MENANTUKU cerpen by Adi Dev Onk

MALAM ITU malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Seperti halnya kampung-kampung lain acara dipusatkan di Masjid. Masjid tersebut sedang dalam proses panjang  pembangunan. Pengurus masjid pun belum banyak. Remaja masjid belum dibentuk sehingga hanya segelintir orang saja yang menjadi panitia peringatan Maulid itu. Walaupun dengan panitia dan dana seadanya. Panitia berusaha maksimal. Seenggaknya tahun ini gaung peringatan Maulid lebih terasa dari pada tahun-tahun sebelumnya.

Sehabis shalat isya jamaah berkumpul di masjid.  Susunan acara pada malam itu antara lain: pembacaan ayat suci Al-quran, ceramah, dzikir dan doa. Tuan Guru sudah hadir. Acara pun dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-quran.

“Wah bagus sekali suaranya”, bisik seseorang pada orang di sampingnya.

“Seandainya dia masih gadis harus saya yang jadi cowoknya”, kata pemuda yang kelak menjadi ketua remaja masjid itu.

“Saya merinding mendengar suaranya”, Bisik pemuda yang lain.

            Semua orang di kampung mengagumi keindahan suara wanita itu membaca Al-quran. Setiap bulan puasa dia sangat rajin tadarus di Masjid dan di Mushala dekat rumahnya. Dalam satu malam dia sering tadarus di dua tempat. Sehabis tadarusan di masjid dia tadarusan lagi di mushala dekat rumahnya, itu pun untuk durasi yang cukup lama di masing-masing tempat. Kebiasan kampung itu memakai pengeras suara tadarusan sampai dini hari membuat wanita itu dikenal seluruh kampung dengan keindahan suaranya. Mulai dari anak-anak sampai tua renta tak satu pun yang tak mengenalnya. Dialah Tadarus Idol di kampung itu.

Badannya tinggi besar, rambutnya hitam dan panjang. Dia tidak hanya pandai mengaji tapi juga ramah pada semua orang.

“Beruntung sekali ya si Amat punya istri seperti dia”, kata H. Udin iri.

“Ya, suaranya bagus, orangnya manis, body-nya bohai lagi”, sahut Murta.

“Dada-nya itu loh, mantap!”, Udin menahan ludah.

Murta menyedot ludah kemudian menjilat bibir atasnya sambil berfantasi nakal. Ketika ia menjelajah dengan fantasi liarnya terhadap wanita itu, tiba-tiba seorang mengagetkannya.

“Husy..! lain-lain aja! Ingat anak-istri!”, kata Saiki menceramahi lalu berlalu

“Mau jualan kemana hari ini Saiki”, sapa H. Udin setengah teriak

“Ke Utara!”

Saiki mengendarai motor bebeknya dengan kecepatan rendah sambil besiul. Sosoknya perlahan menjauh dari Haji Udin dan Murta. Dia siap mencari nafkah untuk anak-istrinya.

 

****

            Wanita itu sangat telaten mengurus anak-anaknya. Pagi-pagi ia menyiapkan seragam sekolah mereka, menyiapkan sarapan pagi. Selain itu, ia juga rajin menyapu halaman pagi-pagi setelah shalat subuh.  Ia baik pada anak-anak iparnya. Tanpa diminta ia akan membantu mertuanya bekerja di sawah. Bahasanya santun terhadap semua orang. Karena semua sikap baiknya itulah ia sangat disayangi oleh mertuanya. Dengan bangga ibu mertuanya menceritakan menantunya pada tetangga saat ia membuat sapu ijuk bareng, atau saat ia berbelanja untuk kebutuhan memasak.

“Sudah berapa lama Rahnan di Malaysia Buk?”

“Dua tahun, saya tidak sabar menunggu dia pulang”

“Pasti uang kirimannya sudah banyak dong Buk”

“Alhamdulillah lumayan, untung juga dia punya istri yang pandai mengatur keuangan.

Insyaallah begitu pulang dia akan langsung membangun rumah”

“Iya, saya lihat gelang dan kalung istrinya besar ya?”

“Kemarin menantu saya juga membelikan cucu perempuan saya anting dan cincin lho. Terus dia juga berencana membelikan cucu lelaki saya sepasang sapi. Saya dan ayahnya diberi sejuta untuk beli kopi. Eh berapa total belanja saya ini buk?”

“Sepuluh ribu buk”

“Saya duluan ya dek Janah”

Nenek Irok menenteng belanjaannya meninggalkan warung. Dia tersenyum puas telah menceritakan prestasi hebat menantunya sebagai seorang menantu. Setelah nenek itu lumayan jauh meninggalkan warung. Janah dan ibu-ibu yang lain menggosipkan menantu nenek itu. Isi gosip tersebut sangat berbeda dengan kebanggaan nenek itu terhadap menantunya. Kalau apa yang diceriatakan nenek itu benar-benar membuatnya bangga sebagai seorang mertua. Gosip ini mungkin akan membuat nenek itu sangat malu mempunyai menantu seperti wanita itu.

****

Maesah sangat salut pada suaminya yang amat giat dalam mencari rizki untuk menafkahinya dan anak-anak. Pagi sampai sore suaminya berkeliling menjual pakain ke kampung-kampung pelosok. Bahkan tak jarang suaminya pulang larut malam. Suaminya tidak hanya menjual pakaian di kabupatennya saja tapi sampai di pelosok-pelosok kampung kabupaten lain. Itu dilakukan  hampir setiap hari dalam seminggu. Ia hanya libur pada hari jumat. Kalau orang kota libur di hari minggu, laki-laki di kampung biasanya libur di hari jumat. Yang melatarbelakangi mereka libur pada hari jumat adalah jumatan. Meraka terbiasa jumatan di masjid mereka sendiri sehingga mereka memutuskan untuk libur di hari jumat biar ibadah mereka tidak terganggu. Maesah sangat kagum pada Saiki, suaminya. Pagi, siang, sampai sore ia bekerja. Dini hari saat penduduk kampung terlelap dalam tidurnya, ia juga masih berikhtiar mencari rizki

Jumat dini hari itu seperti biasa Maesah menyiapkan jaket hitam suaminya. Di malam yang lain juga suaminya pernah meminta ijin untuk pergi bertapa ke kuburan. Namun yang hampir tidak pernah absen adalah pada setiap pukul tiga dini hari seperti itu. Pada awalnya Saiki tidak meminta ijin pada istrinya. Namun pada suatu dini hari ia kedapatan diam-daim keluar rumah. Saat itulah ia menjelaskan pada istrinya bahwa dia keluar dini hari seperti itu untuk bertapa agar mendapat harta karun di kuburan dan di sana dia juga berdoa agar pembelinya semakin banyak sehingga rizki mereka semakin banyak. Namun dia tidak ingin menggangu tidur istrinya makanya ia tidak membangunkan istrinya.

Setelah kejadian itu istrinya terbiasa kalau medapati dirinya cuma sendiri di tempat tidur tanpa sang suami. Bahkan suatu Jumat dini hari suaminya tidak keluar seperti biasa, dia membangunkan suaminya dan bertanya apakah malam ini suaminya tidak keluar bertapa.

“Sayang sini jaketnya saya mau berangkat!”

“Nih sayang, hati-hati ya”

“Ya sayang”, kemudian ia mengecup kening istrinya.

 

****

 

            Pagi  menjelang siang itu, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Ibu-ibu sudah ramai di warung untuk membeli sayur yang akan dimasak untuk anak dan suami mereka. Gosip-gosip pun sepertinya tak pernah sepi di tempat itu.

“Eh kata buk Aminah, tadi malam suaminya melihat lagi rumah wanita itu didatangi oleh seorang lelaki”, Kata Janah membuka gosip baru.

“Yang bener?”

“Kalau enggak percaya tanya saja sendiri ke buk Aminah”

“Oh siapa lelaki itu?”

“Tadi buk Aminah belum sempat kasih tahu dia keburu dipanggil suaminya untuk buat kopi”

“Bukan Haji Udin ya?” kata Inok berbisik

“Kalau itu sih gosip lama”

“Terus siapa dong?”

“Nah itu ibu Aminah, kita tanya langsung aja ke dia”

“Buk, bener ya  tadi malam wanita itu dimasuki lagi sama lelaki?”

“Siapa?”

“Itu menantunya nenek Ir...”

Nenek Irok tiba-tiba muncul dari belakang mengagetkan ibu-ibu yang sedang bergosip. Mereka kikuk malu tertangkap basah sedang menggosipkan menantu kebanggaan nenek Irok. Ada yang pura-pura sibuk kembali memilih sayur, ada yang pura-pura sibuk menawar, ada yang segera membayar, ada yang buru-buru pulang. Janah basa-basi dengan bertanya.

“Tumben cepat dateng buk, mau beli apa?”

Nenek itu tak menghiraukan pertanyaan Janah. Ia membalikkan badan dan segera pulang. Langkahnya begitu cepat, tidak sesantai biasanya. Ia tak menghiraukan orang-orang yang menyapanya sepanjang jalan. Di otaknya hanya ada pertanyaan.

“Apa benar menantuku melakukan hal sehina itu?”

“Tidak mungkin!”

“Dia tidak mungkin melakukanya!”

“Sangat tidak mungkin!”

“Tidak mungkin!”

“Atau saat ini aku hanya bermimpi”

“Ah tidak! Tidak mungkin!”

            Sesampai di rumah ia mendapati menantunya sedang menjahit sapu ijuk. Ia ingin menayakan kebenaran gosip itu kepada menantunya tapi ia ragu. Dia tidak jadi menghampiri menantunya. Ia berbelok masuk ke kamar. Pandangannya langsung terarah ke photo Rahnan, anaknya yang sedang merantau ke Malaysia.

“Nak apa mungkin istrimu menghianatimu”, ia berbicara dalam hati pada photo putra sulungnya.

Hati dan logikanya berdiskusi panjang. Ia semakin bimbang. Belum menemukan jalan memecahkan kebenaran omongan orang-orang. Akhirnya dia memutuskan tidak memberitahu dulu putra maupun suaminya tentang gosip itu. Ia memutuskan untuk menyelidikinya sendiri.

Nanti malam dia akan  begadang dan akan mengintip kamar menantunya. Dia begitu resah hari itu. Ia menghindari pertemuan dengan orang lain. Ia memilih mengurung diri di dalam kamar seharian. Malam yang ditunggu terasa begitu lamban datang. Waktu bergerak begitu lambat. Hingga akhirnya malam yang dinanti menghampiri. Semakin larut. Semakin sepi.  Dari jendela ia mengawasi setiap gerak di sekitar rumah menantunya. Ia membuka lebar telinganya untuk setiap  suara.

“Buk bangun shalat subuh!”

“Ia terbagun oleh suaminya”

“Astaga sudah subuh”, katanya sesal.

 

            Karena semalam ia begadang, hari ini dia tidur siang begitu lama. Hingga suaminya mengira dia sakit. Menantu yang dicurigainya pun mendatanginya ke kamar untuk melihat kondisinya. Ia menghindari menantunya dengan alasan-alasan yang mantap. Dan akhirnya ia berhasil meyakinkan menantunya bahwa dia baik-baik saja. Malam selanjutnya, malam Jumat. Dia tidak mengantuk sama sekali sampai pagi. Namun dia tidak melihat sesosok pun memasuki rumah menantunya. Pukul setengah empat pagi ia memutuskan keluar rumah dan mengintip rumah menantunya dari jarak yang lebih dekat. Ia berjalan dengan menjinjit agar suara langkah kakinya tak terdengar oleh telinga-telinga yang masih terjaga. Ia semakin dekat dengan rumah targetnya. Dan sekarang sudah berada tepat di belakang kamar menantunya. Ia mengintip melaui celah pagar, ia mendapati dua sosok sedang berbaring tanpa gerak. Namun dua sosok itu terlalu kecil menurutnya. Dan ternyata itu  adalah dua cucunya yang sedang tersesat dalam alam mimpi mereka masing-masing. Matanya mencari-mencari tubuh menantunya namun tak jua menemukannya. Ia memutar ke belakang ruang tamu. Dia mencari-cari lubang pagar tepat mengintip namun belum juga menemukannya. Ia tempelkan telinganya di pagar.

“Ah..ah..ah..ah..ah”

Suara itu belum terlalu jelas. Ia fokuskan lagi pendengarannya. Masih terdengar suara yang sama.

“Ah..ah..ah..ah..ah”

Ia masih bingung dengan suara itu. Ia mencoba mengingat-ingat kapan dan dimana dia mendengar suara sejenis. Otaknya masih sulit menemukan teka teki suara itu. Ia merasa tidak pernah mendengarkan suara itu. Rasa penasarannya semakin menjadi. Ia mencari-mencari lagi lubang di pagar ruamah itu. Akhirnya ia menemukannya juga.  Setelah berusaha setengah mati menemukan “bentuk” dalam kegelapan ruang tanpa cahaya lampu itu. Dilihatlah satu sosok yang terlihat sangat gemuk. Ia berpikir menantunya tidak segemuk itu. Ia memperhatikan lagi sosok itu lebih seksama. Ia bergerak perlahan ke atas  dan ke bawah. Dan setiap gerakan ke bawah suara tadi terdengar lebih jelas. Ternyata itu bukan hanya tubuh menantunya tapi juga ada tubuh lain yang menindih tubuh menantunya.

Dan ia mulai ingat kapan dan dimana ia pernah mendengar suara itu. Dia pernah mendengar suara itu di kamarnya sendiri. Dan suara itu sering keluar dari mulutnya sendiri pada saat awal perkawinannya dulu.

Suara itu bukan suara biasa. Tapi suara lenguhan menantunya yang sedang orgasme dengan selingkuhannya.

 

 

 

Ketapang, 10 Mei 2013 | 02:12

2 komentar:

  1. Lumayan pusing bacax...Soalx panjang bangtett

    BalasHapus
  2. Lumayan pusing bacax,ceritax panjangg..............Tp OKlah

    BalasHapus