SI BOCAH TENGIK
(Adi Dev Onk)
Siang yang terik bulan Ramadhan,
sebagian besar warga kampung itu memilih menghabiskan waktu di tempat tidur
dari pada memanfaatkannya untuk melakukan aktivitas yang produktif. Alasan
klasiknya adalah tidur seorang muslim
yang berpuasa adalah ibadah. Mengapa kita tidak berpikir, kalau tidur saja
bernilai ibadah, berati melakukan aktivitas produktif akan sangat luar biasa
nilai ibadahnya.
Pahala, pahala, pahala dan surga,
surga, surga selalu menjadi alasan yang memaksa umat manusia untuk beribadah.
Lalu, kalau tidak ada imbalan pahala dan surga akankah kita masih mau beibadah?
Kita selalu mengharapkan imbalan dari-Nya. Kita belum pernah tulus bertaqwa
pada-Nya. Kita semua sama, takut pada neraka namun gemar melakukan dosa,
menginginkan surga tapi tidak pernah tulus bertaqwa. Iman dan taqwa kita
terpaksa, bertaqwa karena kita takut pada neraka dan menginginkan surga. Kita
sedikit flash back ke kisah ketulusan
iman dan taqwa nabi Muhammad SAW. Beliau ma’sum dosa, diharamkan masuk neraka
dan dipastikan masuk surga tapi beliau tetap beribadah dengan ikhlas pada-Nya.
Mungkin kalau kita yang dipastikan masuk surga, kita akan berbuat sesuka hati
kita di atas muka bumi ini tanapa memperdulikan apapun dan siapapun.
Hari ini sebenaranya aku sedang
enggakmood untuk menulis. Oleh karena
itu aku yakin, tulisan ini akan sangat berantakan, sebenarnya yang inginku
tulis ini adalah cerpen tapi mengingat mood
menulisku sedang buruk, ya sudah lah kita tulis saja apa yang bisa ditulis,
kamu mau menilainya sebagai cerpen boleh, sebagai opini boleh, sebagai catatan
harian biasa boleh, sebagai curhatan boleh, terserah kamu saja lah.
Selasa, 30 Juli 2013, sebenarnya aku
berniat ngampus untuk mengkonsultasikan
skripsi yang sedang ku garap, tapi karena ada refrensi yang kurang, aku belum
bisa menghadap lagi ke dosen pembimbing. Akhirnya aku memutuskan untuk menunda
konsultasi dan memilih tidak ke kampus. Seusai shalat subuh, aku nonton TV
sambil tiduran, eh malah ketiduran
dan baru bangun jam delapan pagi. Aku memaksa diri untuk bangun dan mencoba
melakukan sesuatu yang lebih bermakna dari pada sekedar tidur.
Hari ini berjalan tanpa kepastian
akan melakukakan apa hari ini, aku memilih ke rumah kakek, siapa tahu disana
ada yang bisa aku lakukan untuk membuat hari ini lebih bermakna. Ah sama saja, disana cuma duduk dan ngobrolenggak jelas dengan anggota
keluarga yang lain. Hal itu sudah terlalu sering kami lakukan sehingga menjadi
tidak bermakna. Kalau satu dua kali kami lakukan mungkin akan terasa sangat
bermakna.
Kakek dan nenek tiba-tiba terlihat
menuju ladang. Kata adik misanku mereka mau bersih-bersih disana. Akhirnya, ada
hal bermanfaat yang bisa aku lakukan.
Aku langsung menyusul mereka dan membantu mereka disana. Tidak banyak tenaga
yang kami keluarkan, pekerjaan diladang tuntas. Aku dan kakek lebih banyak ngobrol tentang tanah kosong milik ayah.
Aku dianjurkan untuk menanam rambutan disana dan kakek siap membantu. Aku
tinggal menyiapkan uang untuk pembelian bibit.
“Mungkin ayahmu tidak
berpikir kesana, karena kesibukkannya mencari nafkah untuk kalian. Yang penting
baginya, ada tanah yang akan kalian warisi”
Aku
cuma mengangguk untuk menujukkan bahwa aku mengerti.
“Kamu harus memanfatakan
tanah itu dengan menanam. Manfaatnya akan kamu rasakan bersama anak-anak dan
istrimu saat tua nanti!”
Aku bertanya ke kakek, berapa uang yang harus aku sediakan
dan kapan akan memulai proyek masa depan itu.Kakek permisi untuk melakukan
pekerjaan lain, sementara itu aku melanjutkan puisi yang sedang ku tulis di HP.Ah sial, HP murah itu hang, bait-bait puisi yang hampir jadi
itu hilang karena belum disimpan. Aku harus mengulang dari awal, mengingat kata-kata larik per larik. Syukurnya
masih menempel di otak ruh yang membangun
puisi itu sehigga aku lebih mudah merangkai ulang kata-kata dalam puisi itu.
Singkat kata puisi itu jadi, dan aku segera menyimpannya.
Aku pamit ke kakek untuk pulang
terlebih dahulu, kemudian shalat. Aku bingung mau ngapain lagi setelah shalat Dzuhur.
Seminggu yang lalu aku bertekad memanfaatkan momentum Ramadhan untuk mengubah
pola hidupku dalam pemanfaatan waktu. Aku ingin menghapus kebiasaan tidur siang
guna optimalisasi pemanfaatan waktu.So
siang ini, Aku enggak akan tidur siang.
OK, positif tidak akan tidur siang,
lalu apa yang bisa aku lakukan? Sip, aku akan revisi lagi bab satu proposal skripsiku.
Aku pulang mengambil note book, baru
nyampe rumah terdengar ayah marah-marah. Ah
kondisi yang sangat ku benci. Aku coba cuek dan memantapkan niat melanjutkan
misi untuk merevisi proposal itu. Suara amarah itu semakin keras. Adrenalinku
terpancu, tapi ku berusaha mengendalikan diri.
“Jangan melibatkan diri
dalam kondisi yang kau benci itu, jangan! Jangan terlibat! Jangan terlibat!”, diriku membatin.
“Santer laloq siq deq
kurang ajar! Waq deq gitaq kanaq maraq diq te penyaq inaq e nangis!
Maq polog e nina siq e
siksaq! Kakaq deq tia! Kenan deq panjak deq!
Dendeq, dendeq ning
inaq e, maq sere e siksa batur e! Laeq laoq leq kami penang, Wa.. baraq maten
deq isiqko uli aoq!”
Anak
lelaki yang dimarahi itu mengerut ketakutan, anehnya dia mencari perlindunngan
dengan merapat ke badan ibunya yang baru saja dia buat menangis karena ulah
membangkangnya.
“Mentiaq noaq kanaq,
lamun ta tetep penangin e, baraq bani e mateang ta lemaq!”, kataku yang terpancing
emosi juga.
“Mula keq, yaq ko adeq
meling, Mar. laguq santer laloq tan e nekat kanaq ni!”, kata ayah mengadu ke
ibu anaq itu.
“Aoq, makat meni laloq
siq ne nekat kanaq ni”,
kata Marnah sambil terisak dan menghapus air matanya.
“Mentiaq laloq nekat
kanaq leq inaq e, kanggo mateang!”, kataku semakin emosi.
“Siksaq iye ni Adi, anteh
ne taoq idap”,
kata Marnah sambil sesenggukkan.
“Masa mentiaq tan ta
eleq inaq ta? Adeq deq gitaq ruan inaq deq mate-matean menggawean siq impan
deq? Aget deq mau mengan bae, amaq deq waq dearaq. Laguq maq kekurangajar deq
leq inaq deq? Masa mentiaq tan kanaq sekolah? Sekolah nu anteh deq tao berbakti
baq inaq deq! Lamun deq sekolah siq tao embaca doang kek, uwaq-uwaq sekolah!
Sekolah waq kelas enem deq, mentiaq kurang ajar deq. Emben deq ngaji laguq
mentiaq kurang ajar deq. Kedementa dengah kena assalamualaikum ning ule ngaji,
laguq maq adeq deq jauq tan deq ngaji nu?! Ngalih! Baraq maten deq siq ko laun!
Mukminah yang menjadi lawan Imron
bertengkar masih menangis. Tetangga sekitar merapat melihat kejadian yang tidak
semestinya terjadi antara seorang anak dan ibunya itu. Saya memperhatikan kiri
kanan, orang-orang semakin ramai menonton.
“Saya merasa pusing
karena naik darah gara-gara kejadian ini. Astaga! apalagi ayah, yang memang
punya riwayat darah tinggi dan pernah mengalami stroke gara-gara darah
tingginya itu. Benar-benar kurang ajar ini anak, selama setahun ini saya
berusaha keras menghindarkan ayah dari kondisi yang bisa membuat stroke-nya
kumat, eh malah dia yang membuat kondisi buruk seperti ini. Awas! kalau sampai
terjadi apa-apa pada ayahku, kubunuh kau!”,kataku membatin menahan
amarah yang semakin memuncak.
“Sundel selapuq sita
te!”,
kata Imron sambil melarikan diri.
Semua
orang di tempat itu tercengang, Aku memperhatikan raut wajah ayah, dia terdiam
membisu, aku sangat khawatir kalau stroke ayah kambuh gara-gara aksi becat anak
itu. Tangis Marnah dan Mukminah terhenti karena nafas mereka terhenti, dada
mereka sesak. Aku semakin pusing karena
volume darah yang naik ke otak semakin penuh.
“Brook!”, suara lemparan batu ke
jendela kayu rumah Marnah. Beberapa detik kemudian disusul umpatan penuh
kedurhakaan Imron,”Sundel selapuq sita
te!
“Lawanko mae!”, tantang Imron.
“Siksa e, Adi!”, perintah ayah.
“Maten deq isiqko
kane!”,
kataku sambil meletakkan note book
yang ku pegang.
“Lamun inaq deq doang
sumpaq deq, masihko bau siq ko tahen diriq, laguq amaqko endah sundellang deq
kek, maten deq doang nengkane!”, ancamku sambil berlari mengejar Imron.
Baru dua langkah mengejar, sendal jempitku terlepas dari kaki. Gang
kecil ku terjang penuh amarah. Di persimpanagan gang depan rumah Hirwan aku
mencari-cari kemana arah Imron berlari, “Embe
lai e kaq?”, tanyaku ke inaq rari Jumiq. Pertanyaanku malah dijawab dengan
pertanyaan balik “Kembeq e kaq?”.
Sebelum pertanyaan balik itu selesai, aku sudah melihat sosok Imron berlari ke
arah utara. Siang-siang di hari ke dua puluh bulan Ramadhan itu, murka
mendorongku berlari sekuat tenaga yang tersisa untuk mencengkram si bocah
tengik.
Mendengar
suara derap kaki kami yang berlari, orang-orang yang kami lewati rumahnya ke
luar rumah ingin tahu apa yang terjadi.
“Araq apa nu?”, teriak histeris
seorang ibu.
Aku enggak memperdulikan apapun,
termasuk pertanyaan enggak penting semacam itu. Aku hanya fokus pada tubuh
bocah tengik itu. Larinya kencang juga anak itu, di persimpangan gang depan
rumah tuaq Sera’i ia belok kanan ke
arah Mushala. Setelah melewati Mushala, aksi kejar-kejaran itu memasuki rute jalan utama kampung itu. Aku hampir
kehabisan tenaga dan hampir menyerah. Imron menoleh ke belakang untuk
memastikan bahwa aku berhenti mengejarnya. Saat menoleh itu, kecepatan
berlarinya otomatis menurun, dan momen itu tidak aku sia-siakan. Aku
mengeluarkan seluruh tenaga yang tersisa untuk sprint sekencang-kencangnya. Ada ekspresi kaget yang luar biasa
dari wajah bocah pembangkang itu saat aku hampir meraihnya. Dia berhenti
memandang ke arah ku dan mencoba berusaha lagi menaikkan kecepatan berlarinya
untuk meloloskan diri. Seratus meter dari mushala, sepertinya ia sadar kalau
terus beradu sprint dia pasti akan tertangkap, karena itu dia coba tiba-tiba
berhenti kemudian menunduk agar terhindar dari cengkramanku, usaha terahirnya
hampir berhasil, namun aku cepat berbalik dan menghantamnya berkali-kali sehingga
lunglai kemudian menendangnya hingga terjatuh. Amarah membuatku lupa kalau dia
hanya seorang anak kelas enam SD. Tendangan-tendanganku kurang lebih lima kali
melayang ke badannya.
“Oh, amaqko sundellang
siq kanaq bebeyaq maraq diq ni kek? Maten deq isiqko negkane”, kataku sambil
menendang.
“Kakaqko kenangko baruq
nu!”,
katanya membela diri.
“Baruq sundel selapuan
sita te ning deq!”
“Kakaqko laguq kenangko
baruq nu!”,
bentaknya.
“Uwaq, uwaq belaq ulu e
laun, salaq ta jari e!”,
kata inaq rari Suhani mengingatkan.
“Amaqko sumpaq e isiq
bebeyaq kek, baningko mateang e!
“Alurang e waq, anteh e
jerih!”
kata Shopia melarang inaq rari
Suhaini yang melarangku memukul lagi.
“Kakaqko kenagko baruq
nu!”,
Imron masih berusaha membela diri.
“Engkah, engkah, uwaq,
uwaq sang iya jari perajahan e ni, sang kane uwaq e bani noaq”, Kata bapuq Aruni sambil menggiringku menjauh
dari Imron.
“Maeh lepasko”, kataku yang merasa
risih dipegang erat dan digiring seperti itu.
Tatapan penuh dendam terpancar dari
bocah tengik itu. Ia kemudian diamankan oleh seorang lelaki menjauh dariku. Aku
menarik nafas dalam dan memutuskan untuk pulang ke rumah melalui rute yang sama
sewaktu aksi mengejar tadi. Warga berkerumun mencari tahu apa yang terjadi.
Berpasang-pasang mata menatapku dengan ekspresi heran. Aku melangkah dengan
tegak dan sesekali menatap mata orang yang menatapku dengan aneh. Mereka
mengalihkan pandangan karena malu terpergok oleh mataku bahwa mereka menatapku
dengan aneh. Hanya beberapa orang yang tidak merasa canggung bertanya padaku
perihal yang terjadi;
“Kembeq e baruq nu?” Tanya tuaq Hermawan
dengan nada yang diatur sedemikian rupa agar aku tidak keberatan menjawab. Aku
hanya menjelaskan singkat, bahwa sikap anak itu keterlaluan terhadap ibu dan
kakaknya. Selama ini aku dan ayah berusaha tidak melibatkan diri karena itu
adalah urusan mereka, namun kali ini sudah sangat keterlaluan sehingga ayah
yang merupakan om dari Imron merasa harus terlibat mengingatkan. Dan
keterlibatan ayah memaksaku terlibat dalam urusan yang sangat ku benci itu.
“Adeq e bau penangin
tagihan e, dit ya po endah soar e jari e lemaq”, kata tuaq Sukar saat
aku lewat depan rumahnya.
Sesampai
di rumah aku langsung mengambil note book
kemudian memtikannnya. “Embe taoq deq
dait e?”, tanya ayah.
“Nu leq julun bale
bapuqko nu”
“Embe iya?”
“Embeq te lai e amanang
e siq saih te baruq”,
jawabku singkat.
“Uwaq waq
meling-meling, gugur waq kewajiban ta ingetin jangka sampe keras tan ta mene,
lamun ampoq penangin e waq, kembeq-kembeq jarin idup e!”, kataku ke ayah.
Aku
mengambil print out skripsi yang
penuh coertan dalam map dan buku ke dua Andy. F Noya.
Aku
menghampiri ibu ke dapur, “Gitaq amaqko
nu, pasti jaoq lai e taeq daq e tia, Ita saq bajang sehat nu kah pedas rasa e
taeq ni”
“Angkaqko saq kena meno
doang nu”,
kata ibu menyesalkan apa yang terjadi.
(Ketapang, 30 Juli 2013 | 18:01 WITA)
0 komentar: