NIATNYA KE TIMPONAN EH MALAH NYASAR KE SEGENTER

Nuriadi-Catatan Perjalanan-Senin, 27/10/2014
Temburun (Dok. Asyazili)

Mingggu 26 Oktober 2014 kami akan trekking ke Timponan Sesaot. Timponan Sesaot merupakan sebuah air terjun yang terdapat di dalam Hutan Wisata Sesaot Lombok Barat. (Gitu sih info yang ku dapat di sebuah Blog) Trekking kami kali ini menyalahi jadwal yang telah disepakati. Sebenarnya jadwal trekking kami adalah bulan depan namun karena banyaknya permintaan dari teman-teman buat dipercepat akhirnya disepakatilah bulan ini kami trekking. “Percepat ka jadwal sita baq aeq terjun nu, meletko milu ni!”, usul Repi. Senada denga Repi, Rozi dan teman-teman yang lain juga sering mengusulkan seperti itu.  Dengan demikian aku menginformasikan rencana percepatan itu ke teman-teman dan ternyata mereka sangat antusias. Melihat mereka yang sedemikian antusias, aku yakin mereka enggak akan keberatan mengeluarkan uang lebih. So, aku pasang tarif 20.000,- Tarif yang sama dengan tarif ketika kami trekking ke tempat yang lebih jauh. Rencananya separuh dari tarif tersebut akan aku alokasikan buat pembuatan bendera dan  screen sablon. Namun hingga H-3 tak satupun mulai membayar. Wah sepertinya tarif itu masih mahal buat mereka. Alright kenyataan memang enggak selalu sesuai dengan keinginan. Dari pada batal total, ya udah kuturunkan sharing cost-nya jadi 10.000 saja. Dengan konsekuensi pembutan bendera dan lain lain ditunda dulu. Ahkhirnya kami hanya cukupkan dengan membuat spanduk berbahan vinyl ukuran 1x2 meter. Yang biaya permeterya hanya 18.000,- Jadi total biayanya hanya 36.000,- Itupun ngutang dan dapet diskon 6000 pula dari Warid. Thanks ya Warid, sering-sering aja kayak gini atau kalau perlu gratis. Kan enak dikami enggak enak di kamu.. Ha.ha.
 Sebenarnya tujuan kami selanjutnya adalah Air Terjun Jeruk Manis yang ada di Lombok Timur. Mengingat jadwal dipercepat ya udah kita mutusin buat explore air terjun yang deket-deket aja dulu. Kenapa mesti seperti itu?? Jawabannya karena kami cuma trekker yang keungannya masih sangat bergantung pada “bea siswa dari orang tua” kami masing-masing. Nah kalau enggak direncanain jauh-jauh hari susah bisa ngumpulin duit buat biaya perjalanan. Sementara kalau tujuannya deket gini kan seenggak biaya tranportasi bisa lebih murah.
Hari yang dinanti pun tiba. Kami sepakat berangkat jam 9 pagi teng.
“Olong yaq ta lampaq jam 9 teng. Sembarang telat semenit pun enang! Inget pada jauq keperluan pribadi! Sebarkan. Tampiasih”
Begitu lah pesan singkat bernada ancaman halus yang ku sebarkan ke temen-temen.  Tapi tetap saja ngaret. Kekhawatiran Fathul malam sebelumnya terbukti. Dini hari sepulang nonton atraksi laser melalui pesan singkat Fathul menyarankanku buat menyuruh temen-temen kumpul jam 8 biar bisa berangkat jam 9. Karena kalau disuruh kumpul jam 9  pasti berangkatnya jam 10. Dan itu terbukti.
Begini ceritanya: Hari minggu itu aku bangun pagi-pagi dan langsung packing. Kemudian ke rumah ibu buat ambil bekal dan bumbu rujak yang udah dibikin oleh Ayu. Saat lewat di depan rumah Rasidi. Ibunya menegurku “Yaq sita lalo menjojaq?”
“Aoq inaq rari. Embe Rasidi?”
“Nu leq balen Fajri nu”
“Rasidi ente dong!”
“Mula ko bayaq dek baruq”
Singkat cerita Rasidi yang sebelumnya enggak sempat aku kabari mengenai hal ini ternyata mau ikut juga. Rasidi memang keren. Dia enggak banyak janji tapi langsung ngasih bukti dengan nyetor uang transportasi. Enggak kayak Hanan, Abahar dan teman-teman yang lain yang sering kali cuma bisa janji. Udah gitu Rasidi juga bersiasat untuk terus mempengaruhi Fajri biar dia ikut. Aku pun ngacungin jempol buat siasatnya itu.
Ketika melintas di rumah pak Kiyai tiba-tiba beliau menegurku dari kejauhan dengan sedikit berterteriak “Adi yaq ta lampaq ni?!”
“Aoq panasin waq juluq kijangte”, jawabku.
Beberapa menit sebelum jam 9 aku langsung menuju rumah pak Kiyai. Eh ternyata belum ada satu pun orang disana. Pak kiyai juga belum siap-siap. “Tuaq Mat sugulang waq kijangte anteh e jelap taek kanak-kanak nu!” , saranku ke pak Kiyai.
Tak lama setelah itu Akir muncul. Teman-teman yang lain pun satu per satu muncul. Fajri yang sebelumnya beralasan enggak bisa ikut karena harus kerja eh muncul juga. Tapi ternyata dia cuma mengabarkan dia tetep enggak bisa ikut, Hanya saja alasannya sekarang ini karena kurang sehat.
“Milu waq te. Ningta seneng kek uwaq ta sakit”, kataku terus mempengaruhinya.  Setelah berulang kali dan tanpa menyerah mempengaruhi akhirnya dia ikut juga. “Rasidi kita berhasil”, kataku dalam hati.
Efek bagadang semalam konsentrasiku buyar pagi ini. Perlengkapan solat seperti sarung dan sajadah lupa aku packing. Sambil nunggu beberapa temen yang masih ngaret. Ya udah aku balik lagi buat ngambil perlengkapan solat. Bolak-balik seperti itu membuatku keringetan. Aku ngerasa enggak nyaman. Toh mereka juga masih ngaret juga ya udah aku mandi lagi. Disana juga aku ingat kalau aku lupa bawa pisau. Selesai mandi aku langsung ke Asnayadi. “Tuaq araq ladik sida mendoe sarung? Singgaq aoq?”, pintaku
“Aoq apikang e laguh ah! Dendeq buang-buang!”, katanya mengajukan syarat.
“Aoq iniq ta bae buang-buang e”, jawabku menyakinkan.
Ok semua udah siap. Berangkat! Mobil bak terbuka yang kami gunakan perlahan bergerak meninggalkan Ketapang, kampung kelahiran kami. Eh beberapa ratus meter meninggalkan kampung, kami baru ingat ternyata Warid belum nongol dari tadi. Beberapa teman ngasih info kalau HP-nya enggak aktif. “Cobaq telpun e karing sekali”, Intruksiku. Dan sama seperti sebelumnya. HP-nya masih enggak aktif. “Astaga sang po tindoq e”, dugaku.
“Ite montor e laguq?”, lanjutku bertanya ke Zili.
“Aoq”
“Antingko yaq ko boyaq e juluq semendaq”, kataku langsung turun dan berlari kecil enuju rumah Warid.
Benar saja dia sedang tidur terlelap. Cukup lama aku berusaha membangunkannya baru dia sadar. Oh My God. Nih orang kemarin semangat banget pengen ikut sekarang  malah asyik ngorok. Agar dia patah semangat dan tak berniat batal ikut. Aku bilang “Tenang yaq kami antin deq. Nyandi waq aruan!”. Buru-buru dia ke kamar mandi tapi balik lagi dan bilang “Adeqko tao gupuhku, lemaq waqko miluku aloh. Araq tau leq jeding nu”
“Adeng-adeng waq. Mendaup doang waq alo. Tono taoq ta mandiq uli’, kataku menyakinkannya agar dia tetap mau ikut.
Kami berlari kecil menuju mobil. “Astaga apa ning e oloqko li siq kanak-kanak nu”, khawatirnya.
“Wa sante waq”, kataku terus menyakinkan.
Begitu sudah dekat dengan mobil. Aku berseloroh dengan bilang “Saweq e dateng aeq terjun Warid langan impi”. Kami pun berangkat. Biar perjalanan asyik aku minta Akir atau Fatahul bermain gitar. Tapi mereka nolak. Hemm dengan terpaksa aku ambil alih gitar dan mulai memainkan chord lagu andalanku. Eh sebenarnya bukan lagu andalan sih tapi cuma chord itu yang aku bisa. Lagu Bidadari milik Sayap Laki –pun  mengalun. Ya walaupun dengan chord dan tempo yang berantakan serta suara kami yang fals, yang penting happy. Kami masih mendendangkan lagu itu saat melintas di Dusun Jelateng. Semua mata tertuju pada kami. Mungkin berpasang-pasang mata itu tertuju karena keseruan kami. Tapi kayaknya sih lebih mungkin karena kami mirip sapi. Ya gimana tidak mirip sapi, sekian banyak bujang  berjejal di mobil bak terbuka seperti itu.
Seiring usainya lagu Bidadari, kami sudah melewati Jelateng. Nah sekarang aku bingung mau main chord lagu apa lagi. Aku pun ingat sisa-sisa ilmu bermain gitarku sewaktu SMP dulu. Maka lagu Bintang di Surga milik Peterpan pun aku mainkan. Namanya juga ilmu yang enggak diterapkan ya jadi banyak lupanya. So positif ancur gila aku mainnya. Dan sepertinya Fatahul terganggu dengan hal itu. Dia pun turun tangan. Dia langsung memainkan chord Jadilah Legenda-nya SID. Namanya juga ahlinya yang main jadi enak aja dengernya. Gak ada lagi tuh yang namanya salah chord.  Huh..! Suasana mulai menggila. Beberapa lagu SID yang lain seperti Jika Kami Bersama, Kuat kita Bersinar, Saint of My Life, Sunset di Tanah Anarki dan lain lain menjadi soundtrack perjalanan kami.
Memasuki wilayah Sesaot mata kami begitu teliti menyisir tiap plang nama kampung. Kampung yang kami cari enggak ketemu-ketemu  juga. Pada sebuah persimpangan kulihat tanda panah yang menunjukkan arah ke Desa Kumbi. Dengan yakinnya aku intruksikan driver kami mengikuti arah itu. Hingga tibalah kami di sebuah persimpangan. Aku turun dari mobil tanpa alas kaki. Dan menghampiri beberapa orang setempat yang sedang sarapan di warung pinggir jalan.
“Tabeq meton. Tebeketuan, emebe taoq Dusun Rumbuq?”, tanyaku.
“Rumbuq?”, tanya balik pemuda itu buat mastiin.
“Enggeh”
“Wah liwat jaoq..sekitar pituq kilo joq bawaq”
“Rumbuq saq taoq ne araq Timponan leq dalem Gawah Sesaot nu?”, tanyaku memastikan.
“Endeq ne araq Timponan leq Sesaot. Sang Timponan leq Praba kenannde?”
“Timponan leq Praba nu jaq taoqte. Ni araq maliq Timponan leq dalem gawah Sesaot”
“Ni wilayah Sesaot wah ni. Leq te araq masih air terjun, Segenter arane”,katanya
Oh sang iye kene ne leq internet nu. Laguq salaq siq ne aranangne”, jawabku.
“Dese Kumbi aranne te”, sambar seorang ibu pemilik warung.
“Terus embe langan te joq to Inaq?”
“Lurus joq timuq, terus bareh belok kiri seendeqman penurunan”, ibu itu menjelaskan.
“Tampiasih enggeh Inaq-Meton”, kataku.
“Enggeh aneh de nyampah!”, kata pemuda itu menawariku sarapan.
“Dendeq Meton. Tampiasih”, kataku sambil berlalu.
Dasar aku yang lagi enggak fokus. Padahal tadi udah dijelasin oleh ibu penunggu warung. Eh begitu ketemu persimpangan lupa lagi arahnya kemana. Untung ada petunjuk arah yang bertuliskan “Kumbi 300 M”
Ketika memasuki Desa Kumbi itulah, Aku sadar ini adalah air terjun yang berbeda dengan rencana awal kami tadi. Ya aku memang tahu air terjun ini. Seingatku setengah tahun lalu aku tahu keberadan air terjun ini melaui pemberitaan koran tentang tewasnya pengunjung air terjun tersebut.
“Lain yaq ta lai, lain dait ta ni”, kataku temen-temen.
“Lain ni kek?”, tanya Repi.
“Aoq lain”, jawabku.
“Saq yaq ta lai mula nu yaq ta lai te!”, kata Fatahul        
“Cobaang e waq juluq Segenter ni te. Uli ta boyaq e Timponan nu!”, instruksiku.
Walaupun dalam kondisi kesasar seperti itu. Kami tetap santai tanpa kekhawatiran sedikitpun. Buktinya kami masih tetap menikmati perjalan dengan  tetap bernyanyi di atas mobil bak terbuka itu. Volume suara kami kecilkan ketika memasuki perkampungan. Satu lagi persimpangan yang memaksa kami buat bertanya ke masyarakat setempat.
“Amaq embe langan te joq aiq terjun?”, tanya seorang rombongan kami.
“Tie wah”, kata bapak itu ke kami sambil menunjuk arah ke dalam hutan.
“Bau ne tame mobil ni?”
“Bau ne”
Pada gapura hutan itu tertera “Taman Hutan Raya Nuraksa”. Jalannya sempit dan bergelombang. Hanya muat untuk satu mobil. Driver kami harus ekstra hati-hati. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengambil ancang-ancang meloloskan diri dari keterjalan jalan tersebut. Sebenarnya jalan ini hanya bisa dilewati oleh mobil 4WD. Tapi tenang, kami sih udah biasa dengan jalan terjal seperti itu. Di Kampung kami banyak terdapat galian C dengan jalan yang jauh lebih terjal dibanding jalan itu. Driver kami juga udah sangat mumpuni dalam menaklukkan jalan seterjal itu. Well singkat cerita kami tiba ditempat parkir. Disana telah terparkir mobil 4WD berwarna putih milik pengunjung yang kemudian kami tahu berasal dari Mantang Lombok Tengah. Dan belum usai kami memilih tempat parkir muncul lagi mobil yang sama berstiker Lombok Adventure. Mereka pemandu wisata dari Senggigi yang membawa sepasang Bule.
“Gaet nu. Kereng e baq te ning e”, kata tuaq Mat kepada kami.
Aku pun menghampiri orang yang dimaksud.
“Udah sering kesini Mas ya?”. Tanyaku membuka obrolan.
“Ya udah sering”
“Apa aja yang bisa kita explore selain air tejun-nya?”
“Air Terjun aja sih”
“Trek-nya gimana?”
“Bagus kok. Enggak nyampe ratusan anak tangga dan udah ada palang pengamannya. Cuma tetap harus hati-hati, ada beberapa spot yang agak terjal”, jelasnya.
“Oke makasih infonya, Mas”
Trekking pun dimulai. Hasrat eksis-eksis an ber-photo ria tak terhindarkan. Alhasil rebutan posisi terbaguspun terjadi. Wah mulai kacau deh urusannya nih. Tapi kacaunya tetap dalam bingkai senang-senang sih. Gelak tawa mulai ramai. Huh senang banget lah.
Beberapa rombongan pengujung terlihat sedang asyik berenang. Ada pula yang sedang asyik foto berlatar air terjun Segenter. Aku langsung mendekat ke kolam air terjun. Membuka pakain dan mulai menikmati kesegaran air di dalam hutan itu. Kolam air terjun ini luas dan dalam. Air tejunnya sih enggak terlalu tinggi. Diperkirakan ketinggiannya sekitar 20 meter. Terus kolamnya yang mantap buat berenang, secara luas dan dalam. Enggak perlu waktu lama, puluhan anggota rombonganku ikut menceburkan diri. Kami ceria banget main air. Saling siram. Balapan renang. Berfoto dengan berbagai gaya.
Aku yang tahu pernah ada pengunujng yang mati tenggelam di kolam air tejun itu selalu mengingatkan teman-teman untuk selalu hati-hati.
“Fatahul, seseneng-senengta tetep utamanyang keselametan ah”, kataku ke Fatahul.
“Kembeq e?”, tanyanya heran.
“Anteh te tetep selamet”, jawabku singkat tanpa cerita ke mereka tragedi setengah tahun lalu yang terjadi di tempat ini.
Kadang-kadang keindahan air terjun membuat kita tersihir. Sehingga tanpa sengaja kita mengabaikan keselamatan.
Enggak tahan dengan dingin. Kami berhenti mandi dan berkumpul lagi dengan anggota rombongan yang lain. Mereka sedang asyik bercanda, bernyanyi, dan berfoto bersama. Dengan bergabungnya kami, suasana semaaakin riuh. Keceriaan memang selalu menyertai kebersamaan kami.
Bersambung...
Ketapang, 27 Oktober 2014 | 14:06




0 komentar: