jalan propinsi itu macet total gara-gara kecelakaan yang disebabkan oleh Abet. Warga berkerumun melihat korban. Setelah mengangkat kedua korban ke trotoar jalan, warga mencari identitas korban. korban itu ternyata Akim dan Bidin. Perhatian warga lebih fokus pada Bidin dari pada Akim. Badan Bidin bermandikan darah. Tulang-tulangnya patah parah. Warga melihat mulutnya mengelurkan napas lemah di celah darah merah yang keluar. Nadinya masih berdenyut. Warga langsung menghentikan sebuah mobil bak terbuka untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat.

            Badan Akim tidak terlihat separah Bidin. Hanya ada lecet-lecet ringan yang memberikan nuansa merah pada badannya. Badan Akim tidak bergerak sedikitpun. Warga berpikir dia pingsan. Ketika mengangkat badan Akim warga melihat luka lebam di tengkuknya. Baru kemudian warga menyadari tak ada detak di nadinya. Ternyata Akim tewas di tempat karena benturan keras kepala bagian belakangnya ke trotar.

*8*



            Tak ada pilihan lain selain melarikan diri ke kantor polisi terdekat untuk menyelamatkan diri dari aksi anarkis warga. Itulah satu-satunya pilihan terbaik dari kondisi yang sangat buruk itu. Supir itu meninggalkan busnya di tempat kejadian. Kemungkinan besar busnya menjadi pelampiasan aksi anarkis warga. Kaca-kaca bus itu hancur dilempari batu. Badan bus penyok disana-sini. Bahkan warga yang gelap mata berniat membakar bus itu namun gagal karena polisi keburu datang menghentikan aksi anarkis mereka. Polisi berhasil mengamankan bus itu ke kantor polisi untuk penyelidikan lebih lanjut.

*8*

            Sore yang ramai. Ramai dalam kedukaan ganda. Dua keranda beriringan menuju pemakaman. Jalim dan pamannya, Akim. Dua lelaki itu  menjadi isi keranda-keranda yang beriring.

“Tragis sekali”, Kata seorang pengantar jenazah.

“Andai Akim menggunakan helm, mungkin ia tidak mati”, kata orang yang lain.

            Pemakaman berjalan lancar. Mendung yang dikhawatirkan mendatangkan hujan, tak menurunkan hujan. Keluargadan warga lega walau dalam duka. Sebab setidaknya hujan tak menambah kemirisan mereka yang dirundung nestapa. Mereka meningkalkan kuburan dan kembali ke rumah masing-masing.

            Malam pertama tahlillan untuk kedua alamarhum dipadati warga. Masih terlihat wajah-wajh pucat di tengah keriuhan tahlillan. Handphone istri almarhum Akim berdering.

“Hallo?, Assalamualaikum, Bik..”

“Ya Hallo, Ada apa?

“Bidin meninggal, malam ini kami akan membawa pulang jenazahnya”.

            Lengkap sudah ujian untuk keluarga itu. Langit malam semakin gelap. Tak ada rembulan. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan hitam. Mendung semakin gelap.



Ketapang, 15 Juni 2013 | 12:58

0 komentar: