PURNAMA DI BUKIT SIGEBONG
(Sabtu,
21 September 2013)
Hal yang memenuhi otakku adalah
proposal skripsi. Hari ini adalah jadwal konsultasiku namun proposal skripsi
yang seharusnya aku serahkan kemarin sore ke dosen pembimbing II hingga siang
belum juga beres.
Pilek dan demam yang cukup tinggi
tak membuatku tak mengerjakannya. Namun pada akhirnya hingga sore proposal itu
belum juga beres. Aku memutuskan untuk bolos dari jadwal konsultasi. Malu juga
dengan diriku yang terlalu lalai, apalagi Linda sempat mengomentari kelalainku
melalui SMS siang itu.
Sore harinya aku memastikan ke Linda
apakah dia jadi ikut kemah di Sigebong atau tidak, mengingat dia punya jadwal
ngajar les Sabtu sore itu, bahkan hingga pukul 21:00. Saat aku konfirmasi
melalui SMS, dia membalas singkat “Masih ngajar ni”. Jawaban itu seolah
mengisyaratkan, dia akan membatalakn janji,
namun dia sungkan menyampaikan dengan bahasa yang lebih lugas. Aku mendesaknya
untuk segera memastikan apakah dia jadi ikut atau tidak. Dia bilang bahwa dia
akan ikut namun dia menyarankan agar aku mengurungkan niat berangkat sor. Dia mengajakku berangkat
malam hari saja. Aku pun mengiyakan.
Itu bukan masalah bagiku, yang jelas
aku ingin menikmati bulan purnama dengan dia di alam terbuka semalam suntuk.
Apalagi aku tahu lokasi kemah tersebut sangat bagus, walaupun
terakhir kali aku kemah di sana
tujuh tahun yang lalu. Setelah membuat beberapa opsi tentang akan menitip motornya dimana. Aku nawarin dia titip motor
di rumah ibuku, dengan pertimbangan jarak Sigebong tidak terlalu jauh dengan
rumah ibu, tapi karena besok paginya aku harus siaran pukul enam pagi dia
menolak menitip motornya di sana,
“GmNa Yw, gIni aja, dEvoNk kan plang pGi2
bsok, lin bwA mtor jga dah. Brangkat ja duluan ntar Lin nyusul”
“Track ke bukit itu cukup terjal, kmungkin matic agk
susah naik. Lin titip mtor di studio aja deh, AMAN kok”, Kataku
meyakinkannya melaui
SMS.
“Ok dah,msalah mtor ntar gmNa2,jual jga bleh, he...”
Sore sudah berlalu, saat aku
melangkahkan kaki di tangga terakhir masjid untuk shalat Magrib berjamaah. SMS
Linda masuk, ia memberi kepastian bahwa dia baru bisa berangkat pukul 21:00
WITA karena jam segitu dia baru selesai ngajar private di Pagutan. Akupun mengiyakan. Sebenarnya, sehari
sebelumnya aku menyarankan agar kami bisa menikmati sore di Sigebong, tapi
berubah jadi ba’da Magrib dan berubah lagi menjadi pukul sembilan malam.
“Aku tunggu di radio, kalau bisa dipercepat,
percepat ya, mkasi”, kataku menginfokan
melalui SMS.
Di radio, aku berharap bertemu
dengan Avan agar aku bisa minta tolong ke dia untuk menggantikanku siaran besok
pagi, namun yang ku temui yang sedang
siaran disana adalah Eka. Dan ada Mizra yang masih distudio walaupun jam
siarannya udah selesai. Dia sedang asyik
ngobrol dengan Eka di sela-sela siaran.
Singkat
cerita, Linda datang dengan ekpresi yang enggak mengenakan. Sepertinya ada
masalah besar.
“Linda
kenapa?”, tanyaku khawatir.
“Lin
bingung”
“Ada
masalah apa?”
“Bingung
aja”
Sepertinya
ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Akan tetapi,dia sungkan
menceritakannya. Aku tak mau memaksanya bercerita. Entah apa yang membuatnya
uring-uringan seperti itu. Aku mencoba membunuh rasa ingin tahuku.
“Sebenarnya
tadi Lin mau batalin untuk ikut, tapi enggak enak sama Depong. Lihat aja aku
enggak pake jaket”
“Ya
udah, entar pakai jaket ini aja”, kataku sambil menunjuk jaket yang ku pakai.
“Terus
Depong pakai apa?”
“Tenang
aja. Aku udah biasa dingin-dinginan kok’
Motor matic
warna biru miliknya pun aku amankan ke belakang studio. Aku berpesan ke penjaga
malam untuk menjaganya. Kami berangkat menggunakan motorku. Setelah beberapa
ratus meter melewati simpang empat Karang Jangkong, kami mampir membeli jagung
dan kwaci untuk teman-teman yang sudah berangkat duluan.
Dalam
perjalanan kami terus bercanda dengan memanfaatkan berbagi macam topik obrolan.
Hingga akhirnya kami sampai di sebuah jalan yang sepi dan gelap.
“Ini
yang namanya desa Dopang ya?”
“Enggak,
Dopang itu sanaan tempatnya”
“Ya
dah, itu kan gapuranya bilang Dopang”
“Oh.
Aku lupa daerah sini. Udah sangat lama kau tidak lewat sini”
“Pong,
katanya di sini sering terjadi perampokan”
“Kata
siapa?”
“Kata
ibu angkat Lin di tempat KKN”
“Ya,
kalau emang ada mau apa lagi. Pasrah sih, ha.ha” komentarku dengan becanda.
Maksudnya sih biar Linda tidak takut. Walaupun sebenranya aku juga takut.
Jalan yang membelah kebun itu cukup mulus tapi sempit.
Gelap dan sangat sepi. Tak satu pun motor yang melintas selain si Silver. Tak dapat dipungkiri lagi,
perasaan was-was semakin menjadi-jadi. Takut kalau ada perampok yang mencegat
kami di tengah kegegelapan itu. Aku memacu si Silver dengan kecepatan yang
semakin tinggi. Ku fungsikan pula lampu sorot si Silver. Kalau ada yang menjegat bisa dilihat lebih cepat,
sehingga kami bisa kabur lebih cepat.
Beberapa menit kemudian, kami melihat sebuah kuburan.
Seingatku di sebalah timur kuburan itulah akses menuju bukit Sigebong. Tapi
kenyataanya jalan itu tidak ada. Aku bingung kemana jalan itu perpindah. Lampu sorot
si Silver menyinari saluran air yang
penuh semak. Memoriku langsung mengingat peristiwa penemuan mayat penuh luka
bacok di tempat itu. Aku coba diam dan tidak menceritakannya ke Linda. Aku khawatir
dia semakin takut.
“Kita
lewat mana nih?, tanya Linda khawatir.
“Seingatku
sih, dulu jalannya di sini. Tapi kok sekarang enggak ada ya. Ah mungkin akau
lupa, karena sudah terlalu lama tidak ke sini. Kita tanya aja yok ke orang yang
ada di sana!”
Kami
menghampiri sebuah gudang kayu. Di tempat itu ada seorang lelaki setengah baya.
“Assalamualaikum, maaf Pak mengganggu.
Kita mau tanya Pak. Jalan ke bukit Sigebong tu mana ya”
“Oh..dari
sini belok kanan, terus belok kiri”
“Terima
kasih banyak, Pak”
Kami
langsung mengikuti petunjuk bapak tesebut. Tapi ternyata aku salah. Kami malah
naik ke atas kuburan. Linda ketakutan melihat batu nisan. Dia memegangku erat.
Jalan itu buntu. Kami melihat rumah di samping kuburan itu, kami langsung ke
sana. Linda curiga, rumah itu bukan rumah manusia melaikan rumah setan. Untungnya
aku tidak terlalu percaya dengan setan. Aku memutuskan untuk bertanya di sana.
Agar tidak menimbulkan prasangka buruk, aku menjelaskan terlebih dahulu tujuan
kami ke bukit Sigebong kepada warga tersebut. Dan ternyat warga yang sedang
bergontong-royong membuat jalan itu sangat baik. Mereka menujukkan jalan pada
kami dengan bahasa yang sangat santun dan berkali-kali mengingatkan kami untuk
berhati-hati.
Akhirnya
kami menemukan jalan menuju lokasi kemah tersebut. Jalananannya mendaki,
terjal, berlubang, dan tentunya tanpa penerangan. Benar-benar harus ekstra
hati-hati. Jarak lokasi perkemahan itu masih cukup jauh. Kami hanya
mengandalakan penerangan dari lampu si Silver dan sinar rembulan. Kebetulan
malam itu bulan sedang purnama.
“Seandainya
sendirian, Depong enggak takut dengan suasana serem seperti ini?”, tanya Linda
dengan suara yang sedikit ditahan
“Aku
enggak terlalu percaya dengan setan. Aku justru lebih takut pada manusia yang
jahat”, jawabku.
“Lin,
tahu enggak, di tempat kita tersesat tadi itu pernah ditemukan mayat”
“Jangan
diomongin. Lin takut”, Katanya kemudian memegangku lebih erat.
“Maaf,
Lin. Aku lupa kalau kita belum nyampe’
“Mana
sih tempat kemahnya?, masih jauh ya?
“Bentar
lagi nyampe kok. Tu udah kelihatan. Itu loh dibukit yang ada cahaya itu”
“Astaga
masih jauh dong. Lampunya kelihatan kecil banget”
Perjalanan
itu terasa lama bagi Linda, karena dia dihantui rasa takutnya sendiri. Sesekali
aku meminta maaf pada si Silver karena telah memaksanya menaiki bukit yang
terjal.
“Sabar
Silver. Bentar lagi kita nyampe”
Linda
tertawa mendengarku bicara pada motorku. Setelah cukup lama menguras tenaga si
Silver akhirnya kami tiba juga di bawah bukit Sigebong. Namun, tugas berat si
Silver belum kelar. Dia masih harus mengeluarkan tenaga super untuk mendaki
bukit. Linda memutuskan untuk turun karena melihat medan berat yang harus
ditaklukkan si Silver. Kedatanag kami menyita perhatian semua orang. Bukit
Sigebong penuh sesak oleh siswa pecinta alam dari MAN 1 Mataram, SMA 3 Mataram,
SMA 7 Mataram beserta beberapa alumni.
“Salam
Lestari!”, kataku yang kemudian dijawab serentak oleh semua yang mendeangarnya
dengan kata “Lesatri!”.
“Ye
nama belakangku disebut” ,kata Linda bercanda.
Aku
senyum kearahnya. Kemudian balik arah lagi ke siswa MAN 1 Mataram yang sedang
asyik bercanda. “Atin di tenda yang sebelah mana ya?”, tanyaku.
“Tu
di tenda yang pinggir di sebeah barat”, jawab seorang siswa.
“Terima
kasih ya”, kataku.
Kami
langsung menghampiri Atin yang sedang asyik nyanyi-nyanyi dengan adik-adik dan
seniornya di Kalpa (organisasi pecinta alam SMA 3 Mataram). Di sana hanya Ati
yang kami kenal. Aku dan Linda memperkenalkan diri kepada anggota Kalpa yang
lain.
“Kirain
engak jadi ikut. Kok kalian baru dateng sekarang?”
“Ya
sorry. Tadi nunggu Linda selesai ngajar dulu”
“Oh
gitu, eh entar Linda tidur di lam aja sama adik-adik yang cewek tu. Kita di
luar aja”, kata Atin.
“Siap.
kan aku dah bilang, aku dan Linda siap dengan segala kondisi”, jawabku.
“Pong,
jagung dan kwaci yang dibeli tadi itu mana?”, Linda mengingatkan
“O
ya ya ketinggalan di motor. Aku ambil bentar ya”
Malam yang sangat indah. Bulan bersinar terang. Sementara
itu, dari kejauhan seluruh kota Mataram terlihat begitu indah. Kelap-kelip
lampu kota terlihat menawan dari atas bukit ini. Junior-junior Kalpa adalah
siswa easy going. Walaupun baru
bertemu tapi suasananya begitu akrab. Kami bernyanyi bersama. Lagu demi lagu
kami nyanyikan diiringi permainan gitar seorang senior Kalpa. Nyanyian kami
didominasi lagu dangdut. Kwaci dan jagung yang sudah aku bagikan ke semua yang
ada di tenda, dianggurin gara-gara keasyikan nyanyi.
“Lin,
ngerasa jadi Musdalifah lihat Depong nyanyi lagu dangdut”, kata Linda sambil
tertawa. Kami tertawa ceria di tengah nyanyian kami.
Tak terasa malam semakin larut. Satu per satu mulai
mengambil posisi tidur. Sedikit yang mau masuk tenda. Rata-rata ingin menikmati
keidahan malam di luar tenda. Aku
memutuskan untuk bersandar di sebatang pohon kelapa. Di sana tempat yang sangat
pas untuk menatap bulan yang masih perawan. Linda yang rencana awal akan tidur
di tenda pun memilih untuk tidur di luar. Ku hendak pakaikan jaket ku padanya
namun ia tidak mau. Dia hanya mau menerima syal dan selembar kain dariku. Kami melewati malam dengan curhatan
tak berujung.
0 komentar: