BADMINTON DINI HARI


"Minum  ne di..!" tawaran dari Paman Sukri dan Aprian yang sedang duduk minum es di warung bapuk Miskah setelah capek main bad minton.
"Oy makasih, silaq..jawabku" sekenanya.
"Siapa yang masih main disana?", tanyaku
"Banyak", jawab paman Sukri sekenanya  juga
'Coba nonton kesana ah", jawabku sambil berlalu.
Aku langsung melintasi lapangan bad minton yg sangat sederhana dan jauh dari stardard lapangan badminton semestinya, mulai dari ukurannya yang terlalu kecil utuk ukuran lapangan badminton, tidal di-land dengan semen melaikan hanya memanfaatkan halaman depan tuaq Awi yang kalau musim kemarau seperti itu akan berdebu dan memungkinkan batu-batu kecil bersembunyi di bawah pasir dan siap menusuk telapak kaki-kaki telanjang yang main disana serta tali rafia yang dijadikan sebagai garispun siap menyandungkan kaki kami kalau kami terlalu bersemangat menyelamantkan shutlechock dan kurang hati-hati.
Disinilah anak-anak Ketapang sering menghabiskan waktu untuk sekedar mengeluarkan kringat, sekedar mengisi kekosongan waktu yang terlalu banyak atau sekedar untuk mencari senang sehingga tidak  heran kita sering melihat permainan super amatir yang seringkali sangat lucu dan saangat menghibur penonton yang tentu bukan dengan bagusnya smash dari pemain atau netting yang memukau. Walau bagaimanapun disinilah tempat kami memperoleh kesenangan.

“Melet deq maen Adi” tegur tuaq Awi yang melihatku duduk menonton mereka sambil memegang raket Hambali yang diletakkan di terasnya.
“Kan saweq toneq” dengan maksud memberikan giliran pada teman-teman lain yang biasanya lama ngantri.
“Sang dek saq mele ampok”
“Aok uli”
Hanan yang duduk beristirahat sambil menjadi juri menegurku “Main dit kah..!”
“Adekko jauq raket laguq ni”
“Raket tia adu” kata Tuaq Awi.

‘Jam pira ni ah” tanya Hanan
“Adeko  toang, adekko jauq HP” jawabku karena ku memang hanya mengandalakan Handphone untuk melihat waktu.

“Main ni’’ kata Puspa sambil menyodorkan Raket kepadaku setelah dia keluar dari lapangan.
Hanan langsung turun main berpasangan  dengan tuaq Awi menggantikan Puspa untuk menghadap pasangan Aswadi dan Nasrun.
Tak lama kemudian tuaq Awi keluar dan menyuruhku masuk menggangtikannya, aku langsung masuk dengan raket Aprian yang dititipkan Puspa ke aku tadi.
Setelah bebrpa menit pemanasan kami mulai main,
Set pertama akau dan Hanan kalah,  set kedua kami coba mengimbangi tapi akhirnya kalah juga karena ku terlu banyak “merusak point”.
Main kedua di set pertama kami kalah lagi, set kedua kami lebih bersemangat dan  beberapa  kali menyakinkan diri akan memenangakan set ini untuk sedikit mengimbamgi pasangan lawan, kami cukup mengimbangi bahkan mampu mengejar ketertinggalan kemudian memimpin namun dikejar lagi dan akhirnya kami kalah lagi,
Permaianan ketiga kami semakin baik mengimbangi, kejar-kejaran angka cukup ketat, smash-smash telak Hanan cukup sering menciptakan angka, akupun mendukung angka melalui service tipuan, pengembalian tipuan dan tipuan. Aswadi mulai mengeluh dengan  serangan-serangan tipuan yang kulakukan. Namun mereka tetap saja bisa mengejar ketertiggalan dan akhirnya angka berbeda semakin tipis, semakin tipis dan semakin tipis  sehingga mereka mampu mengimbangi bahkan mengejar dan kamipun kalah lagi.
“Pindah tempat” intruksi tuaq Awi dari luar.
“Pokoknya kalau sampai pagi kalian bisa menang, di pagi itu baru berhenti” lanjut tuaq Awi  bermaksud menyemangati namun secara tidak sadar justru sebaliknya yang kami rasakan, semakin merasa kurang percaaya diri, memang kebanyakan dari kita sering kali kurang pandai memilih kata untuk memotivasi, lebih sering memilih kalimat yang motivasi yang justru berakibat negatif dari pada memilih kalimat yang benar-benar memotivasi, walaupun sebenarnya kita memang tulus ingin memotivasi namun pengetahuan psikologi kita memang sangat kurang sehingga sering salah kaprah dalam memotivasi.
Coba seandanya tuaq Awi tidak berkata “Pokoknya kalau sampai pagi kalian bisa menang, di pagi itu baru berhenti” tapi berkata “Permaianan kalian semakin bagus, di set ini kalian pasti menang” tentu maksudnya memotivasi akan bisa terwujud sebagaimamna maksud tulusnya memotivasi tersebut.
Tapi aku rasa itu sesuatau yang sangat wajar untuk kami yang hidup di dusun yang rata-rata pendidikanya hanya Sekolah Dasar, bahkan orang tua kami sebagian besar tidak pernah besekolah sama sekali.
Jangankan orang-orang seprti kami, Dosenku saja yang nota bene adalah seorang Dokter termuda di NTB yang pastinya sudah melahap sekian ratus buku masih saja memberikan motivasi dengan cara yang salah. Ini bukan pembelaan terhadap masyarakat dusunku lo tapi kenyataannya memang seprti itu.
Service set pertama dipertandingan ke empat sudah dimulai, Smash-smash sadis Aswadi mulai menciptakan angka, satu, dua, tiga, empat, dan semakin menjauh dari angka yang aku dan Hanan peroleh.
“Ha.. Ha..ha.. kalah telak masih sempat bergaya, ngambul Hanan ni” kataku melihat Hanan yang terlihat pasrah dengan sok bergaya menjaga smash-an Aswadi.
“Point,Last One-lima”  kata Nasrun.
“Last one nan, tahan nan” kataku menyemangati Hanan sambil pikiranku terbayang pada peristiwa menakjubkan pada tahun 1972, saat Rudy Hartono sang juara delapan kali All England(suatu prestasi  yang sampai saat ini belum tertandingi oleh pemain bulutangkis manapun) yaitu ketika Rudy Hartono sudah ketinggalan 1 lawan 14, satu angka lagi sang lawan Svend Pri akan juara namun Rudy berhasil mengejar dan memenangkan pertandingan.
Bayangan tinggal bayangan, kami tetap kalah bahkan pada set kedua sekalipun. Hanan sebenarnya pemain yang cukup bagus di dusunku namun karena berpasangan denganku yang hanya baru main dua kali saja makanya  permaianannya juga jadi tidak maksimal.
Di dalam pertandingan apapun kualitas permainan lawan dan rekan sangat mempengaruhi kualitas pemain lainnya.
Kami sudah kehabisan tenaga dan memutuskan untuk berhenti bermain apalagi setelah Nasrun melihat Jam di HP ternyata tinggal beberapa menit lagi akan jam 2 dini hari.
“Ta dodoq bapuq Miskah teh” kata Nasrun
“Adeqko jauq kepeng ni” diam sejenak sambil melangkah meninggalkan lapangan.
“Aok teh ta ngotang” kataku me-tipe- X pernyataanku sebelumnya.

Tak sampai tiga menit kami sudah tiba di tempat tujuan, ternyata bapuq Miskah sudah tutup.
“Dodoq e ka” ajak si Smash sadis.
“Aok engka” Hanan mengamini.
“Engka bae” kataku agak ragu, sambil berdiskusi dengan pikiranku sendiri “Ini kan sudah sangat malam, hampir pukuk 2 dini hari, pasti sangat menggangu”
“Bapuq Kah”
“Bapuq Kah”
“Bapuq Kah”
Suara yang keluar dari mulut si smash sadis yang kehausan.
“Bapuq Kah” kataku sambil mengetok pintu depan warung  yang terbuat dari seng.
“Bapuq Kah (teng,deng, deng) o Bapuq Kah” kataku lagi sampai tiga kali.
“Yeh maq nutup e” kata Nasrun yang datang menyusul karena tadi Dia menaruh raket dulu di rumahnya
“Aok” responku singkat.
“Sang na ita beli mie araq sekeq, kami beli mie telu ning baq bangon e soh”, usul Nasrun.
“Mudi langan ta endodoq teh” sergap si smash sadis
“Aok teh” kataku menyetujui masih sedikit ragu dan berdiskusi kembali dengan toleransiku.
Aku bercermin pada diriku yang sangat jengkel kalau ada yang mengganggu tidurku, saking kesalnya aku sering kali berpura-pura tidak dengar dan tidak sadar sama sekali kalaupun ada yang sudah berpuluh-puluh kali memanggil namaku saat aku tidur walaupun sebenarnya aku mendengar panggilan tersebut.
Lagiankan malam ini aku tidak terlalu lapar,kalaupun aku lapar kan aku bisa makan di rumah, ibuku kan sudah biasa bangun membukakan pintu walaupun dini hari karena kebiasaanku pulang malam sejak aku sering siaran malam dan malam ini adikku yang sulung, Ibna sedang sakit jadi pasti tidak terlalu menggangukakalau aku bangunkan, so kenapa harus menggangu tidur bapuq Miskah?
Tapi toleransiku kepada bapuq Miskah terusik oleh toleransiku terhadap Hanan yang kelihatan lapar dan si smash sadis yang kelihatan sangat kehausan.
Dulu kan bapuq Miiskah sering bangun malam buat melayani pelanggan dini harinya, keraguanku membangunkan bapuq Miskah semakin pudar saatku mengingat kata-kata dari orang yang aku lupa pernah mengatakan” Pedagang itu harus bersedia bangun kapanpun untuk melayani pembelinya walaupun pembeli hanya belanja beberapa rupiah saja”

“Bapuq Kah” kata si smash sadis sambil mengetok pintu belakang yang terbuat dari kayu hampir lima kali tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan.
“Gantian..!” kata si smash sadis kepadaku.
“Bapuq Kah” kataku kurang lebih lima kali.
Kemudian ada sedikit suara kehidupan yang kurang jelas karena mugkin sang empunya suara belum benar-benar sadar dari tidurnya dan yang aku mengerti setelah meresapi suara itu sang empunya suara sangat malas bahkan kesal karena dibangunkan.
“Apa ning sita?” suara itu masih dengan kesan kejengkelannya.
Aku menoleh ke arah si smash sadis yang menunggu di berugak milik bapuq Muh-ku yang letaknya persisi di sebelah timur Warung yang kami ganggu.
Kemudian aku arahkan pandangan ke Hanan, dia tidak terlihat ternyata dia bersembunyi di bawah pondasi Ahlus Subandi yang belum dilanjutkan lagi pembangunannya. Dia bersembunyi karena merasa bersalah sama seperti yang ku rasakan dengan si smash sadis namun sepertinya rasa bersalahnya lebih besar dari pada kami sehingga dia memilih untuk bersembunyi.
“Yaq kami beli mie empat” kataku agak ragu sambil menge-check keberadaan Nasrun namun ternyata dia pulang duluan tanpa sepengetahuanku.
“o telu” kataku mengoreksi.
“Mie apa ?” masih dengan suara malasnya
“Mie sedap Ijo” jawab Hanan segera
Dengan seetengah sadar Bapuq Kah mncoba mencari apa yang kami pesan.
Aku berbisik ke si smash sadis “Aku merasa bersalah ditambah lagi kita Cuma ngutang”
“Minta maaf dong..” saran si smash sadis bijak.
“Kamu deh yang minta maaf”
“Maaf banget bapuq Kah, sekali ni doang kami menggangu”.


+Ricko Rullyarto





0 komentar: