BAYI MADU



BAYI MADU
(Adi Dev Onk)
BERTETANGGA DEKAT menyebabkan mereka itens berintraksi. Perlahan namun pasti cinta mulai tumbuh diantara mereka. Kisah cinta itu menjadi rumit karena keadaan dan waktu yang tak tepat. Si perempuan adalah seorang janda muda yang baru saja bercerai dengan suaminya, Nanang. Mereka masih masa Idah. Mantan suaminya masih tetangga dekat juga dengannya, sama halnya dengan Si lelaki.
Si lelaki merupakan seorang pria yang tampan, tinggi, berkulit putih dan berhidung mancung.  Namun ia sudah beristri dan memiliki seorang putri dan seorang putra. Tentu saja keadaan ini membuat perasaan yang perlahan tumbuh diantara mereka menjadi tabu. 
Cinta memang melemahkan logika, baik Si lelaki maupun janda muda menampikkan semua yang menentang perasaan halus yang tumbuh diantara mereka. Perlahan-lahan dalam kerahasian perasaan itu semakin subur, semakin merekah bak bunga di musim semi.
Rindupun bertalu meminta bertemu. Pertemuan-pertemuan penawar rindu terwujud dalam kerahasiaan tabu. Semua momen yang memungkinkan untuk bertemu dimanfaatkan semaksimal mungkin.
“Sy kgn bgt, sy pngen bgt ktemu”
“Q jg kgn  bgt tp tkut ktaun ma istri Kk”
“ Y jgn pe ktauan sih Dek”
“Hbungan kta dah gk aman lg Kak, stelah dlabrak  kmren..q tkut ktmu lg ma Kk”
“Gini ja, bsok sore kan da pengajian lg di kampung sebelah, kmu pura2 ksna ja. Nanti q tunggu di tempat biasa,trus kt prgi JJ”
Pengajian yang digelar dua kali sebulan itu baru akan dimulai jam setengah tiga, namun  hari Jumat itu, jam satu siang janda muda sudah sangat bersih, sudah berdandan cantik, sudah sangat wangi. Wewangian yang digunakan bukan wewangian yang biasa dipakai untuk keperluan pengajian tapi ia menggunakan parfum yang biasa dipakai oleh remaja perempuan desa untuk pergi bersantai ke pantai.
Tas mukenah yang tentengnya terlihat penuh sesak, seperti ingin memuntahkan isinya karena tak kuat menampung benda yang berjejal di dalamnya. Janda muda seolah-olah sudah sangat siap mendengarkan ceramah dari sang Tuan Guru. Namun walaupun strateginya sudah cukup matang, Ia tetap merasa deg-deg-an. Kali ini bukan hanya deg-deg-an karena akan bertemu  dengan Sang arjuna tapi deg-deg-an kali ini benar-benar berbeda.
Ia perlahan melangkah meninggalkan rumah setelah pamitan pada ibunya. Ada perasaan bangga sang ibu melihat anak janda mudanya yang beberapa bulan ini rajin mengikuti pengajian di Dusun tetangga.
Janda muda tidak melalui jalan desa seperti yang banyak dilakukan jamaah lain. Ia lebih memilih melalui persawahan yang memang merupakan jalan pintas menuju masjid tempat pengajian itu. Namun ia tidak berjalan beriringan dengan jamaah lain yang juga memilih melalui pematang sawah itu. Ia terlihat menjaga jarak dengan jamaah lain, Ia lebih memilih berada di belakang jamaah lain dan sesekali menoleh ke belakang seakan-akan sedang menanti seorang teman.
Ditengah perjalanan, setelah beberapa kali menoleh ke belakang. Dia memilih belok kanan, bukan belok kiri ke arah masjid itu. Kali ini  posisinya tepat dibawah rumpun bambu, setelah berkali-kali menoleh ke  kiri dan  menoleh ke kanan untuk memastikan tak ada mata yang melihatnya. Dibawah rumpun bambu itu ia membuka busana muslim yang dikenakannya. Dia buru-buru membuka restleting tas mukenah yang ditentengnya, ternyata bukan hanya mukenah yang ada di dalamya tetapi juga selembar jaket tipis berwarna pink. Ia mengenakan jaket itu dengan sangat buru-buru sehingga agak susah masuk dengan tepat menutupi tubuhnya yang hanya menggunakan singlet.
Sementara itu, Si lelaki sudah standby menunggu di tempat yang dia janjikan. Dia duduk diatas motor matic-nya sambil sesekali menoleh ke arah jam tangannya.
Setelah sekian lama menunggu di bawah pohon Ketapang yang menjadi pelindungnya dari terik matahari, sosok Si perempuan rahasia muncul dari arah barat. Si lelaki menghembuskan nafas dari hasil tarikan nafas yang cukup dalam, itu pertanda kelegaan dari proses menunggu dalam kekhawatiran. Kekhawatiran akan terbongkarnya pertemuan rahasia itu karena dilihat oleh orang-orang yang kebetulan mengenal mereka dan  mengetahui status mereka, yang satu pria dengan status suami orang  dan satu lagi perempuan muda yang berstatus janda.
Si Lelaki bersiap men-starter motornya walaupun janda muda masih berada di jarak yang cukup jauh. Langkah perempuan itu dirasa sangat lamban oleh lelaki itu walaupun sebenarnya janda muda sudah mempercepat langkah kakinya yang jenjang. Sepertinya rasa buru-buru yang tercipta oleh kekhawatiran membuat momen itu lakasana slow motion bagi si lelaki.Helm pinjaman berkaca hitam gelap sudah terpasang di kepala lelaki itu sementara janda muda merapatkan tutup kepala memanfaatkan kupluk jaket pink-nya untuk menyamarkan mukanya kalau  kebetulan ada yang melihat pertemuan rahasia mereka.
“Kita mau kemana Kak”
“Naik aja dulu, cepetan”
Tiba-tiba tangan yang gemetar karena murka menarik kupluk janda muda itu. Spontan dia menjerit dan begitu cepat terjungkal ke tanah. Belum sempat ia melihat muka si empunya tangan, jambakan yang sangat keras menyapa rambutnya yang wangi, suara geram perempuan itu laksana suara harimau kemudian ia merasakan cengkeraman cakar di seluruh muka bagian kanannya.Melihat adegan itu, Si Lelaki bingung harus berbuat apa, ia bengong di atas motornya. Kedua tangan perempuan itu mencekik leher janda muda, kaki janda muda menggelinjang dan tangannya memegang tangan perempuan itu berusaha melepaskan cekikan. Ia tak bisa bernafas, lidahnya menjulur menahan rasa sakit. Samar-samar ia melihat wajah perempuan itu.
“Stop..!”
Lelaki itu menyandarkan motor dan turun dari motornya. Tangannya spontan menyingkirkan perempuan itu, perempuan itu terjungkal. Dengan nafas yang tersisa janda muda memanfaatkan kesempatan itu untuk bangun, namun ia tak menyerang balik perempuan itu. Ia malah lari tunggang langgang meninggalkan lokasi kejadian.
Perempuan itu bangkit dari badan jalan tempatnya terjungkal. Badannya penuh debu. Ia hendak mengejar janda muda namun tangan lelaki itu menarik lengan kirinya. Nafasnya engos-engos-an bukan karena terlalu banyak mengahabiskan tenaga menghajar janda muda tapi lebih karena ia tak kuasa menahan amarah. Kata-kata makian berhambur dari mulutnya.
“Janda sundal!”
“Perebut suami orang!”
“Jangan lari kamu!”
“Bajingaaaan!”
“Sundaaaal!”
“Kamu mau lari kemana?!”
 “Pelacur!”
“Kesini kamu..biar ku bunuh!”
“Akan kutusuk-tusuk kemaluan pakai linggis!”
“Pelacur!”
“Sundaaaaaal!”
Sambil tetap memegang tangan istrinya, lelaki itu menoleh ke kiri dan kanan. Tatapan mata orang-orang yang lewat di jalan itu sungguh membuatnya malu enggak ketulungan. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menghentikan teriakan istrinya. Teriakan itu kini dibarengi dengan tetes air mata murka.
“Lepaskan aku lelaki sundal!”
“Lepas!”
“Gigolo!”
“Bajingaaaaaaan!”
“Sundaaaaaaal!”
“Lepaaas!”
“Aww!”, teriak spontan lelaki itu.
Rupanya perempuan itu menggigit tangan suaminya. Ia melangkah pulang dengan isak tangis. Kata-kata kotor ekspresi kemurkaan masih terus terlontar dari bibirnya. Lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa melihat air mata itu. Ia  tensentuh, terenyuh. Ada penyesalan yang dalam yang berkelabat di benaknya. Di pinggir jalan berdebu itu, ia berdiri mematung menatap istrinya yang semakin menjauh. Sesekali ia menunduk menatap rerumputan kering  yang ia injak di pinggir jalan desa itu. Ia seolah mau mengadukan penyesalannya pada rerumputan. Kemudian menatap lagi sosok perempuan yang telah ia hancurkan hatinya karena penghianatan. Perempuan itu yang bersusah payah merawat anak-anaknya dalam keterbatasan keuangan. Lelaki itu tersadar dari lamunan dan segera memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Mata orang-orang itu masih mengamati sampai sosok lelaki itu hilang di tikungan.

****
Anak itu sedang  menonton acara TV yang tidak terlalu ia sukai. Itu adalah chanel TV kesekian yang ia pelototi sambil tidur bermalasan di ruang tamu setelah menggantinya berkali-kali dari chanel yang satu ke chanel yang lain. Dari sekian banyak chanel yang tersedia tak satu pun mampu menyajikan acara yang menarik hatinya. Namun ia tak punya pilihan lain untuk mengisi waktunya. Karena teman sepermainannya,Linda sedang tidak ada di rumah. Linda sedang berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana beberapa malam. Untuk menghibur dirinya, anak itu hanya menonton TV. Siang yang  sepi dan gerah membuatnya kalut. Adiknya bermain layang-layang di sawah.  Sementara ibunya entah kemana. Tumben siang itu ibunya tidak berada di rumah. Biasanya jam segitu ibunya sedang duduk melamun, gelisah atau marah-marah jika ada diantara mereka ada yang melakukan kesalahan. Bahkan kesalahan yang sangat sepele sekalipun. Belakangan ini ibu memang sangat sensitif dan gampang marah. Selain itu ia juga beberapa kali melihat ibunya adu mulut dengan ayah. Dan tak jarang ayah mengunci pintu rumah kemudian memukul ibu sampai lebam. Ibunya hanya bisa menahan tangis karena takut diketahui oleh kelurga dan tetangga suaminya kalau dia sedang menangis.
Tadi sehabis shalat Jumat ayahnya pamit ke ibu untuk keluar. Katanya sih mau mencari uang untuk mereka dengan memaklari penjualan motor second di kampung sebelah. Siang menjelang sore yang membosannkan bagi anak itu, Hanya sendiri di rumah tanpa kasih sayang orang tua, seenggaknya untuk saat itu.
“Sayang kita pergi ke rumah kakek yok”, ajak ibunya yang tiba-tiba muncul di pintu dengan menggandeng tangan adiknya.
“Ayo kak, cepetan ganti baju”, tambah adiknya.
“Ayo!”, jawabnya girang.
Ia segera menuju lemari mengambil baju ganti. Sambil mengganti baju ia bertanya.
“Tapi ayah mana?”
“Kita pergi tanpa ayah, nanti kita naik ojek”
“Kok gitu?”
“Udah ayo cepat ganti bajumu!”
Wanita  kurus itu mengusap rambut si bungsu. Ia mulai memasukkan pakainnya satu persatu ke tas yang cukup besar. Ia tak mampu lagi menahan air mata. Bulir-bulir air mata meleleh membasahi wajah tirusnya.
“Ayo sayang kita pamit dulu sama kakek”, suara itu pelan dan serak.
“Kok ibu nangis?” tanya si sulung.
“Ayo cepetan sayang”
Ia mencoba tak memperdulikan pertanyaan si sulung. Toh, ia juga takkan kuasa menjawabnya. Kalaupun ia jawab, si sulung terlalu belia untuk mengerti semuanya. Melihat ibunyan menagis, si sulung bingung dan ikut menangis.
Perempuan itu menyeka air mata yang membuat pipinya hangat. Ia menghela nafas dalam-dalam. Mencoba menyembunnyikan tangisnya. Berusaha tampil sebiasa mungkin. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ia keluar dari kamar menuju mertuanya yang sedang menyerut kayu.
“Ayah, saya sama anak-anak mau ke rumah kakek mereka”
“Ada perlu apa kesana, kok sore sekali?”
“E..e..nenek mereka sakit”
“Tapi kamu diantar sama suamimu kan?”
“E.. e.. enggak... anu..nanti saya naik ojek saja Yah”
“Emang suamimu kemana?”
“Dia..dia..e..pergi makelarin motor”
“Mau nginap ya?”
Mertua curiga dengan suara lirih menantu kesayangannya itu. Ia menyelidik ke wajah menantunya. Ia melihat mata menantunya merah. Dan mertua itu segera menebak menantunya baru selesai bertengkar dengan suaminya.
“Ya Yah”
“Lho kan besok pagi Shasa sekolah”
“Ya yah”
“Kamu dipukul lagi sama suamimu?”
“Ti..tidak Yah”
“Terus kenapa nangis?”
Pertanyaan itu membuat dada perempuan itu kembali sesak. Ia berusaha keras membuka mulut namun tak ada kata yang keluar. Hanya nafas tersenggal yang keluar. Dan air mata kembali mengucur deras disusul suara tangis yang tak tertahan lagi. Mendengar tangisan itu, Shasa melangkah mendekati pintu. Mematung menatap ibunya dari sana. Ada tangan kecil yang menyentuh tangannya. Ia menoleh ke tangan itu dan kemudian menatap wajah pemilik tangan itu. Mereka saling pandang. Dan bersamaan  kembali menatap sosok kurus yang memunggungi mereka.
Luluh lah hati mertua itu. Ia kasihan pada menantunya. Dan ia juga kesal pada suami perempuan yang ada di depannya itu, yang tak lain merupakan darah dagingnya sendiri. Walaupun pertanyaannya tak terjawab  dengan sepatah kata pun tapi ia mengerti. Tangisan itu telah memberitahunya bahwa putranya telah menyakiti menantu kesayangannya. Oleh karena itu, ia tak mau lagi bertanya. Ia sadar pertanyaan hanya akan menambah luka menantu teladannya.
“Jangan naik ojek. Lebih baik ayah yang akan mengantarmu.”
“Tapi...”
“Pokoknya nanti ayah yang mengantar kamu dan Didi, tapi tolong Shasa biarkan tetap disini biar sekolahnya tidak terganggu. Besok sepulang sekolah, ayah janji akan mengantar dia kesana menyusulmu”, memotong pembicaraan menantuunya.
Perempuan itu hanya mengangguk mengiyakan. Ia merasa mertuanya sangat baik padanya.Kontras ini menjadi pertanyaan besar dalam otak, mengapa suaminya tak bisa seperti mertuanya. Justru sebaliknya, berulang kali tak peduli padanya, berulang kali mengecewakannya, berulang kali menyakitinya, berulang kali menghianatinya.
Setelah rujuk dari perceraiannya yang pertama. Ia mengira suaminya bisa berubah menjadi sedikit lebih menghargainya tapi ternyata tidak ada perubahan sama sekali. Waktu suaminya meminta rujuk, ia melihat kesungguhan suaminya menyesal atas kesalahannya. Saat itu ada  secercah harapan mereka akan bisa memperbaiki hubungan mereka menjadi lebih baik. Hingga seminggu dari rujuknya ia memang merasa lebih dijaga perasaannya namun sampai disitu saja. Hari-hari selanjutnya, kembali terasa perasaan tak nyaman, curiga, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Hingga semua terjadi lagi. Kembali dikhianati, kembali perang mulut, kembali disakiti, kembali dipukuli.
Ia melamun. “Apakah sampai saat ini, suamiku hanya menyayangi anak-anaknya. Dan sampai saat ini belum bisa mencintai diriku?”

****

Bersambung...



                                      

0 komentar: