METAMORFOSIS

SATU

ENAM tahun umurnya saat itu, terlahir di sebuah dusun yang sebagian besar penduduknya berpendidikan rendah bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Hari-hari ia lalui dalam keluarga  yang hidupnya sangat sederhana, mungkin kata sederhana itu cukup bermartabat untuk tidak menyebutkan kemiskinan secara gamblang.
Diusia sebelia itu, tentu ia sama seperti anak-anak seumurannya. Mengisi seluruh detik waktunya hanya dengan bermain, bermain dan bermain. Pulang ketika ia lapar dan saat ia ingin tidur. Tak ada TV yang bisa membuatnya betah di rumah, tak ada hiburan sama sekali, bahkan udara rumah itu terlalu pengap sehingga ia sangat tak betah di rumah. Rumah mungil dengan dinding bedekitu hanya terdiri atas dua ruangan, satu ruang tidur dan ruangan yang lain adalah ruang tamu. Tak ada kamar mandi, tak ada dapur. Semua aktivitas yang berhubungan dengan air dilakukan di sungai atau di telabah. Mulai dari mandi, cuci pakaian, cuci piring, buang kotoran dan cuci beras semuanya berlangsung di sungai.  Sedangkan kegiatan memasak berlangsung di halaman rumah, alat-alat yang digunakan sangat sederhana, berit atau kayu, panci dan tungku. Untuk urusan tungku: mereka yang lumayan beruang menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat yang bisa diperoleh dari pedangang keliling, sementara yang lain biasa membuat tunggu dengan menyusun dan mengatur batu bata sedemikian rupa atau hanya dengan memanfatkan batu-batu yang diangkat dari sungai. Bagi warga dusun, itu bukanlah kebiasaan yang aneh dan menjijikan tapi itu adalah kebiasaan yang wajar.
Rumah tanpa loteng itu dihuni empat kepala, sepasang suami istri, satu bayi perempuan berusia dua tahun dan bocah lelaki itu. Walaupun miskin, keluarga itu tidak terlalu meratapi nasip. Kondisi rumah dirasa sudah lumayan baik, apalagi jika dibandingkan dengan beberapa tahun silam: ketika suami istri itu memutuskan membina keluarga diusia yang sangat belia, mereka tinggal di rumah yang lebih pantas disebut gubuk reot, bedek-nya bolong dimana-mana, atapnya bocor dan gubuk itu tanpa pintu. Pintu hanya ditutupi kain rombeng.
Nostalgia pahit masa lalu itulah yang membuat keluarga itu tetap bisa bersyukur. Seiring berjalannya waktu, kondisi terus berubah. Tidak hanya berubah ke arah yang lebih baik tapi juga berubah menjadi semakin kompleks. Kalau dulu sepasang suami-istri hanya hidup berdua, kini mereka hidup berempat. Kebutuhan hidup pun meningkat. Sang suami tidak hanya harus menanggung kebutuhan primer istri tapi juga harus menangggung semua kebutuhan anak-anak, kebutuhan pakain anak-anak, mainan anak-anak dan yang paling sering menjadi masalah adalah uang jajan anak-anak.
Menjelang siang, anak laki-laki itu bermain seperti biasa, seorang temannya sedang makan kerupuk kemudian ia meminta pada temannya, permintaan pertama itu dipenuhi oleh temannya begitu juga permintaan ke dua namun tidak untuk permintaan ke tiga. Ia pulang berlari menuju rumah, melewati rumah bapuq Jum belok ke selatan dan membus jalanan, kemudian belok kanan dan menuruni jalan yang menurun. Sampai akhirnya sampai lah ia di teratakyang tepat berada di bawah rumahnya. Ia menajaki teratak itu dan sekarang ia tepat berada di depan pintu rumahnya. Ibunya sedang berbicara dengan tetangga di sudut utara rumah.
“Ibu minta uang, aku mau beli kerupuk”
“Uang-uang terus..!”
Ia tertunduk tanpa bicara, ia tak berani menatap ibunya.
“Tadi udah, sekarang minta lagi. Kamu kira dapet uang itu mudah. Kerja sana biar kamu tau susahnya dapet uang!”
Bocah itu malu pada ibunya. Ia berlari menjauh, ia melintasi lagi rumah bapuq Jumnamun kali ini dari arah yang berbeda. Jalur gang itu tembus lagi ke posisi tempat ia bermain dengan temannya tadi namun ia tidak berhenti disitu, lagi pula temannya sudah tidak disana lagi. Ia belok ke arah utara, ia melintasi gang sempit. Gang sempit itu terasa semakin sempit karena tumpukan ijuk dan dedandapara pemilik rumah, dua benda itu adalah bahan baku pembuatan kerajinan sapu ijuk. Membuat sapu ijuk merupakan salah satu mata pencarian utama masyrakat dusun itu selain menjadi buruh pemecah batu dan bertani. sepertinya bocah itu menuju ke arah rumah neneknya yang terletak tujuh ratus meter dari rumahnya.Di  setiap langkah kakinya berlari, kata-kata ibunya tadi selalu terngiang:
“...Kerja sana biar kamu tau susahnya dapet uang!”
“...Kerja sana biar kamu tau susahnya dapet uang!”
“...Kerja sana biar kamu tau susahnya dapet uang!”

Muka bocah itu merah padam, gigi atas dan gigi bawah bergesek, suara nafasnya lebih keras dari pada biasanya. Setelah beberapa ratus meter berlari, ia istirahat di belakang salah satu rumah warga. Rumah itu tidak jauh berbeda dengan rumahnya bahkan lebih meperihatinkan. Kalau rumahnya sudah beratap genteng, rumah warga itu masih beratap ilalang. Kalau lantai rumahnya sudah memakai semen, rumah itu masih berlantai tanah liat.
“Besok aku harus kerja”, ia membisikkan tekad pada dirinya sendiri sambil mengepal tangan kanannya. Ia melanjutkan perjalanannaya menuju rumah nenek tapi kali ini tidak lagi berlari. Ia hanya berjalan dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang pada pekerjaan yang mungkin bisa dia kerjakan.
“Pokonya aku harus kerja!
Aku harus kerja!
Aku harus kerja!
Tapi apa yang bisa dikerjakan oleh anak sekecil aku ini?”
Ia sampai di ujung gang dan bertemu dengan jalan utama dusun itu. Tepat di pertemuan gang dan jalan utama itu ada Mushala. Di undak-undakMushala itu ia duduk sendiri memaku dagu mencari jawaban atas pertanyaan yang bergelayut di otaknya.
Gerombolan siswa berbaju pramuka datang dari arah utara. Eh ternyata tidak hanya mengenakan baju pramuka tapi ada juga beberapa yang mengenakan baju putih dengan bawahan coklat atau sebaliknya mengenakan baju pramuka namun mengenakan celana merah bahkan ada yang mengenakan baju putih dan celana merah hari itu. Mereka sebagian besar tak beralas kaki sama sekali, ada yang mengalungkan sepatunya, ada yang hanya memakai sendal jepit. Sangat jauh dari kesan rapi dan disiplin. Sangat berbanding terbalik dengan gaya berpakaian siswa yang semestinya. Tapi mau bagaimana lagi, semua itu terjadi karena kondisi ekonomi.
“Abis makan kita pergi nanding batu yok”
Kuping bocah yang termangu di undak-undak Mushala menangkap suara itu, kemudian ia menoleh ke arah  sumber suara, ternyata suara itu berasal dari salah satu mulut anak kelas satu SD yang bergerombol tadi. Ia tertarik pada obrolan dua anak itu lebih lanjut. Ia memfokuskan telinganya pada obrolan anak-anak itu:
Nanding dimana?”
“Di bapuq Mahiyam”
“Boleh, nanti cari aku ke rumah ya”
“Ok”
Pertanyaan yang memenuhi kepalanya terjawab sudah setelah mendapat informasi tanpa sengaja dari obrolan anak-anak tadi. Bocah itu  mengangguk-angguk-kan kepalanya dan menggigit pelan bibir bawahnya kemudian mengangkat telunjuk setara dengan bahu dan berkata, “Ya besok aku nanding”.
            Ia meninggalkan bekas pantatnya di Mushala itu dengan sedikit melompat dari undak-undak ke jalan dan berjalan ke arah utara, ke arah rumah neneknya sambil sesekali mengangguk dan tersenyum.
****
Besok paginya, ia sudah standby di sungai kekuasaan bapuq Mahiyam. Sungai saat itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Kalau hari-hari biasa, jam delapan pagi seperti itu yang ada di sungai hanya ibu-ibu yang sedang mencuci piring dan pakaian sambil membicarakan kejelekan tetangganya, buruh-buruh yang sedang mengumpulkan dan memecah batu dengan hamer,tapi sungai pagi ini juga dipenuhi oleh anak-anak SD yang mengisi hari minggu mereka dengan berenang seharian. Ada juga diantara anak-anak itu yang mengisi liburan mereka dengan ikut menjelma sebagai buruh layaknya orang dewasa dengan mengumpulkan batu. Aktivitas mengumpulkan batu dan menjualnya pada “si empunya sungai” itu lazim mereka sebut dengan kata “Nanding”.
Salah satu diantara buruh-buruh cilik itu adalah si bocah kemarin, ia agak ragu dan malu-malu mulai mengumpulkan batu. Mungkin karena itu hari pertamanya nanding, ia curi pandang ke kiri dan kanan, curi pandang ke depan dan belakang. Memperhatikan bagaimana cara orang nanding, memperhatikan bagaiamana aturan mainannya, di wilayah mana saja ia boleh mengangkat batu, di  area mana saja tempat yang diperbolehkan untuk menaruh batu-batu yang akan di-tanding. Setelah memperhatikan semuanya dari  mereka yang lebih senior dalam perburuhan cilik itu, ia mulai mengumpulkan batu. Mula-mula ia mengangkat batu yang ukurnnya hanya dua genggam, kemudian mengangkat yang lebih besar. Batu-batu itu ia taruh di dekat batu milik teman sepermainannya, Hanan. Hanan lebih berpengalaman dalam hal ini. Ia bekerjasama dengan kakaknya yang bernama Zur. Lama kelamaan batu-batu yang bisa diambil di pinggir kali abis sehingga para buruh cilik itu harus menyelam ke sungai yang berarus untuk mengambil batu. Proses pengerjaan jadi bertambah, pertama mereka harus menyelam melawan arus untuk mendapatkan batu kemudian menaruhnya dipinggir sungai,baru kemudian mengangkutnya ke tempat penandingan. Bocah itu terlihat begitu bersemangat bekerja. Itu adalah kiprah perdananya di dunia kerja yang kelak akan menjadi pengalaman tak terlupakan dalam hidupnya, Hari itu menjadi sejarah yang terukir begitu rapi tidak hanya di otak tapi juga di hati.
Andri, teman sepermainannya yang lain juga terlihat di sungai itu, apa yang menyebabkan anak pedagang sukses itu mau berkerja juga di sungai itu. Entahlah tak ada yang tahu. Si bocah terlihat berkali-kali menyelam, menaruh batu di pingir sungai, mengangkutnya  ke tempat tanding, begitu terus berulang-ulang. Matanaya sudah terlihat merah karena terlalu lama menyelam. Ketika ia menaruh batu di tempat tandingannya untuk yang kesekian kali. Zur menegurnya dengan usulan:
“Kerjasama caranya sama Andri tu biar batu kalian jadi lebih banyak!”
Ia melongo ke arah wajah perempuan manis itu kemudian mengalihkan pandangan ke arah tumpukan batu Andri. Pandangannya mencari-cari si empunya batu tapi tak juga menemukan sosok itu.
“O ya ya, tapi...Andri mau enggak ya?”, responya terhadap usulan Zur.
“Andri kerja sama caranya sama ini biar kalian enggak terlalu capek”!, Kata Zur ke Andri yang baru bangkit dari penyelamannya mencari batu dan kini ia berada di belakang si bocah.
Andri menjatuhkan batu yang ada dipundaknya ke tumpukan batunya, nafasnya agak engos-engos-an. Ia menatap batu yang baru dijatuhkansambil menarik nafas kemudian mengarahkan tatapanya ke Zur. Tak ada suara, Zur memfokuskan pandangannya ke si bocah yang berdiri di depan tumpukan batunya, pandangannya seolah mengisyaratkan pada Andri untuk melihat ke wajah si bocah guna menindak lanjuti usulannya tadi. Andri menangkap sinyal isyarat yang diberikan Zur padanya. Ia menoleh sebentar ke wajah si bocah dan segera mengalihkan pandang ke wajah Zur. Zur menunjukkan tumpukan batu si bocah ke pada Andri, kali ini ia tidak hanya dengan insyarat padangan mata tapi lebih dari itu ia menunjukkannya dengan bahasa tubuh : dengan mengangkat alis dan acungan jari telunjuk. Andri mengikuti arah telunjuk itu kemudian mebandingakan tumpukan batu itu dengan tumpukan batunya.
“Mau?” Kata Andri menghentikan permainan isyarat itu.
“Ya”, Jawab si bocah singkat.
            Mereka menggabungkan dua tumpukan batu itu menjadi satu, satu persatu batu milik Andri dilempar ke tumpukan batu si bocah, Zur dan Hanan membantu mereka sehingga proses penggabungan itu selesai lebih cepat. Matahari sudah bergeser ke arah barat, sinarnya tidak lagi terlalu menyengat namun masih terasa hangat dikulit. Si bocah terlihat mengangkat batu yang sangat besar untuk ukuran bocah seusianya. Tenaganya tak mencukupi untuk mengangkat batu itu sampai ke pundaknya sehingga ia mengangkatnya hanya sampai perut. Ia menggendong batu itu seolah-olah menggendong bayi. Ia terseok-seok menahan beban, gendongannya itu beberapa kali dijatuhkan untuk kemudian diangkat lagi, begitu berulang-ulang hingga gendongannya itu sampai di tumpukan batu kerjasamanya dengan Andri.
“Taruh yang kecil-kecil di dalam kemudian yang besar-besar di luar”, saran Zur.
“Ya, benar”, Andri mengamini
“Ayok”, timpal si bocah.
            Waktu yang paling ditunggu tiba jua, bapuq Mahiyam terlihat melangkah turun ke sungai setelah dijemput dua orang buruh lainya. Inilah saatnya penentuan harga masing-masing tumpukan batu yang sudah dikumpulkan sejak tadi pagi sampai sore ini.Bapuq Mahiyam dengan santai memperhatikan tumpukan demi tumpukan batu itu sambil mengunyah pinang yang membuat ludahnya berwarna merah menyala. Dalam transaksi ini Hanan dan Zur didampingi ibunya.
“Berapa harga batu saya ini Puq?”,Kata seorang buruh membuka transaksi.
“Dua Ribu”, jawab bapuq Mahiyam tegas menentukan harga.
“Banyak ini Puk, batu pecahan lagi, empat ribu dah ya”, buruh itu  berusaha memaksimalkan harga.
“Tiga ribu dah,kalau kamu setuju saya bayar kalau tidak silahkan kamu bawa pulang”, tawaran mati bapuq Mahiyam.
“Baiklah kalau begitu Puq”
            Hampir semua tumpukan batu sudah ditetapkan harganya dan semua tumpukan tersebut digabungkan menjadi satu. Pemiliknya kini satu orang yaitu bapuq Mahiyam. Tinggal tumpukan batu kerjasama Zur dan Hanan serta tumpukan batu kerja sama Andri dan Si bocah yang belum ditentukan harganya. Besar tumpukan batu Zur dan adiknya memang cukup jelas berbeda dengan tumpukan batu Andri dan Si bocah. Kira-kira  tiga kali lebih banyak dari pada milik Andri dan si bocah.
“Saya bayar seribu ya”
“Mereka berdua itu Puq”, kata ibu Hanan dan Zur.
“Oh, seribu lima ratus ya”
“Saya berapa Puq”, Si bocah menawarkan.
Seratus rupiah ya, batumu sedikit”
“Dia berdua itu Puq”, Zur membela.
Kalau begitu dua ratus rupiah ya, nanti ambil uangnya ke atas”, sambil menunjuk rumahnya.

            Si bocah merasa sangat kecewa dengan harga itu, kalau dibandingkan dengan batu Hanan dan Zur memang dia kalah banyak tapi perbandingannya semestinya tidak sejauh itu. Kalau dibandingkan secara obyektif, perbandingannya tiga banding satu jadi kalau harga batu mereka seribu lima ratus rupiah seharusnya harga batu si bocah adalah lima ratus rupiah bukan dua ratus rupiah. Ia tak punya kekuatan menolak, mau cerewet mempertahankan harga, takutnya nanti malah tidak mau ditawar dan malah disuruh angkut batu itu pulang. Ada kebencian muncul di hati si bocah, anehnya dia tidak hanya benci pada si pembeli tapi juga pada teman-temannya yang bisa menjual batu mereka dengan harga yang lebih mahal termasuk pada Hanan. Dia seumuran dengan Hanan tapi Hanan bisa mendapatkan uang jauh lebih besar dari pada si bocah. Kecemburuan itu menyebarkan virus benci di hatinya. Padahal Hanan adalah adiknya Zur. Zur yang sebenarnya merupakan orang yang banyak membantunya. Dasar anak-anak:egois, menuntut orang obyektif tapi dia sendiri tidak sadar dia tidak bisa obyektif.
Pembagian uang itu dilakukan di dekat Mushala tempat ia mendapat ide untuk nanding kemarin. Karena memang di sebelah Mushala itu ada sebuah warung yang sering dijadikan tempat penukaran uang menjadi pecahan yang lebih kecil oleh para buruh setelah bertransaksi denagn pembeli.
Pembagian sudah selesai, masing-masing orang sudah menerima uang sesuai dengan harga penjualan batunya. Si bocah pun demikian namun ia masih menunggu Andri disana untuk menyerahkan uang jatahnya dari kerja sama penjualan batu itu. Sambil menunggu ia memakan kerupuk yang ia beli dari hasil jerih payah sejak pagi sampai sore itu.
Dapat uang berapa sayang”, ibu bertanya.
“Dia dapet dua ratus berdua dengan Andri”, Zur yang menjawab.
“Kalau Cuma segitu yang kamu dapet, tolong jangan kerja lagi biar besok ibu ngasih kami uang dua ratus tiap hari..Ayo kita pulang sayang!”
“Tapi..”
“Apa?”
“Uangnya Andri buk”
“Titip saja disana, nanti dia yang kasih Andri”
            Sambil menikmati kerupuk hasil keringatnyaSi bocah digandeng pulang oleh ibunya. Dalam perjalanan menuju rumah itu, ibu bercerita bahwa hari ini dia merasa kangen sama si bocah yang seharian tidak pernah pulang minta uang jajan. Dan  benar-benar sangat tidak menyangka ternyata si bocah akan menuruti perintahnya untuk bekerja kemarin siang itu, padahal itu hanya perintah asal-asalan yang hanya merupakan ekspresi emosi sesaat.

****






            “Kamu kerja dimana Tin?”
            “Di Rama Fitnes”
            “Berapa gajimu sebulan”
            “Tiga Ratus Ribu”
            “Saya juga pengen kerja Tin. Kalau ada info lowongan kabari ya”
            “Serius?”
            “Ya, kerjaan apa saja pokoknya kabari ya”
            “OK”
            Menjelang siang itu ia meninggalkan Kampus Putih yang sudah terlihat abu. Cat-nya kusam tak terawat. Tak ingin datang ke kota hanya membuang bensin karena sang dosen tak datang. Ia memutuskan ke Perpustakaan Kota. Kebiasaan itu sudah berlangsung sejak ia masih di Madrasah Aliyah. Setiap pintu gerbang Madrasah tertutup untuknya dan siswa lain yang terlambat. Ia selalu memilih untuk tidak langsung kembali ke rumah tapi memanfaatkan waktu untuk menambah ilmu di perpustakaan Propinsi maupun di perpustakaan Kota. Pada awalnya, ia mengikuti teman—temannya yang terkenal sebagai bandit Madrasah nongkrong di tempat tertentu sebagai pelarian karena tidak diijinkan belajar di kelas gara-gara terlambat.
            Ia tak mampu membohongi kata hatinya, itu bukan hal yang nyaman baginya. Mungkin karena ia selalu terbayang akan keringat yang mengucur dari seluruh badan ayah demi bisa membiayai pendidikannya. Ia ingin bisa melepaskan diri dari keterlambatan namun itu bukan usaha mudah bagi penderita penyakit terlambat akut seperti dia. Dalam kondisi buruk selalu ada pilihan yang lebih baik. Dia yakin akan hal itu. Memilih perpustakaan sebagai pelarian lah yang dianggap pilihan yang lebih baik baginya dalam keterlambatan akut yang diderita.
            Ia sedang membaca buku sexologi setelah sebelumnya membaca beberapa buku psikologi. Buku psikologi itu seakan meninabobokannya sehngga ia mengantuk jadi berpaling pada buku sexologi. Dan terbukti buku itu memang ampuh. Remaja awal seperti dia selalu melek dengan buku seperti itu tanpa ngantuk sedikit pun.
Handphone-nya berdering.
“Lagi dimana?”
“Di Puskot. Ada apa Tin?”
“Ada lowongan nih. Bisa segera kesini? Interview langsung dengan bosku”
“OK saya segera kesana”
            Tak menunda sedetikpun, ia langsung meletakkan buku yang sedang dibacanya ke tempat semula. Ia bergegas turun untuk keluar. Ia memacu motornya penuh harap. Hanya beberapa menit tiba lah ia di tempat yang dituju. Disana ia disambut Atin, teman kuliahnya. Ia sempat merapikan kerah dan lipatan tangan kemeja putih bergaris horizontal yang dikenakannya setelah selesai memarkir motornya di tempat yang dirasa tidak mengganggu pengunjung.
“Mana bosmu Tin?”
“Tu di dalam, tunggu bentar beliau masih ngobrol dengan tamu”
            Saat ia sedang menyembunyikan rasa canggung dengan ngajak Atin ngobrol, orang yang ditunggu menghampiri. Sepertinya bos itu orang yang fun dan berjiwa muda kalau dilihat dari fhasion style-nya. Ia mengenakan celana pendek abu berbahan katun sementara badan tambun dan buncitnya dibalut kemeja putih. Kemeja lembut itu tidak dikancing penuh sehingga tatto di dadanya menyeruak menampakkan diri. Lengan kemaja itu pun dilipat seperempat.
“Hallo. Ini temanmu yang kamu maksud tadi itu, Tin?”,
“Ya Pak”
“Selamat siang Pak, saya Adi”
“Kita ngobrol di atas aja yok!”
            Adi mengikuti bos itu menaiki anak tangga menuju lantai dua. Disana lah interview pertamanya di dunia kerja. Ia menerapkan semua teori interview kerja yang pernah ia baca. Bos itu menjelaskan posisi pekerjaan apa yang bisa ia lamar dan menjelaskan apa saja tugasnya, jam kerjanya seperti apa dan lain-lain. Ia menyanggupi semua persyaratan yang diajukan perusahaan itu. Bos itu mengusulkan segera memasukkan lamaran. Ia menunjukkan keantusiasan dan kesungguhhannya sehingga walaupun besok pagi adalah hari minggu. Ia berjanji akan memasukkan lamaran besok pagi. Dia bersyukur sekali bisa menjalani proses interview dngan baik.
Ia turun tangga dan matanya mencoba mencari-cari sosok Atin namun ia tidak menemukannnya. Ia ingin segera mengucapkan terimakasih banyak atas info yang diberikan temannya itu.
“Kalau parkir di tempat yang tidak mengganggu pengunjung dong!” bentak tukang parkir.
“Maaf mas”, ia merasa tukang parkir itu sengaja menyalahkannya padahal ia sudah memarkir motornya di tempat yang sama sekali tidak menggangu pengunjung. Ia jengkel di salahkan. Jiwa pemeberontaknya teransang namun ia menyadari posisinya sebagai calon orang baru di tempat itu. Ia mengontrol diri dengan baik dengan tetap meminta maaf meskipun ia merasa tidak salah sama sekali. Bahkan ia berulang kali mengucapakan kata maaf itu sebelum meninggalkan parkiran.
“Lain kali parkir di tempat yang lain”, sok berkuasa.
“Ya mas, maaf ya”


0 komentar: