BAPAK DOSEN AKADEMIK SAYA



(Adi Dev Onk)
Guys, ada seorang mahasiswa yang IPK-nya jeblok gara-gara belakangan ini dia males kuliah, males ngerjain tugas, bahkan males buat hidup. Apakah dia lagi broken heart?  No I don’t know.
Intinya hari dia mau minta tanda tangan ketua jurusan buat mengesahkan Kartu Rencana Studi (KRS)-nya. Nah gara-gara IPK-nya rendah dia enggak bisa deh ambil jumlah SKS seperti yang dia kehendaki. Sialnya dosen yang bersangkutan ngomel sejadi-jadinya melihat ketidaktahudirian mahasiswa itu.
“IPK serendah ini tapi Anda mau ambil 24 SKS? Anda benar-benar tak tahu diri!”
Mahasiswa tersebut hanya tertunduk malu mendengar kemurkaan dosen itu. Saking malunya tak sepatah kata pun bisa keluar dari mulutnya. Oh My God dunia dirasa begitu kejam padanya. Ocehan sang dosen terus berlanjut.
“Siapa sih dosen Pembimbing Akademik Anda? Dia tidak pernah memberikan Anda bimbingan?
Pertanyaan itu tak berani dijawab. Dia masih terlalu takut untuk bersuara. Jangankan bersuara bernapas pun terasa begitu sulit baginya. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain menunduk menatap sepatunya sendiri.
“Dosen Akademik  Anda tidak bertanggung jawab! Dia makan gaji buta! Saya akan tuliskan surat, tolong berikan pada dosen Anda itu!”
Mendengar pernyataan tersebut, mahasiswa itu sempat kaget. Spontan dia mengangkat kepala dan menatap wajah garang dosen tersebut. Akan tetapi dia hanya berani menatapnya sekilas, kemudian menunduk lagi, dan mematung lagi. Begitu selesai menulis surat tersebut, dosen itu langsung menyodorkannya dengan acuh.
“Berikan pada dosen Anda yang tidak betanggung jawab itu”, kata sang dosen.
Mahasiswa tersebut sempat ragu mengambilnya, namun gara-gara suara lantang sang dosen yang sedang murka, dengan sangat berat hati ia menambilnya.

Keraguan untuk menyampaiakan amanat dosen itu terlihat jelas dari langkah kaki si mahasiswa. Dia melangkah ragu. Begitu tiba di bawah pintu ruang dosen, ia kembali lagi ke meja dosen tersebut.
“Kenapa Anda kemabali? Cepat serahkan surat itu kepada dosen malas itu!”
“Tapi, Pak...”
“Tidak ada tapi tapi-an!”
“Pak?”
“Apa?”
“Bapak..”, suara mahasiswa itu tertahan di kerongkongan.
“Kenapa?”
Dia memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. Dengan sangat hati-hati ia katakan “Bapak sendiri Pembimbing Akademik saya”.
Mendengar pernyataan itu, dosen itu terdiam seketika.

Pagutan Kebon Lauq, 9 Mei 2014 | 13:58 wita

0 komentar:

KAU TAK INGIN, KU TAK INGIN



KAU TAK INGIN, KU TAK INGIN
 
Fakta Patahnya Jempol Suhardi
Setelah kemarin sempat cedera ringan di tangan kiri, sore ini aku sedikit males main bola lagi. Aku melihat-lihat ke halaman Sekolah Darussalam yang dijadikan tempat bermain bola, kali ini aku enggak bermaksud nonton tapi bermaksud mencari Rozi. Teman yang  ku cari tak berada di sana, aku pun memutuskan buat membantu bibi melayani pelangan di kiosnya yang berada di dekat lapangan tersebut. Cukup banyak pembeli yang ku layani dan ketika udah sepi aku duduk di kursi yang terletak di depan kios. Kursi yang terbuat dari bambu itu menghadap persis ke lapangan bola itu.
Bosan dengan kesendirian itu, aku pulang ganti baju dan akhirnya ikut main bola.
“Yaqko milu aoq”, pintaku.
“Aoq, langan to eleq”, kata Suhardi.
Di halaman sekolah yang enggak terlalu lebar itu permainan bola ala anak kampung berlangsung. Kaki telanjang tanpa sepatu, bermain dengan kuota tak terbatas, siapapun yang mau main bisa langsung masuk lapangan. Maka enggak aneh jika kami sering main dengan pemain yang sangat banyak dan tidak sesuai dengan luas halamn sekolah yang kami jadiakn lapangan bola tersebut.
Ada rasa yang agak aneh di kaki sebelah kiriku. “Mungkin disebabkan belum pemanasan sama sekali”, gumamku. Aku coba melakukan sedikit streching buat menghilangkan rasa kaku itu namun tak terlalu berpengaruh. “Mungkin ini pertanda buruk”, pikirku. Oleh karena itu aku bermain sangat hati-hati buat meminimalisir kemungkinan cedera. Cukup lama kami bermain, goal demi goal terjadi ke gawang timku.
“Eleq e tama Nuriadi nu maq sere dearaq perlawanan e”, kata Suhardi dengan nada bercanda.
“Aoq ah. Maeh kenaqan tan ta maen”, kataku ke teman-teman. Permaianan berlanjut dan timku beberapa kali bisa berhasil mencetak goal. Semakin lama semakin asyik kami bermain. Keringat mengucur membasahi baju kami. Tensi permainan semakin tinggi, kami pun semakin bergairah. Aku yang tadinya bermain sangat hati-hati. Kini mulai sedikit lupa dengan kekhawatiranku dengan firasat buruk di awal permainan tadi. Perebutan bola terjadi antara aku dan Suhardi, Kami sama-sama menendang bola rebutan itu dengan keras. Gerakkan kakinya sedetik  lebih gesit dari pada aku. Bola itu terdentang keras ke arah samping olehnya. Kemudian kakinya yang masih mengayun keras di udara itu mengenai tulang kering kaki kiriku. “Broooook!” Dia langsung tertidur merintih kesakitan. Dia intruksikan Fauzul dan Aswadi menarik kakinya yang sakit itu. Ku kira dia cuma keram biasa Namun ternyata tulang jempol kaki kanannya patah. Aku speechless melihat jempol kakinya yang mendongak ke atas karena patah tulang itu. Orang yang berada di sekitar lapanagan itu menjadi heboh karena melihat Suhardi tergeletak menahan sakit di tengah lapangan. “Astaga sai cekok nu”, kata seorang ibu.
“Sai nu kaq?”, kata ibu yang lain.
“Suhardi”, jawab seorang remaja.
“sang kelengkong e”, kata ibuku sambil menghampiri.
“Adooooh..! maq kelengkong ning e”, kata Suhardi kesal sambil menahan sakit.
“Adeq e kembe-kembe”, kata Fauzul berbohong agar warga tak semkain heboh.
“Maq momot sita, dong opong e dit aruan beng e nginem!”, kata Ibuku.
“Aruan baitang e aeq!”, kata seorang pemuda.

Sama seperti aku, sebagian besar teman-teman kami bermain yang lain bingung tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus melakukan apa untuk menolong Suhardi. Fauzul berinisiatif menggendongnya dan bilang “Enteh ta jauq e baq tuaq Maat!”.
Pertama-tama Fauzul bermaksud hanya memapahnya namun Suhardi benar-benar tak bisa jalan sedikitpun. Oleh karena itu Fauzul terpaksa menggendongnya hingga badan jalan.
“Dendeq opong dateng balen tuaq Maat. Kembelas laloq e tau laun. Rozi montor deq te yaq ta adu jauq e mae!”, perintah Fauzul.
Suhardi kesulitan naik ke atas jok motor itu. Dengan susah payah sambil merintih kesakitan akhirnya dia bisa menaikinya. “Dong dendeq beng mesaq terq e laun”, kata seorang lelaki.
Tapi belum selesai lelaki itu bicara Fauzul sudah memacu motor itu dengan segera. Aku dan Aswadi berlari mengejar dari belakang. Begitu tiba di rumah tuaq Maat Aku dan Aswadi langsung membopong Suhardi turun dari motor dan menidurkannya di beranda tuaq Maat, si tukang urut.
Sontak warga berkerumun menyaksikan kejadian itu. Dengan telaten tuaq Maat mengurut jempol kaki yang patah itu. Sementara itu, Suhardi mengerang menahan sakit.
Dendeq beriin inaq e juluq, yengkaq e kurang sehat nu laun kembelas e.”, kata inaq rari Asiah.
“Na e adeq yaq aru lampaq baq Malasya apa kanak te”, kata seorang lelaki dewasa.
“Aoq kadi nu mentelah juluq maen bal lamunta yaq aru lampaq nu”, timpal seorang ibu.

Banyak warga yang mengira-ngira bagaimana proses kejadiannya sehingga Suhardi bisa cedera parah seperti itu. Banyak pula versinya namun tak satu pun yang tepat. Inaq rari Rukiah menangis melihat putranya terlentang kesakitan. Sementara itu, sebagaian besar sanak keluarganya yang lain menyesalkan kejadian itu. Akan tetapi masih ada orang yang begitu bijaksana menerima musibah itu dengan sabar.
“Mula perjanjiannya aran e”, kata tuaq Rahbi dengan bijak menerima ujian yang dialami putranya.
“Lailah jangkaq lekok tanaq nu isiq e”, kata Fauzul berbohong untuk kebaikan.
Infomasi palsu yang diberikan itu diterima sebagai kebenaran oleh sebagian besar warga yang berkerumun di tempat itu. Di satu sisi kebohongan itu menguntungkanku, tetapi di sisi lain nuraniku sendiri ingin menentang dan ingin memberikan informasi yang sebenarnya. Aku memilih diam. Mungkin kebohongan Fauzul itu adalah cara terbaik untuk sementara ini.


Ketika tuaq Maat menyelesaikan tugasnya, aku langsung mengambil posisi untuk menggendong Suhardi. Akan tetapi, Aswadi lebih dulu mengambil posisi yang ku maksud.
“Ku jari opong maeh”, pintaku
Kancanta dua tanta, diq jagaq nae e te”, usul Aswadi.
Aku tetap ingin menjadi orang yang menggendong Suhardi namun sepertinya Aswadi juga menginginkan hal yang sama. Saat kami masih berebut tiba-tiba tuaq Rusniadi mulai mengangkat tubuh pria yang sedang kesakitan itu. Pada akhirnya aku ditugaskan untuk menjaga kaki yang patah itu agar tak terbentur tembok di gang sempit yang kami lalui. Beberapa menit mengusung tubuh itu, tibalah kami di rumah Suhardi. Di ruang tamu kami baringkan dia dan para tetanggapun berdatangan.
Cukup lama aku berdiskusi dengan rasa bersalahku karena melihat air mata dari ibunda Suhardi. Air mata seorang ibu memang selalu bisa membuatku jadi lelaki sensitif yang cendrung cengeng. Di tengah keramain itu beliau terus menangis seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Pertunjukan kesedihan itu semakin membuatku merasa bersalah.
Kembeq jari tan e baru tia?”, tanya Saupi.       
“Kenyang laloq tan ko pulaq, terusko nendang biqang balung”, Suhardi menjelaskan.
“Mun meno dong bawaq lai e polak naen deq te, iniq e bae baq atas”, Saupi mencium aroma kebohongan dalam penjelasan itu.
“Bagusan tan ajahangko adin deq te, Upi. Pageh laloq e nya!”, kata ibu Suhardi.
“Wa karing-karing telu jelo te uwaq e ni Inaq, bagusang angen bae”, kata Suhardi menghibur ibunya.
“Yaqta uleq juluq enteh, uli ampoqta kete!”, ajak Aswadi kepadaku..
“Aoq enteh”, jawabku
“Saweq Isya te kumpul leq Perempatan, nyugulangtan ta aoq siq ta jangoe”, usul Aswadi.
Karena arah rumah kami berbeda, kami berpisah. Kami sepakat akan menjenguk Suhardi sehabis Isya dengan mengajak teman-teman yang lain. Ku siapkan beberapa makanan dan obat pereda nyeri yang akan ku bawakan. Sehabis Isya aku dan Aswadi langsung ke sana dan menyuruh teman-teman yang lain menyusul.
“Dendeq ngelah nyugulang waq, saweqko siepang jaja saq yaq ta jauq nu”, intruksiku ke Aswadi.
“Dong ni siq entuk e, rokok endah jauqang”, usul Aswadi.
“Aoq engkah”, kataku menyetujui.
“Lewah deq bentek e jaja te?”, tanya Aswadi meragukanku.
“Aoq enteh”, jawabku dengan mantap.
Tak lama setelah itu kami sudah berada di depan pintu rumah Suhardi. Pemandangan yang mengiris hati tersaji. Suhardi ngesot dengan susah payah menuju kamar mandi. Dia hendak kencing. Rintihannya menahan sakit terdengar begitu jelas keluar dari mulutnya.
“Assalamualaikum”, kataku.
“Waalaikum salam”, jawab Saerani yang merupakan saudari sulung Suhardi.
Saerani mempersilakan kami duduk, kemudian membuka obrolan dengan menceritakan kejadian yang tak kami ketahui.
“Lamun sita ite kek jigah e, laguq lamun sita uleq dearaq tau kenaq isiq e. Baruq naken e ribut mele e belewas e”, kata Saerani.
“Ni siq jaga-jaga ning e ngemut olong”, kataku sambil menyodorkan obat pereda nyeri kepada Suhardi.
Muji datang dan tak lama kemudian satu per satu teman berdatangan. Hingga rumah itu begitu ramai. Bahkan Usen and the gank pun datang namun mereka cuma melihat-lihat sebentar kemudian pergi karena tak tertampung oleh ruang tamu itu. Aswadi, Fajri, Saya, dan Suhardi pun sempat bercanda. Kejadian itu mengundang pernyataan ibu Suhardi.
“Ya ampoqko tunaq gitaq sita uleq, sengaq adeq e pati rasanin sakit e lamun sita eleq tene”, kata beliau.
***
Singkat cerita aku sudah di rumah, ku putuskan untuk menulis catatan harian ini. Hampir jam satu dini hari aku masih asyik menulis. Tiba-tiba notebook mati, sempat kesal karena catatan yang hampir rampung itu hilang. Untungnya autosaved-nya aktif sehingga tulisan itu bisa “diselamatkan”. Setelah memastikan tulisan ini tersimpan, aku istirahat karena besok jam enam pagi ku harus siaran. Akan tetapi satu jam berlalu aku belum bisa tidur juga. Aku kepikiran dengan rasa sakit yang dirasakan Suhardi. Ku kirimi dia pesan singkat.
“Olong adekko iniq tidem indeng sakit e ngumutan naen deq te. Maap beleq-beleq olong atas musibah saq adeqta pada meleang ni”, begitulah bunyi pesan singkatku padanya.
“Wa dendeq pikirang laloq olong! Embe bae tan ta, waq ia mula perjanjianta”, balasan SMS Suhardi  paginya.
***

Ketapang, 6 Mei 2014 | 0:56 wita

0 komentar: