JERUK MANIS


        
AIR TERJUN JERUK MANIS



LOMPAT SERU (DOK. RIZKI)
Air Terjun yang Termasuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani

Nuriadi-Wisata Alam Lombok-31/12/2014 | 16:48  WITA

Air Terjun Jeruk Manis berada di Dusun Barang Panas, Desa Kembang Kuning, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Air Terjun yang oleh masyarakat sekitar disebut Air Terjun Jukut ini memilki ketinggian sekitar 40 meter. 

Air terjun ini juga dikenal dengan nama Aiq Temer. Lokasinya masih termasuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Rinjani. 

Dulu harga tiket masuknya hanya Rp 2500,- Namun seiring dengan perubahan kebijakan pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani maka tarif masuk ke Air Terjun ini pun mengalami perubahan. Harga Tiket Masuk (HTM) untuk turis Mancanegara menjadi Rp 150.000,-/orang dan untuk pengunjung domestik menjadi Rp 5.000,-/orang.

Air Terjun ini berjarak sekitar 50 km dari kota Mataram dengan waktu tempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan roda dua atau empat. Rute untuk menuju kesana adalah Mataram - Cakranegara - Narmada - Mantang - Kopang - Terara - Sikur - Kotaraja - Desa Kembang Kuning. 

JALUR TREKKING (DOK. ARNI)
Dari pintu gerbang kita harus berjalan membelah hutan sekitar 30 menit untuk menempuh trek sejauh 2 KM. Sebagaiamana wisata Air Terjun yang telah dikelola trek-nya bagus. yaitu berupa trek dari batu pipih yang di-semen, jadi tidak licin. Udaranya sangat sejuk karena terdapat banyak pohon besar yang rindang di sepanjang jalur trekking.
 
Sepanjang trek terdapat dua Berugaq (tempat istirahat semacam Gazebo).
Treknya menanjaknya cukup bikin ngos-ngosan. Namun setelah melewati Berugaq kedua trek-nya mulai menurun. Dan rasa capek akan hilang seketika begitu terdengar gemericik Air Terjun yang dipercaya dapat menyuburkan rambut ini.
 
PAPAN INFORMASI (DOK. AKIR)


TEMPAT PARKIR (DOK. AKIR)

0 komentar:

AIR TERJUN MANGKU SAKTI

Air Terjun Berbelerang di Kaki Rinjani dengan Tebing Bebatuan yang Menakjubkan
Nuriadi-Wisata Alam Lombok-Ketapang, 10/11/2014 | 08:03 WITA
Air Terjun Mangku Sakti (Dok. Denu)
Mangku Sakti merupakan salah satu air terjun yang terdapat di kaki gunung Rinjani. Tepatnya berada di dusun Sajang, desa Sajang, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur, NTB.  Aliran air Mangku Sakti ini berasal dari aliran Kokoq Puteq (Sungai Putih) yang bersumber langsung dari Segara Anak (Danau yang terdapat di Gunung Rinjani).
Air terjun ini memiliki kandungan belerang sehingga warna airnya agak putih kehijaun. Dengan adanya kandungan belerang ini maka airnya dapat digunakan untuk menyembuhkan bebagai macam penyakit kulit.
Kolamnya cukup lebar dan dalam (Dok. Pribadi)
Ketinggian air terjun ini mencapai 30 meter dengan diameter terjunan yang cukup lebar. Kolamnya cukup dalam dan luas. Yang sangat menakjubkan dari air terjun ini adalah tebing bebatuan yang sangat indah.
Tebing Bebatuannya sangat indah (Dok. M. Rozi)
Air terjun ini berjarak kurang lebih 175 km  dari kota Mataram (Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Barat).   Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 4 jam perjalanan.
Terdapat dua alternatif rute jalan yang bisa dilalui melalui Kota Mataram. Rute pertama dengan melewati kawasan Kabupaten Lombok Timur yaitu Mataram-Narmada-Mantang-Kopang-Terara-Sikur-Aikmel-Suwela-Sapit-Lemor-Sembalun Bumbung-Sembalun Lawang-Sajang. Sedang rute kedua melewati jalur Kabupaten Lombok Utara yaitu Mataram-Pusuk atau sepanjang jalan Pantai Senggigi-Pemenang-Tanjung-Gondang-Selengan-Batu Gembung-Desa Senaru-Dasan Grisak-Desa Sambiq Elen-Sajang.

Setelah tiba di Desa Sajang akan ditemui jalan tanah sekitar 4 km menuju air terjun. Sepanjang  jalan ini Anda akan melintasi bangunan milik warga setempat ( yang berarsitertur Hindu), padang savana, dan kebun warga. Pada beberapa titik tertentu jalannya sangat terjal sehingga cukup meningkatkan adrenalin. 
Petunjuk Arah (Dok. Rere)

Cukup banyak persimpangan jalan yang akan Anda temui,  namun jangan takut tersesat karena disana sudah dipasang penunjuk arah.
Tempat Parkir (Dok. Rere)

Diujung jalan ini terdapat sebuah warung kecil bertenda biru yang sekaligus merupakan tempat parkir terakhir. Untuk parkir Anda hanya harus membayar Rp 5000,- / motor.
Trek Pinggir Sungai (Dok. Rere)
Selanjutnya dari tempat parkir perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit melewati jalan setapak menurun, melewati bebatuan besar dan menelusuri aliran sungai hingga tiba di lokasi air terjun.
Melompat (Dok. Denu)
Untuk Anda yang suka melompat ke air dari ketinggian, air terjun ini adalah pilihan yang sangat tepat karena disana Anda bisa melompat ke kolam air tejun dari tebing batu sebelah kiri air tejun. Ketingiannya sekitar 10 meter dari permukaan kolam air terjun tersebut.

0 komentar:

TAK TERDUGA, IT’S A GREAT EXPERIENCE!

Selebar Catatan Perjalanan ke Mangku Sakti-Sembalun
(Nuriadi-Catatan Harian-Selasa, 11-11-2014 |13:54 WITA)
Pusuk Sembalun (Dok. Soni)

Minggu, 9 November 2014 aku dan teman-teman radio go to Sembalun. Tiga minggu sebelumnya embak Ika memintaku buat ikut karena  mereka kekurangan joki. Jalan menuju Sembalun memang tanjakannya sangat terjal, so mereka sangat butuh temen laki-laki sebagi joki.
Aku agak dilema menanggapi ajakan itu. Pasalnya di satu sisi  Sembalun merupakan salah satu tempat favoritku. Aku suka banget sama kesejukan dan pemandangannya bukit-bukitnya yang hijau. Namun di sisi lain, belakangan ini aku lagi getol banget trekking ke Air Terjun. Hampir setiap hari minggu aku manfaatkan untuk explore air terjun.  Hampir semua temen and kenalanku  sudah ku minta buat ajak aku jika mereka ada agenda buat explore air terjun. Nah yang aku takutin di hari yang sama ada ajakan dari salah satu temen  buat explore air terjun terus gara-gara ke Sembalun aku enggak bisa ikut. Wah bakal ngerasa rugi banget.
H-1 sebelum hari H. Aku dan Rozi berencana membawa temen-temen ke air terjun Mangku Sakti yang ada di Sembalun. Tapi kau sangat ragu mereka mau kesana coz setahuku treknya panjang dan terjal.  Berdasarkan info yang aku dapet kita harus jalan kaki selama dua jam baru bisa sampai di Mangku Sakti. Sementara mereka hanya biasa travelling ke tempat-tempat yang mudah untuk dijangkau dan tanpa menghabiskan tenaga yang banyak .
Ketidaksemangatanku untuk ikut semakin parah. Ya selain udah sering ke Sembalun, di hari yang sama Kesebelasan Sepak Bola kampungku juga akan berlaga di perempat final. Tapi ngebatalin janji dengan alasan apapun terlalu menjijikan bagiku. Apa lagi Rere udah terlalu berharap padaku sebagai jokinya. Aku cuma bisa berdoa  semoga hujan lebat pagi itu agar trip ke Sembalun ditunda ke lain hari. Namun kenyataan berkata lain, langit begitu cerah tak mendengar doaku.
Walaupun embak Ika memintaku untuk kumpul di studio jam setengah tujuh pagi, hingga jam tujuh aku malah belum mandi. Aku ogah-ogahan pagi itu. Masih terus berharap ada info pembatalan dari temen-temen.
Aku kencengin musik dan mulai mandi. Seperti biasa aku enggak pernah bisa cepet di kamar mandi. Entah berapa banyak lagu yang aku nyanyikan dulu baru mulai mengguyur badanku dengan air. Ya konser tunggal selalu aku lakukan setiap masuk ke kamar mandi.
Begitu selesai mandi aku lihat ada tiga belas misscalled di HP. Tak lama kemudian, panggilan ke empat belas masuk
“Ya hallo”
“Lagi dimana”, suara Rere lirih.
“Ya bentar lagi, semuanya udah ngumpul?
“Ya tinggal kamu aja yang ditungguin nih”
“Ok aku berangkat”
Beberapa menit kemudian masuk SMS dari Rere yang menyuruhku jangan ngebut. Sepertinya dia punya firasat buruk sama sepertiku. Sekitar 300 meter meninggalkan rumah aku baru ingat aku lupa bawa jas hujan. Aku kembali ke rumah mengambilnya dan pamitan ulang ke ibu dengan mencium tangan beliau lagi. Tapi perasaanku masih aja was-was.
Sebenarnya rasa bersalah karena menjadi orang yang ditunggu bergelayut di benakku. Akan tetapi pengaruh firasat buruk lebih kuat hingga aku begitu pelan mengendarai motorku menuju studio.
Setiba di Studio Ijong langsung bilang “Akhirnya yang ditungu-tunggu dateng juga”. Satu jam menungguku membuat mereka kesal namun mereka cukup pintar menyembunyikan kekesalan mereka.
“Kamu pasti baru bangun ya”, kata embak Moy.
“Enggak embak, cuma enggak bisa bentar di kamar mandi”
“Na ngapain lama-lama di kamar mandi”, sambar Yuni.
Ketidakkompakaan sudah mulai terlihat beberapa ratus meter meninggalkan studio. Ijong belok kanan di perempatan Granada yang kemudian diukuti oleh Soni. Padahal sebelumnya udah sepakat akan isi bensin dulu di SPBU Karang Jangkong. Namun pada akhirnya Soni yang membonceng Moy kembali mengikuti kami. Di SPBU tersebut kami nambah angin ban motor kami masing-masing.
Sepanjang perjalan aku begitu hati-hati, begitu pelan hingga aku berada di posisi paling belakang.
Tepat di Gerimak Narmada Rere menegurku “Dev kita paling belakang Lo”
Aku cuma meresponnya dengan begitu santai. Dan tetap pelan karena aku masih waswas karena firasat buruk. Kepercayaan diriku berkendara kembali setelah masuk di wilayah Lombok Tengah. Aku mulai berani memacu si Matic milik Lis dengan kecepatan tinggi. Dan kami pun tak lagi menjadi yang terbelakang.
“Dev yakin bensinnya cukup hingga pulang?”
“Cukup kok. Tapi kalau Rere khawatir ayo dah kita isi dulu”
Di sebuah warung pengecer bensin diwilayah Suela Rere meminta pedagang itu menuakan tiga botol bensin yang masing-masing berisi  satu liter namun begitu botol kedua udah fulltang.  Perjalanan dilanjutkan, kami tertinggal lumayan jauh hingga harus berusaha keras mengejar rombongan yang lain.
Begitu memasuki wilayah Lemor, kesejukan mulai menyambut kedatangan kami. Huh..! suasana yang sangat aku sukai. Suasan sejuk yang mendamaikan jiwa ini lah yang membuatku enggak bosan-bosan dateng ke Sembalun.
Setelah masuk hutan di kaki Pusuk Sembalun baru kami menemukan rombongan yang lain. Motor pertama yang kami dahului adalah motor yang dikendarai Rozi. Tanjakan-tanjakan terjal pun mulai kami lewati.
Kami sempat berhenti berhenti cukup lama buat photo-an di sebuah tempat pemberhentian di dalam hutan tersebut. Naluri ber-eksis ria kami memang tidak bisa ditahan. Hampir semua eangle di tempat itu dijamah untuk ber-phhoto dengan berbagai pose.
“Next spot yok! Masih banyak spot keren yang lain. Kan kita juga mau ke Mangku Sakti”, kataku berusaha mengakhiri aksi jepret sana jepret sini yang enggak akan berhenti kalau enggak digitukan itu.
Singkat cerita, setelah memaksa motor kami berusaha keras menaklukkan tanjakan demi tanjakan tiba lah kami di Pusuk Sembalun. Coba tebak apa hal pertama yang akan kami lakukan di tempat ini?
Ya  benar sekali, taking  picturess so much! Semua camera keluar, tongsis juga mulai dimanfaatkan, ada yang selfi, ada yang groupy, pose ini lah, pose itu lah, engle ini lah, engle itu lah semua dicoba.
Jam sudah menunjukkan 12 siang, Ijong terlihat sedang ngobrolin Mangku Sakti via telepon dengan temennya.
“Dev ada temenku yang siep nganterin ke Mangku Sakti”
“Sip”, kataku girang.
“Ayo makan dulu!”, ajak Denu yang kelaparan karena belum sarapan.
“Aku entaran aja deh makan, yang penting photo-an dulu”, sahut Rozi.
Seusai makan, ternyata photo-an berlajut lagi. Kali ini Denu lah  yang paling semangat. Dan kami pun melebur dalam keceriaan ber-narsis-ria.
“Kapan ke Mangku Sakti-nya nih”, gumamku.
Melihat kondisi itu, ku ragu rencanaku ke Mangku Sakti akan terwujud. Walaupun demikian ku terus berupaya.
“Dev kemana lagi nih?”
“Mereka sih maunya ke Kebun Strawberry, Rumah Adat, Kebun Apel, dan Rinjani Lounge. Tapi tolong ajak mereka ke Kebun Strawberry aja terus arahkan mereka langsung ke Mangku Sakti”, bisikku ke Ijong.
Ketika menuju tempat parkir, Denu mengajak kami pergi photo-an ke bawah bukit yang dulu pernah kami jadikan backround untuk photo. Ternyata embak Ika dan beberapa teman yang lain udah di sana. Denu semakin ngotot ke sana.
“Kan udah banyak photo-mu di sana waktu kita ke sini yang terakhir”, kataku ke Denu.
“Tapi sekarang suasananya beda”
“Sama ja, Den. Mending kita coba spot lain yang lebih keren”, kataku mulai kesal.
Beberapa temen berusaha memanggil embak Ika agar kami bisa segera melanjutkan perjalanan. Namun sepertinya embak Ika enggak mendengar panggilan berulang-ulang itu.
“Kalau dipanggil lama tuh, kita kan lewat depan mereka, mending sekarang kita jalan, entar mereka pasti segera ikut kita juga”, usulku otoriter.
Tiba di Kebun Strawberry, terjadi tawar-menawar yang sangat alot antara embak Moy dan si ibu pedagang. Pedagang tersebut memasang harga 50 ribu/kg strawberry petik sendiri. Melihat kealotan yang memakan cukup banyak waktu itu, aku lagi-lagi ngomong “Lebih baik beli yang udah dipetik aja Embak biar cepet, kan kita mau ke Mangku Sakti juga”
“Tapi pengen metik sendiri”, jawab Embak Moy.
“Gini deh yang mau metik  silakan, kita tunggu di sini”, kata mas Daniel.
Hanya tiga orang yang tetap mau metik sendiri namun mereka belum berani juga merogoh kocek sebesar yang ditetapkan oleh pedagang itu. Harganya udah diturunkan menjadi 40 ribu/kg namun mereka belum sanggup juga.
Aku terus berupaya mempengaruhi mereka agar bisa lebih cepat biar kami segera tiba di Mangku Sakti. Ya akhirnya mereka tidak jadi metik sendiri, namun mereka tetep aja lama milih strawberry yang dijajakan dipinggir jalan itu.
Aku, Rozi, dan Ijong jalan duluan dan menunggu mereka di depan rumah adat. Cukup lama kami bengong nunggu di pinggir jalan. Melihat kondisi itu, Rozi dan embak Nini memanfaatkan waktu dengan pergi ber-photo-an di dalam Rumah Adat. Sekian lama yang ditunggu enggak muncul juga,bosan pun menyeruak. Aku dan Rere pun berniat membunuh kebosanan dengan ikutan ber-photo-an sama Rozi. Eh dari kejahuan mereka terlihat sudah mendekat.
“Dev ayo kita duluan!”, ajak Ijong.
“Duluan dah aku tunggu mereka bentar”
“Aku tunggu di rumah aja ya, mau ambil uang”
“Ok dimana rumahmu?”
“Di  Bawaq Enao, entar kutunggu di pinggir jalan”
Selang beberapa menit kami melintas di Bawaq Enao, namun batang hidung Ijong enggak kelihatan. Beberapa ratus meter setelah Bawaq Enao. Kami berhenti di pinggir jalan karena enggak tahu jalan ke Mangku Sakti. Denu dan Rozi balik arah mencari Ijong dan informasi arah ke Mangku Sakti.
Selang beberapa menit Rozi muncul dan langsung memimpin kami menuju tujuan. Jalan bertanah sekitar 4 km dengan beberapa titik yang sangat terjal memaksa perempuan-perempuan yang kami bonceng turun dan jalan kaki. Setiba di tempat parkir kami baru menyadari bahwa Denu dan embak Ika enggak ada dalam rombongan kami. Sekian lama kami beristirahat di sebuah warung bertenda biru di dalam hutan itu barulah Denu dan Ijong muncul.
Selanjutnya dari tempat parkir perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit melewati jalan setapak menurun, melewati bebatuan besar dan menelusuri aliran sungai hingga tiba di lokasi air terjun.
Pada sebuah persimpangan di dalam hutan kami salah jalur. Air Terjun yang kami tuju ternyata berada di jalur yang lain. Kami pun segera balik ke jalur yang benar melintasi sebuah batu yang sangat besar. Dari kejauhan kami takjub melihat keidahan air terjun Mangku Sakti. Dan segera mendekat untuk photo sana photo sini, berenang dan melompat dari tebing bebatuan.
Air Terjun Mangku Sakti (Dok. M. Rozi)

Tak semua rombongan kami sampai di air terjun hanya aku, Denu, Rozi, Rere, Ijong dan temen sekampungnya yang mengeksplore pesona Mangku Sakti. Sisa rombongan kami hanya ber-photo ria di batu besar dan aliran Kokoq Puteq. Sepertinya mereka memang kurang interest pada air terjun.
Setelah puas meng-explore air terjun berbelerang itu kami bergegas naik ke tempat parkiran. Dan rombongan kami yang lain sedang asyik bercengkerama di sana.
Diskusi mengenai jalur pulang pun mewarnai cengkerama kami. Ada yang tetap ingin pulang melalui Lombok Utara, ada yang ingin pulang melalui Lombok  Timur.
“Entar aja deh tentuin jalur pulang, yang penting sekarang bisa keluar dulu dari jalan yang sangat terjal ini”, kata mas Daniel.
Satu kilo meter terakhir menuju jalan perkampungan warga Sajang, hujan menyemarakkan perjuangan kami. Begitu tiba di jalan raya, diskusi mengenai rute pulang berlanjut.
“Yang masih mau cepet nyampe rumah silakan lewat Lombok Timur. Yang masih mau jalan-jalan ikut saya lewat Lombok Utara”, saran mas Daniel.
Akhirnya Rozi dan embak Nini, Ijong dan temennya, Yuni dan mas Panji, Aku dan embak Ika pulang lewat Lombok Timur. Sementara itu, mas Daniel dan embak Agnez, embak Moy dan Soni, Denu dan Rere pulang lewat Lombok Utara.
Aku memilih pulang lewat Lombok Timur karena masih berharap bisa nonton laga perempat final kesebelasan sepak bola kampungku walau hanya di menit-menit terakhir babak kedua. Namun kenyataan berkata lain, rute Lombok Timur yang seharusnya memakan waktu lebih sedikit ternyata menjadi lebih banyak karena hujan lebat mendera dari Aiq Mel hingga Narmada. Jarak pandang menjadi sangat terbatas hingga aku hanaya bisa melajukan kendaran dengan kecepatan 20-50 km/jam.
Di tengah hujan lebat aku sempat ngobrol dengan embak Ika dengan setengah berteriak.
“Embak ada satu yang lupa kita bawa nih!’
“Apa?!”
“Snorkeling, kita kayak naik motor di dalem air aja nih gara-gara hujan ini”, kataku berkelakar.
Teman-teman yang pulang lewat Lombok Utara nyampe lebih cepat walaupun panjang rutenya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan rute Lombok Timur. Saat itu Lombok Utara tidak diguyur hujan. Mereka hanya menemukan hujan setelah masuk diwilayah Lombok Barat.
Satu hal yang masih sulit aku percaya, aku berhasil mengijakkan kaki di air terjun Mangku Sakti dengan rombongan yang nota bene-nya enggak punya ketertarikan untuk trekking.
Thanks God! It’s really a great experience!

(Kereng Paoq-Lokoq Ara-Sesait-Kayangan-Lombok Utara 11-11-2014)


0 komentar:

MANGKU SAKTI

Air Terjun Berbelerang di Kaki Rinjani dengan Tebing Bebatuan yang Menakjubkan
Nuriadi-Wisata Alam Lombok-Ketapang, 10/11/2014 | 08:03 WITA
Mangku Sakti merupakan salah satu air terjun yang terdapat di kaki gunung Rinjani. Tepatnya berada di dusun Sajang, desa Sajang, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur, NTB.  Aliran air Mangku Sakti ini berasal dari aliran Kokoq Puteq (Sungai Putih) yang bersumber langsung dari Segara Anak (Danau yang terdapat di Gunung Rinjani).
Air terjun ini memiliki kandungan belerang sehingga warna airnya agak putih kehijaun. Dengan adanya kandungan belerang ini maka airnya dapat digunakan untuk menyembuhkan bebagai macam penyakit kulit.

Ketinggian air terjun ini mencapai 30 meter dengan diameter terjunan yang cukup lebar. Kolamnya cukup dalam dan luas. Yang sangat menakjubkan dari air terjun ini adalah tebing bebatuan yang sangat indah.
Air terjun ini berjarak kurang lebih 175 km  dari kota Mataram (Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Barat).   Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 4 jam perjalanan.
Terdapat dua alternatif rute jalan yang bisa dilalui melalui Kota Mataram. Rute pertama dengan melewati kawasan Kabupaten Lombok Timur yaitu Mataram-Narmada-Mantang-Kopang-Terara-Sikur-Aikmel-Suwela-Sapit-Lemor-Sembalun Bumbung-Sembalun Lawang-Sajang. Sedang rute kedua melewati jalur Kabupaten Lombok Utara yaitu Mataram-Pusuk atau sepanjang jalan Pantai Senggigi-Pemenang-Tanjung-Gondang-Selengan-Batu Gembung-Desa Senaru-Dasan Grisak-Desa Sambiq Elen-Sajang.

Setelah tiba di Desa Sajang akan ditemui jalan tanah sekitar 4 km menuju air terjun. Sepanjang  jalan ini Anda akan melintasi bangunan milik warga setempat ( yang berarsitertur Hindu), padang savana, dan kebun warga. Pada beberapa titik tertentu jalannya sangat terjal sehingga cukup meningkatkan adrenalin. Cukup banyak persimpangan jalan yang akan Anda temui,  namun jangan takut tersesat karena disana sudah dipasang penunjuk arah. Diujung jalan ini terdapat sebuah warung kecil bertenda biru yang sekaligus merupakan tempat parkir terakhir. Untuk parkir Anda hanya harus membayar Rp 5000,- / motor.
Selanjutnya dari tempat parkir perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit melewati jalan setapak menurun, melewati bebatuan besar dan menelusuri aliran sungai hingga tiba di lokasi air terjun.

Untuk Anda yang suka melompat ke air dari ketinggian, air terjun ini adalah pilihan yang sangat tepat karena disana Anda bisa melompat ke kolam air tejun dari tebing batu sebelah kiri air tejun. Ketingiannya sekitar 10 meter dari permukaan kolam air terjun tersebut.

0 komentar:

MEMBUNUH KECEWA

(Adi Dev Onk)
Tiba lah aku pada puncak kemuakan terhadap  kekecewaan. Jiwaku memberontak. Kebencian yang sangat pun muncul begitu tegas. Setiap hal yang berpotensi mengecewakan aku bantai terang-terangan.
Butuh waktu puluhan tahun. Butuh  sekian banyak penolak kehendakku. Butuh begitu banyak situasi yang memuakkan. Sehingga aku bisa menjadi pembunuh kekecewaan seperti sekarang ini.  Dan diusia ku yang seperempat abad ini lah aku memiliki kekuatan untuk membantai segala hal yang berpotensi melahirkan bayi-bayi kekecewaan dalam kehidupanku.
“Berhenti berharap pada orang yang enggak bisa diharapkan!”, teriak jiwaku penuh dendam. Dendam pada kekecewaaan, dendam pada keadaan, dendam pada semua orang yang membuatku merasakan kekecewaan. Bahkan pada kehidupan pun aku mendendam.
Seseorang yang sangat dekat denganku lah yang sering mengajarkanku seperti ini. Dia tidak mengajariku teori. Dia tidak mengajariku  menggunakan kata. Melainkan dia mengajariku dengan rasa. Ya dia mengajariku dengan rasa. Dia mengajariku merasakan kekecewaan. Mungkin dia tidak sengaja membuatku merasakan kekecewaan. Namun harus ku akui, bersamanya lah aku begitu akrab dengan kekecewaan. Sejak kecil aku berteman baik dengan kekecewaan. Kalau aku enggak salah ingat, dia lah yang pertama kali menyuruhku berjabat tangan dengan kekecewaan. Aku pun menjadi dekat, berteman baik, hingga akhirnya menjadi sangat akrab dengan kekecewaan.
Kertas Putih, percaya enggak hingga sekarang aku belum punya kamar tidur? Aku yakin seyakin-yakinnya kamu tidak percaya. Tapi itu benar, hingga usiaku seperempat abad ini aku belum punya kamar sendiri. Begini ceritanya, dulu sewaktu kelas satu SMP rumahku direnovasi. Setiap pulang sekolah aku harus ikut membantu tukang bangunan. Semacam pelayan tukang bangunan gitulah. Ambil batu bata, pasir, buat campuran pasir dengan semen dan lain-lain. Intinya melayani tukang bangunan lah.
“Buatin saya kamar di sisni ya”, pintaku padanya
“Ini buat kamar tamu”, tolaknya
“Kan itu udah ada kamar tamu”, protesku
“Kalau itu aja terlalu sempit kamar tamunya”, dalihnya.
Penolakan itu adalah salah satu kekecewaan dari sekian banayak kekecewaan yang aku terima darinya. Hingga sekarang kamar itu hanya bisa aku miliki di dalam mimpi indah. Kamar itu hanya aku dapatkan dalam hanyalan. Setelah aku banyak membuang waktu untuk merenung, aku temukan penyebab penolakan itu karena kepelitannya. Kepelitan itu tercipta karena kemiskinan yang melingkari hidupnya. Maka sejak itu aku teramat benci pada kemiskinan, bosan pada kemelaratan, terlebih pada kemiskinan hati yang membuat munculnya kekikiran.
Dua atau tiga tahun kemudian. Aku masih sangat sering dicandai oleh kekecewaan. Dan itu masih juga disebabkan oleh dia. Mulai dari motor yang seneng aku pakai diutangkan pada orang. Terus aku disuruh pakai motor gadaian yang lebih jelek. Motor yang lebih jelek itu mau akau perindah dengan mengganti velg-nya dengan velg balok. Aku pun minta padanya untuk dibeliin velg tersebut namun lagi-lagi dalam hal ini si kecewa ambil bagian dalam cerita kehidupanku. Dia menolak dengan alasan velg balok seperti itu bikin rantai motor cepat aus dan bikin ban mudah rusak parah. Seperti kecewa memang takdirku.
Aku ingat dulu sewaktu sebagian besar teman sebayaku sudah memiliki hand phone. Aku sangat ingin memiliki hand phone sama seperti mereka. Saat itu memang aku belum terlalu butuh tapi keinginan untuk sejajar dengan teman-teman membuatku ingin sekali memiliki HP. Bermodal keinginan yang kuat itulah aku beranikan diri untuk meminta dibelikan HP. Dan jawaban yang langsung aku dapatkan adalah penolakan kasar dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat anak-anak sepertiku. Kurang lebih dia bilang seperti ini “Harga HP itu enggak seberapa. Saya mampu membelikannya untukmu tapi nanti yang banyak menghabiskan uang itu pulsanya”. Jelas sekali penolakan itu alasannya takut karna pulsa. Maka entah berapa tahun setelah itu ketika aku diutangkan HP oleh ibu, aku enggak pernah sama sekali minta diisiin pulsa. Meskipun saat itu aku masih seorang pelajar SMA yang hanya mengandalkan beasiswa dari orang tua. Dan uang jajanku pun hanya cukup untuk sebungkus nasi. Tapi aku bisa membuktikan aku tidak membebaninya uang pulsa. Hal itu aku lakukan tiada lain untuk menghindarkan diri dari kekecewaan.

Dalam kisah cecintaan, kekecewaan juga menjadi tema utama di dalam naskah kehidupanku. Aku salah jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seorang super play girl. Banyak lelaki yang tergoda dengan kecantikannya.  Dan sekian banyak lelaki yang mendekatinya pun diterima. Lantas aku hanya menjadi salah satu pria dungu koleksi cintanya. Dengan demikian, otomatis sekian banyak kekecewaan pun disumbangkan padaku. Perempuan cantik itu menjadi manusia dermawan yang paling banyak mendermakan kekecewaan kepadaku. Namun bodohnya aku, kok begitu lama bertahan dengannya. Entah berapa kali putus-nyambung. Dia begitu mudah aku terima kembali. Belakangan aku sok bijak mengakui kesalahanku dengan bilang “namanya juga dulu cinta buta”.
Baru beberapa tahun belakangan ini aku bisa realistis. Ya itu tidak lepas dari pelajaran tentang kekecewaan yang sudah terlalu banyak aku dapatkan. Sehingga rasa muak pun menyuruhku untuk meminimalisir kekecewaan. Ngomong masalah realistis agar enggak kecewa, eh jadi inget sama sebuah cerita waktu di bangku kuliah. Waktu itu demam Piala Asia melanda kampusku. Temen-temen sengakatanku pun begitu fanatik membela kesebelasan Indonesia. Hampir semua sama. Mereka girang minta ampun melihat Indonesia yang berjalan cukup mulus di babak penyisihan. Kalau enggak salah tahun itu Indonesia lolos hingga ke babak final. Di babak final dia berhadapan dengan negara yang kuat (aku lupa waktu itu dia lawan Malaysia atau Myanmar). Bermodal pengetahuan tentang ritme kesebelasan Indonesia dalam pertandingan seperti itu. Aku pesimis mereka bisa keluar sebgai juara. Ya karena di beberapa kompetisi sebelumnya Indonesia selalu seperti itu. Tampil membanggakan pada awal kompetisi namun lembek di laga final. Nah karena itu lah waktu itu akau bilang ke teman-teman “Aku Cinta Indonesia TAPI TIDAK MENUTUP MATA PADA REALITA”. Gara-gara sikapku yang seperti itu temenku benci padaku. Dulu aku juga fanatik membela Indonesia, tapi sekarang enggak mau fanatik lagi karena biasanya bakal berakhir mengecewakan.
Masih tentang kekecewaan, lebih spesifiknya tentang membunuh kekecewaan. Beberapa bulan terakhir ini ada seorang perempaun cantik yang kuberikan kesempatan ke lima (antara kesempatan ke 5 atau 6. Mungkin juga sih ke 7,8,9 dan seterusnya soalnya aku lupa. Tapi yang jelas seringlah). Aku yakin yang langsung muncul di otak kalian kok mau sih ngasih kesempatan lagi? Sebenarnya aku juga enggak mau sih. Cuman jadi mau karena usaha keras dia untuk mendapat kesempatan itu. Bayangain aku udah putus hampir tiga tahun lalu sama dia. Waktu itu dia yang mutusin tanpa alasan yang jelas.  Nah setelah sekitar setengah tahun putus dia minta balikan lagi tapi aku enggak gubris sama sekali. Ternyata dia kekeuh dan pantang menyerah. Entah berapa kali dia minta waktu untuk ketemu tapi aku tetep aja enggak mau. Aku ogah banget dikecewain dikecewain lagi. Berbagai cara dan alasan digunakan untuk bisa deket denganku. Ya tapi tetep aja aku enggak mau layanin dia. Lama kelamaan aku mulai lebih bijak, aku mulai mau balas SMS-nya. Yang akau balas sih SMS yang topiknya selain mengenai balikan. Kalau dia udah mulai bahas balikan, aku enggak mau bales.
Singkat cerita hampir dua setengah tahun dia masih berusaha mendapatkan kesempatan itu. Meliahat usahanya yang sekeras itu ya aku luluh juga. Sampai akhirnya aku mau ketemu untuk pertama kali. Dan berlanjut untuk keteu yang kedua. Terus aku mulai jaga jarak lagi. Pokoknya kelihatan deh aku menghindarinya. Aku semakin jauh. Semakin hari semakin jauh. Dan ternyata dia bosan dan mulai menyerah. Sekian lama enggak dikejar-kejar oleh dia kok jadi kangen. Dan aku pun nelpon dia duluan. Ngobrol laykanya teman. Berbagi cerita dan bercanda. Sampai juga ke obrolan tentang buku dan perpustakaan pribadiku. Katanya dia mau menyumbangkan buku dan benar saja besoknya dia datang ke rumahku membawa belasan buku. Cukup lama lah ngobrol buku ini buku itu, penulis ini penulis itu, dan bla bla bla.
Sejak kejadian itu kami mulai sering jalan bareng. Pada suatu ketika dia maksa aku ke pantai dan di sana dia ungkapin penyesalan dan permohonan maaf serta keinginannya untuk balikan.
“Maafin aku ya”, katanya membuka obrolan serius
“Tanpa kamu minta maaf aku sudah maafin..Tapi dulu kau sudah pernah bilang kan bahwa memaafkan bukan berarti melupakan!”
“Apa sih yang membuatmu begitu ingin maaf dariku?”, lanjutku
“Karenaku sadar arti pentingnya orang yang tulus mencintaiku”
“Sekarang aku sudah enggak mudah percaya sama kata-kata. Kamu perempuan cantik, usiamu sudah segini. Apa sih yang menarik dari lelaki yang belum mapan sepertiku ini”, kataku beretorika.
“Eh kamu hanya sebatas minta maaf kan? Tanpa embel-embel yang lain?”, kataku pura-pura begok
“Ya” jawabnya malu mengakui tujuan utamanya.
“Baguslah kalau gitu”
“Masak sih kamu enggak ngerti”. Tukasnya.
“Aku enggak berani berharap”, kataku pesimis.
“Apa yang enggak diberaniin?”
“Aku enggak sanggup kecewa”
“Please percayalah padaku!”
“Aku enggak mudah percaya hanya pada kata”
“Terus?”
“Buktikan!”
“Caranya bagaiamana?”
“Enggak pakai cara. Nanti biarkan waktu yang membuktikan”
Romansa berjalan indah seiring waktu berjalan. Kerinduan bersinggahsana dalam dada dua manusia. Semilir angin berhembus mesra. Nafas-nafas rindu semakin meraja. Dunia seolah tak pernah mengenal kecewa. Asa melukis senja bersama semakin nyata. Begitu indahnya. Namun kejujuran waktu mulai bicara. Bintik-bintik kecewa datang menyapa. Keraguan menyelinap menusukkan kecewa.
Dua kali pengingkaran janji mulai mewarnai hari. Hiasan kebohongan pudarkan harapan. Dan gairahku membunuh kecewa kembali berjaya.
Setidaknya empat kali perempuan itu memintaku ke rumahnya. Namun kekecewaan atas pengingkaran janjinya melarangku kesana. Perempuan itu sadar  pengingkaran janji itu menjadi malapetaka. Setelah sekian hari enggan menghubunginya duluan, kali ini ku menghubunginya tapi bukan untuk memperbaiki hubungan melainkan untuk membunuh kekecewaan. Obrolan via SMS pun terjadi. Seperti ini lah obrolan itu:
“Eh kaca mata saya masih di sana ya?”
“Ya”
“Entar kalau kamu mau keluar, tolong titipin di siapa aja ya disana. Entar saya mau ambil. Makasi sebelumnya”
Membaca pesan singkat dengan redaksi seperti itu, perempuan itu langsung mengerti kemana arah hubungan itu akan bermuara. Maka dia membalas SMS dengan redaksi seperti berikut:

 “Ingatkah kamu waktu memintaku ngomong ke Ibu tentang nikah beberapa waktu lalu itu? Itu lah yang saya lakuin selama ini. Dan beberapa kali saya udah nyuruh kamu ke rumah buat  omongin itu tapi saya enggak tahu,mungkin usaha positif saya selama ini tertutup oleh pikiran-pikiran negatifmu terhadap saya!”
“Sebelum kamu ngomong ke ibumu saya juga udah diskusi dengan bunda saya mengenai hal itu. Yang saya tahu kalau orang benar-benar cinta, maka orang yang dicintai itu prioritas. Udah tiga kali saya uji tapi kenyataannya saya bukan prioritas”
“Terus kamu hanya berpatokan pada ujian prioritas itu? Saya enggak bilang kamu salah, justru sebaliknya karena itu sangat wajar. Tapi apa kita tidak bisa sesekali melihat sisi lain dari tujuan kita?”
“Memang itu barometer yang terlalu sederhana, Tapi kalau yang terlalu sederhana saja kamu tidak bisa bagaimana dengan yang enggak sederhana!”
“Terkadang memeng ada alasan yang yang tidak bisa kita jelaskan secara tidak langsung, dan yang saya rasain kamu enggak pernah kasih saya kesempatan untuk itu. Karena ketika kamu kecewa ya udah kecewa. Kenapa kamu tidak mau dengar penjelasan itu?”
“Apa lagi sih yang perlu dijelasin? Ingat waktu kamu membawaku ke pantai itu? Kan disana saya bilang saya udah enggak mudah percaya dengan kata. Saya mau mencoba menerimamu kembali dengan satu syarat yaitu dengan pembuktian kesungghan cintamu oleh waktu”
“Banyak orang yang keliru tentang kebahagian yang sesungghnya. Kebahagian tidak didapat dengan kepuasan diri, tetapi dengan kesetiaan pada tujuan. Ya Allah ikhlaskan hati ini untuk melihat kebenaran, bukan pembenaran”
Membaca SMS terakhir yang menggurui itu membuatku malas membalasnya lagi. Ku acuhkan Hand phone. Dalam hati ku bergumam “Sudahlah simpan saja teorimu tentang kebahagian! Kebahagian itu bukan teori. Kebahagian itu rasa. Dan yang aku rasakan aku tak bahagia dengan pengingkaran—pengingkaran janji dan pengabaianmu!”

Ketapang,   Oktober 2014 | 03:26


0 komentar:

BERPESTA DI NERAKA

(Adi Dev Onk)
Bising mesin asa tak henti bekerja
Menabur bunga pada langit senja
Meski jiwa meronta dunia tetap berkuasa

Pada hijau daun aku bersenandung
Berlirik lirih jiwa yang ringkih
Pada gemericik air ku basuh dunia yang licik

Diujung waktu kita kan bertemu
Dan penghuni neraka  kan berpesta

|

Ketapang, 31 Oktober 2014 | 11:18



0 komentar:

KU BAHAGIA KAU BERDUKA

(Adi Dev Onk)
Ku bakar kecewa dengan dendam membara
Dalam bahagia ku menunggu berita duka
Ku kirimkan kamboja dengan ucapan selamat berduka
Meski diujung cerita kan ada cinta

Sesaat  setelah semua sirna
Sekeping surga terdampar di dunia
Semesta terbahak-bahak dalam tawa
Aku bahagia

|

Ketapang, 31 Oktober 2014 |11:05



0 komentar:

TIU PUPUS

Air Terjun yang Sedesa dengan Air Terjun Kerta Gangga
Nuriadi-Wisata Alam Lombok-Kamis, 30/10/2014 | 15:21 WITA
Tiu Pupus (Dok. Wisata Air Terjun)
Tiu Pupus merupakan air terjun  dengan ketinggian 50 meter dengan tebing berwarna kecokelatan. Kolamnya cukup luas yaitu sekitar 100 meter persegi dengan kedalaman sekitar 4 meter. Tiu Pupus secara administratif terletak di Dusun Kerurak, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Air terjun ini berjarak sekitar  70 km dari Mataram (Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Barat). Waktu tempuh yang dibutuhkan  sekitar 1 jam perjalanan baik menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua.
Tebing Tiu Pupus (Dok. Pribadi)
Kondisi jalan menuju lokasi air terjun ini cukup bagus. Selain itu lokasinya  mudah ditemukan karena telah tersedia petunjuk arah.
Trek ke Tiu Pupus (Dok. Pribadi)
Aliran Air Tiu Pupus (Dok. Pribadi)
Nah mengingat belum tersedianya angkutan umum menuju ke air terjun tersebut sebaiknya Anda menyewa kendaraan atau Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi.  Rute perjalanan yang dapat ditempuh  yaitu Mataram-Pemenang-Tanjung-Gondang-Ledang Bagian-Kerurak.

Dari lokasi parkir, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki sekitar 15 menit  menyusuri jalan setapak, perkampungan, dan hutan lindung. Untuk menikmati pesona Tiu Pupus Anda tidak perlu mengeluarkan biaya tiket karena hingga sekarang belum berlaku ticketing di tempat wisata ini. Dengan demikian konsekuensinya adalah fasilitas dan akomodasi juga belum tersedia.
Tak jauh dari Tiu Pupus juga terdapat Air Terjun Kerta Gangga. Lokasinya pun masih satu desa yaitu sama-sama berada di Desa Genggelang Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara. Dari Tiu Pupus, Anda hanya perlu melanjutkan perjalanan sekitar 6 km.

Referensi:
Catatan Perjalanan Adi Dev Onk

http://wisataairterjunblogspot.com

0 komentar:

PERGI!

(Adi Dev Onk)
Laksana Bumi yang muak pada mendung  yang  tak menghadirkan hujan
Aku pun muak pada janji-janji kehidupan yang hanya bisa menaburkan harapan
Simpan saja janji manismu
Biarkan aku menari bersama kenyataan
Meskipun kenyataan itu  empedu kehidupan
Diam!
tutup saja mulutmu!
Jangan sampai aroma busuk nafasmu membuatku kalap dan menusuk tenggorokanmu
Aku t’lah terlalu bosan pada kekecewaan
Aku  t’lah terlalu mual  pada pembual
Jangan biarkan aku berdosa mengotori bumi dengan muntahku
Hanya karena jijik  pada ulahmu
Pergi!
Jangan pernah kembali!
Aku tak ingin membuang waktuku di dalam bui
Hanya gara-gara memutilasi atau mengebiri tubuhmu yang seksi
Pergi!
Jangan menoleh lagi!
Jangan sampai aku patahkan lehermu dan mencongkel kedua bola matamu
Pergi!
Lekas pergi!
Lekas angkat kaki!
Jangan sampai tulang lututmu kuremukan hingga kau tak mampu lagi berjalan
Pergiiiii!
Aku bilang pergi!”
Tidak..!!
Aku masih mencintaimu
|
Ketapang, 28 Oktober 2014 | 12:31

0 komentar:

NIATNYA KE TIMPONAN EH MALAH NYASAR KE SEGENTER

Nuriadi-Catatan Perjalanan-Senin, 27/10/2014
Temburun (Dok. Asyazili)

Mingggu 26 Oktober 2014 kami akan trekking ke Timponan Sesaot. Timponan Sesaot merupakan sebuah air terjun yang terdapat di dalam Hutan Wisata Sesaot Lombok Barat. (Gitu sih info yang ku dapat di sebuah Blog) Trekking kami kali ini menyalahi jadwal yang telah disepakati. Sebenarnya jadwal trekking kami adalah bulan depan namun karena banyaknya permintaan dari teman-teman buat dipercepat akhirnya disepakatilah bulan ini kami trekking. “Percepat ka jadwal sita baq aeq terjun nu, meletko milu ni!”, usul Repi. Senada denga Repi, Rozi dan teman-teman yang lain juga sering mengusulkan seperti itu.  Dengan demikian aku menginformasikan rencana percepatan itu ke teman-teman dan ternyata mereka sangat antusias. Melihat mereka yang sedemikian antusias, aku yakin mereka enggak akan keberatan mengeluarkan uang lebih. So, aku pasang tarif 20.000,- Tarif yang sama dengan tarif ketika kami trekking ke tempat yang lebih jauh. Rencananya separuh dari tarif tersebut akan aku alokasikan buat pembuatan bendera dan  screen sablon. Namun hingga H-3 tak satupun mulai membayar. Wah sepertinya tarif itu masih mahal buat mereka. Alright kenyataan memang enggak selalu sesuai dengan keinginan. Dari pada batal total, ya udah kuturunkan sharing cost-nya jadi 10.000 saja. Dengan konsekuensi pembutan bendera dan lain lain ditunda dulu. Ahkhirnya kami hanya cukupkan dengan membuat spanduk berbahan vinyl ukuran 1x2 meter. Yang biaya permeterya hanya 18.000,- Jadi total biayanya hanya 36.000,- Itupun ngutang dan dapet diskon 6000 pula dari Warid. Thanks ya Warid, sering-sering aja kayak gini atau kalau perlu gratis. Kan enak dikami enggak enak di kamu.. Ha.ha.
 Sebenarnya tujuan kami selanjutnya adalah Air Terjun Jeruk Manis yang ada di Lombok Timur. Mengingat jadwal dipercepat ya udah kita mutusin buat explore air terjun yang deket-deket aja dulu. Kenapa mesti seperti itu?? Jawabannya karena kami cuma trekker yang keungannya masih sangat bergantung pada “bea siswa dari orang tua” kami masing-masing. Nah kalau enggak direncanain jauh-jauh hari susah bisa ngumpulin duit buat biaya perjalanan. Sementara kalau tujuannya deket gini kan seenggak biaya tranportasi bisa lebih murah.
Hari yang dinanti pun tiba. Kami sepakat berangkat jam 9 pagi teng.
“Olong yaq ta lampaq jam 9 teng. Sembarang telat semenit pun enang! Inget pada jauq keperluan pribadi! Sebarkan. Tampiasih”
Begitu lah pesan singkat bernada ancaman halus yang ku sebarkan ke temen-temen.  Tapi tetap saja ngaret. Kekhawatiran Fathul malam sebelumnya terbukti. Dini hari sepulang nonton atraksi laser melalui pesan singkat Fathul menyarankanku buat menyuruh temen-temen kumpul jam 8 biar bisa berangkat jam 9. Karena kalau disuruh kumpul jam 9  pasti berangkatnya jam 10. Dan itu terbukti.
Begini ceritanya: Hari minggu itu aku bangun pagi-pagi dan langsung packing. Kemudian ke rumah ibu buat ambil bekal dan bumbu rujak yang udah dibikin oleh Ayu. Saat lewat di depan rumah Rasidi. Ibunya menegurku “Yaq sita lalo menjojaq?”
“Aoq inaq rari. Embe Rasidi?”
“Nu leq balen Fajri nu”
“Rasidi ente dong!”
“Mula ko bayaq dek baruq”
Singkat cerita Rasidi yang sebelumnya enggak sempat aku kabari mengenai hal ini ternyata mau ikut juga. Rasidi memang keren. Dia enggak banyak janji tapi langsung ngasih bukti dengan nyetor uang transportasi. Enggak kayak Hanan, Abahar dan teman-teman yang lain yang sering kali cuma bisa janji. Udah gitu Rasidi juga bersiasat untuk terus mempengaruhi Fajri biar dia ikut. Aku pun ngacungin jempol buat siasatnya itu.
Ketika melintas di rumah pak Kiyai tiba-tiba beliau menegurku dari kejauhan dengan sedikit berterteriak “Adi yaq ta lampaq ni?!”
“Aoq panasin waq juluq kijangte”, jawabku.
Beberapa menit sebelum jam 9 aku langsung menuju rumah pak Kiyai. Eh ternyata belum ada satu pun orang disana. Pak kiyai juga belum siap-siap. “Tuaq Mat sugulang waq kijangte anteh e jelap taek kanak-kanak nu!” , saranku ke pak Kiyai.
Tak lama setelah itu Akir muncul. Teman-teman yang lain pun satu per satu muncul. Fajri yang sebelumnya beralasan enggak bisa ikut karena harus kerja eh muncul juga. Tapi ternyata dia cuma mengabarkan dia tetep enggak bisa ikut, Hanya saja alasannya sekarang ini karena kurang sehat.
“Milu waq te. Ningta seneng kek uwaq ta sakit”, kataku terus mempengaruhinya.  Setelah berulang kali dan tanpa menyerah mempengaruhi akhirnya dia ikut juga. “Rasidi kita berhasil”, kataku dalam hati.
Efek bagadang semalam konsentrasiku buyar pagi ini. Perlengkapan solat seperti sarung dan sajadah lupa aku packing. Sambil nunggu beberapa temen yang masih ngaret. Ya udah aku balik lagi buat ngambil perlengkapan solat. Bolak-balik seperti itu membuatku keringetan. Aku ngerasa enggak nyaman. Toh mereka juga masih ngaret juga ya udah aku mandi lagi. Disana juga aku ingat kalau aku lupa bawa pisau. Selesai mandi aku langsung ke Asnayadi. “Tuaq araq ladik sida mendoe sarung? Singgaq aoq?”, pintaku
“Aoq apikang e laguh ah! Dendeq buang-buang!”, katanya mengajukan syarat.
“Aoq iniq ta bae buang-buang e”, jawabku menyakinkan.
Ok semua udah siap. Berangkat! Mobil bak terbuka yang kami gunakan perlahan bergerak meninggalkan Ketapang, kampung kelahiran kami. Eh beberapa ratus meter meninggalkan kampung, kami baru ingat ternyata Warid belum nongol dari tadi. Beberapa teman ngasih info kalau HP-nya enggak aktif. “Cobaq telpun e karing sekali”, Intruksiku. Dan sama seperti sebelumnya. HP-nya masih enggak aktif. “Astaga sang po tindoq e”, dugaku.
“Ite montor e laguq?”, lanjutku bertanya ke Zili.
“Aoq”
“Antingko yaq ko boyaq e juluq semendaq”, kataku langsung turun dan berlari kecil enuju rumah Warid.
Benar saja dia sedang tidur terlelap. Cukup lama aku berusaha membangunkannya baru dia sadar. Oh My God. Nih orang kemarin semangat banget pengen ikut sekarang  malah asyik ngorok. Agar dia patah semangat dan tak berniat batal ikut. Aku bilang “Tenang yaq kami antin deq. Nyandi waq aruan!”. Buru-buru dia ke kamar mandi tapi balik lagi dan bilang “Adeqko tao gupuhku, lemaq waqko miluku aloh. Araq tau leq jeding nu”
“Adeng-adeng waq. Mendaup doang waq alo. Tono taoq ta mandiq uli’, kataku menyakinkannya agar dia tetap mau ikut.
Kami berlari kecil menuju mobil. “Astaga apa ning e oloqko li siq kanak-kanak nu”, khawatirnya.
“Wa sante waq”, kataku terus menyakinkan.
Begitu sudah dekat dengan mobil. Aku berseloroh dengan bilang “Saweq e dateng aeq terjun Warid langan impi”. Kami pun berangkat. Biar perjalanan asyik aku minta Akir atau Fatahul bermain gitar. Tapi mereka nolak. Hemm dengan terpaksa aku ambil alih gitar dan mulai memainkan chord lagu andalanku. Eh sebenarnya bukan lagu andalan sih tapi cuma chord itu yang aku bisa. Lagu Bidadari milik Sayap Laki –pun  mengalun. Ya walaupun dengan chord dan tempo yang berantakan serta suara kami yang fals, yang penting happy. Kami masih mendendangkan lagu itu saat melintas di Dusun Jelateng. Semua mata tertuju pada kami. Mungkin berpasang-pasang mata itu tertuju karena keseruan kami. Tapi kayaknya sih lebih mungkin karena kami mirip sapi. Ya gimana tidak mirip sapi, sekian banyak bujang  berjejal di mobil bak terbuka seperti itu.
Seiring usainya lagu Bidadari, kami sudah melewati Jelateng. Nah sekarang aku bingung mau main chord lagu apa lagi. Aku pun ingat sisa-sisa ilmu bermain gitarku sewaktu SMP dulu. Maka lagu Bintang di Surga milik Peterpan pun aku mainkan. Namanya juga ilmu yang enggak diterapkan ya jadi banyak lupanya. So positif ancur gila aku mainnya. Dan sepertinya Fatahul terganggu dengan hal itu. Dia pun turun tangan. Dia langsung memainkan chord Jadilah Legenda-nya SID. Namanya juga ahlinya yang main jadi enak aja dengernya. Gak ada lagi tuh yang namanya salah chord.  Huh..! Suasana mulai menggila. Beberapa lagu SID yang lain seperti Jika Kami Bersama, Kuat kita Bersinar, Saint of My Life, Sunset di Tanah Anarki dan lain lain menjadi soundtrack perjalanan kami.
Memasuki wilayah Sesaot mata kami begitu teliti menyisir tiap plang nama kampung. Kampung yang kami cari enggak ketemu-ketemu  juga. Pada sebuah persimpangan kulihat tanda panah yang menunjukkan arah ke Desa Kumbi. Dengan yakinnya aku intruksikan driver kami mengikuti arah itu. Hingga tibalah kami di sebuah persimpangan. Aku turun dari mobil tanpa alas kaki. Dan menghampiri beberapa orang setempat yang sedang sarapan di warung pinggir jalan.
“Tabeq meton. Tebeketuan, emebe taoq Dusun Rumbuq?”, tanyaku.
“Rumbuq?”, tanya balik pemuda itu buat mastiin.
“Enggeh”
“Wah liwat jaoq..sekitar pituq kilo joq bawaq”
“Rumbuq saq taoq ne araq Timponan leq dalem Gawah Sesaot nu?”, tanyaku memastikan.
“Endeq ne araq Timponan leq Sesaot. Sang Timponan leq Praba kenannde?”
“Timponan leq Praba nu jaq taoqte. Ni araq maliq Timponan leq dalem gawah Sesaot”
“Ni wilayah Sesaot wah ni. Leq te araq masih air terjun, Segenter arane”,katanya
Oh sang iye kene ne leq internet nu. Laguq salaq siq ne aranangne”, jawabku.
“Dese Kumbi aranne te”, sambar seorang ibu pemilik warung.
“Terus embe langan te joq to Inaq?”
“Lurus joq timuq, terus bareh belok kiri seendeqman penurunan”, ibu itu menjelaskan.
“Tampiasih enggeh Inaq-Meton”, kataku.
“Enggeh aneh de nyampah!”, kata pemuda itu menawariku sarapan.
“Dendeq Meton. Tampiasih”, kataku sambil berlalu.
Dasar aku yang lagi enggak fokus. Padahal tadi udah dijelasin oleh ibu penunggu warung. Eh begitu ketemu persimpangan lupa lagi arahnya kemana. Untung ada petunjuk arah yang bertuliskan “Kumbi 300 M”
Ketika memasuki Desa Kumbi itulah, Aku sadar ini adalah air terjun yang berbeda dengan rencana awal kami tadi. Ya aku memang tahu air terjun ini. Seingatku setengah tahun lalu aku tahu keberadan air terjun ini melaui pemberitaan koran tentang tewasnya pengunjung air terjun tersebut.
“Lain yaq ta lai, lain dait ta ni”, kataku temen-temen.
“Lain ni kek?”, tanya Repi.
“Aoq lain”, jawabku.
“Saq yaq ta lai mula nu yaq ta lai te!”, kata Fatahul        
“Cobaang e waq juluq Segenter ni te. Uli ta boyaq e Timponan nu!”, instruksiku.
Walaupun dalam kondisi kesasar seperti itu. Kami tetap santai tanpa kekhawatiran sedikitpun. Buktinya kami masih tetap menikmati perjalan dengan  tetap bernyanyi di atas mobil bak terbuka itu. Volume suara kami kecilkan ketika memasuki perkampungan. Satu lagi persimpangan yang memaksa kami buat bertanya ke masyarakat setempat.
“Amaq embe langan te joq aiq terjun?”, tanya seorang rombongan kami.
“Tie wah”, kata bapak itu ke kami sambil menunjuk arah ke dalam hutan.
“Bau ne tame mobil ni?”
“Bau ne”
Pada gapura hutan itu tertera “Taman Hutan Raya Nuraksa”. Jalannya sempit dan bergelombang. Hanya muat untuk satu mobil. Driver kami harus ekstra hati-hati. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengambil ancang-ancang meloloskan diri dari keterjalan jalan tersebut. Sebenarnya jalan ini hanya bisa dilewati oleh mobil 4WD. Tapi tenang, kami sih udah biasa dengan jalan terjal seperti itu. Di Kampung kami banyak terdapat galian C dengan jalan yang jauh lebih terjal dibanding jalan itu. Driver kami juga udah sangat mumpuni dalam menaklukkan jalan seterjal itu. Well singkat cerita kami tiba ditempat parkir. Disana telah terparkir mobil 4WD berwarna putih milik pengunjung yang kemudian kami tahu berasal dari Mantang Lombok Tengah. Dan belum usai kami memilih tempat parkir muncul lagi mobil yang sama berstiker Lombok Adventure. Mereka pemandu wisata dari Senggigi yang membawa sepasang Bule.
“Gaet nu. Kereng e baq te ning e”, kata tuaq Mat kepada kami.
Aku pun menghampiri orang yang dimaksud.
“Udah sering kesini Mas ya?”. Tanyaku membuka obrolan.
“Ya udah sering”
“Apa aja yang bisa kita explore selain air tejun-nya?”
“Air Terjun aja sih”
“Trek-nya gimana?”
“Bagus kok. Enggak nyampe ratusan anak tangga dan udah ada palang pengamannya. Cuma tetap harus hati-hati, ada beberapa spot yang agak terjal”, jelasnya.
“Oke makasih infonya, Mas”
Trekking pun dimulai. Hasrat eksis-eksis an ber-photo ria tak terhindarkan. Alhasil rebutan posisi terbaguspun terjadi. Wah mulai kacau deh urusannya nih. Tapi kacaunya tetap dalam bingkai senang-senang sih. Gelak tawa mulai ramai. Huh senang banget lah.
Beberapa rombongan pengujung terlihat sedang asyik berenang. Ada pula yang sedang asyik foto berlatar air terjun Segenter. Aku langsung mendekat ke kolam air terjun. Membuka pakain dan mulai menikmati kesegaran air di dalam hutan itu. Kolam air terjun ini luas dan dalam. Air tejunnya sih enggak terlalu tinggi. Diperkirakan ketinggiannya sekitar 20 meter. Terus kolamnya yang mantap buat berenang, secara luas dan dalam. Enggak perlu waktu lama, puluhan anggota rombonganku ikut menceburkan diri. Kami ceria banget main air. Saling siram. Balapan renang. Berfoto dengan berbagai gaya.
Aku yang tahu pernah ada pengunujng yang mati tenggelam di kolam air tejun itu selalu mengingatkan teman-teman untuk selalu hati-hati.
“Fatahul, seseneng-senengta tetep utamanyang keselametan ah”, kataku ke Fatahul.
“Kembeq e?”, tanyanya heran.
“Anteh te tetep selamet”, jawabku singkat tanpa cerita ke mereka tragedi setengah tahun lalu yang terjadi di tempat ini.
Kadang-kadang keindahan air terjun membuat kita tersihir. Sehingga tanpa sengaja kita mengabaikan keselamatan.
Enggak tahan dengan dingin. Kami berhenti mandi dan berkumpul lagi dengan anggota rombongan yang lain. Mereka sedang asyik bercanda, bernyanyi, dan berfoto bersama. Dengan bergabungnya kami, suasana semaaakin riuh. Keceriaan memang selalu menyertai kebersamaan kami.
Bersambung...
Ketapang, 27 Oktober 2014 | 14:06




0 komentar: