KOST AKAN DIGUSUR, HARUS PINDAH
(Mataram,
23 Januari 2014)
Pukul
setengah delapan pagi, seperti biasa Jul memanasi mesin Vixion-nya. Di antara deru mesin, terdegar percakapan Jul dengan
seorang lelaki. Lelaki itu bukan pak Gede. Aku tak mengenal suara itu.
Sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius. Entah apa yang
mereka bicarakan. Lama kelamaan suara deru motor dan suara percakapan itu
menjauh, perlahan menghilang.
Beberapa
saat kemudian, aku buru-buru menuju toilet. Seperti biasa, kalau enggak lama di
kamar mandi, itu bukan aku namanya. Ya aku memang dikenal betah berlama-lama di
kamar mandi. Setelah lama bertahta di singahsana jongkok, aku balik ke kamar
untuk mengambil pakain kotor yang akan ku cuci. Pakaian itu hanya aku rendam.
Aku mandi sambil nyanyi.
“Menghilanglah
dari kehidupanku. Enyahlah dari hati yang tlah hancur. Kehadiran sosokmu kian
menyisakku. Di sini biarkan ku menyendiri. Terlintas keinginan ‘tuk dapat
hilang ingatan agar semua terlupakan. Bersenang-senanglah sepuasnya. Di sini
biarkan ‘ku menyendiri.”
Begitulah aku
bernyanyi. Lagu Rocket Rockers itu aku ulang berkali-kali tanpa henti hingga
selesai mandi. Entah liriknya benar atau salah. Dari luar terdengar seliweran
langkah sosok-sosok yang tak ku ketahui siapa. Dia mondar mandir dari ruang
tamu ke dapur.
Begitu
keluar dari kamar mandi, aku melihat seorang laki-laki sedang mengutak-atik
lemari di dapur. Lelaki tak ku kenali.
“Ah mungkin itu tukang
kayu suruhan buk Kus”, gumamku.
Ketika melintasi ruang
tamu, ku lihat lemari-lemari besar berubah posisi. Awalnya lemari-lemari tersebut
digunakan sebagai pemisah ruang tamu antara anak kost dan keluarga ibu kost.
Sekarang lemari-lemari itu tidak lagi memisah ruang tamu tersebut. Sekali lagi
aku bergumam sendiri.
“Mungkin ini dilakukan
biar ibu kost dan kami semakin akrab”, prasangkaku.
Dalam lamunku, aku menimbang
sisi positif dan negatif perubahan tata letak lemari tersebut. Belum selesai
aku berlamun, ibu Kus datang.
“Nak.,, ibu mau
pindahan” (dicatat
di depan ruang dosen BI FKIP Unram|13.25)
Entah mengapa aku
langsung mengerti maksud buk Kus. Seolah tanpa beban aku merespon dengan
pertanyaan retoris “Oh, jadi kita pindah barengan, Buk?”
Belum dijawab, lelaki
yang semula mengutak-atik lemari di Dapur menghampiri kami.
“Ibu dikasih waktu cuma
sampai akhir bulan ini”, kata ibu Kus.
“Kemarin rumah di depan
itu diobrak-abrik oleh petugas Universitas”, cerita yang lelaki yang tak
kukenal itu.
Dia cerita panjang lebar
tentang proses pengusiran para penghuni rumah dinas yang belangsung anarkis. Dua
minggu terakhir aku memang jarang di kost. Kalaupun di kost palingan buat ganti
baju aja. Kemarin, aku enggak di kost seharian. Baru pulang ke kost jam
setengah dua dini hari.
Suara
orang terdengar memanggil di depan. Buk Kus menghampirinya. Beliau membawa
masuk oarng tersebut. Kenalin anak saya.
“Adi”, kata ku
memperkenalkan diri menjabat tangan orang itu.
“Nyoman”, sambutnya.
“Maaf, saya permisi pakai
baju dulu, Mas”, kataku.
Setelah memakai baju,
aku keluar kamar menghampiri buk Kus. Beliau mulai bercerita. Isi ceritanya itu
sebelumnya pernah diceritakan padaku. Saat itu, hari pertama aku bertemu dengannya. Tujuanku
datang pada saat itu adalah melihat-lihat kamar kost yang akan aku tempati.
“Ibu sudah empat puluh
tahun tinggal di sini. Semua anak saya lahir di sini. Saya sudah sangat sayang
denga rumah ini”, kata beliau.
“Apalagi Ibu ya. Saya yang
baru tinggal secuil di sini sudah merasa sayang sama rumah ini”, empatiku
kepada beliau.
“Sepertinya mereka lupa
jasa almarhum Bapak. Padahal Bapak meninggal di kelas lho dulu saat mengajar di
Fakultas Hukum”, kata ibu Kus dengan suara tertahan karena sedih.
Dilanjutkan lagi cerita
yang pernah ku dengar tersebut. Sebagai bentuk empati ku, ku biarkan saja
beliau cerita panjang lebar tanpa menyela. Aku hanya ngangguk-angangguk untuk
menunjukkan antusias mendengar.
“Padahal, surat keputusan
Menteri yang terakhir menyatakan, Ibu berhak tinggal di sini hingga meninggal
dunia dan setalah itu anak-anak ibu berhak tinggal setahun lagi”, curhatnya.
“Rumah ini menjadi
sejarah proses awal kehidupan mandiri saya”, kataku
“Dulu saya dan almarhum
merenovasi rumah ini dengan uang pinjaman dari Bank. Potong gaji. Empat kamar
yang kalian tempati, dapur, dua kamar mandi dan ruang tamu ini saya bangun
belakangan. Dulu katanya rumah ini bisa dijadikan hak milik dengan membayarnya.
Makanya saya dan penghuni rumah dinas yang lain berani merenovasi”
“Em, em” responku sambil
mengganguk.
“Itu suara orang di rumah-rumah
sebelah sedang membongkar bahan bangunan”, kata tukang kayu menimpali.
“Dulu di sini masih
kayak hutan. Saya benar-benar sudah sayang sama rumah ini. Tapi saya tidak mau
disuruh keluar secara paksa. Saya tidak mau dipermalukan seperti itu. Lebih
baik saya keluar sendiri”, kata ibu Kus.
“Ya sih Buk, toh juga
kita tetap harus pergi kan. Jadi lebih baik begitu”, kataku mengamini.
“Ibu sengaja segera keluarin
barang-barang, nanti takutnya mereka mengira kita tidak mau pergi. Ibu mau
bongkar dulu bahan-bahan bangunan di bagian belakang ini”, katanya sambil
menunjuk ke arah tukang kayu yang sedang membongkar kusen di kamar pertama yang
dulu ku tempati.
Beberapa saat kemudian,
beliau pamit mengurus pekerja-pekerja lain yang sedang mengangkat barang-barang
di depan rumah. Aku pun pamit ke kamar pada tukang kayu untuk mengemas
barang-barangku. Ketika semua barang hampir selesai dikemas, pak Gede masuk ke
kamarku menghampiri.
“Adi, Bapak masih di
sini hingga tanggal tiga puluh, kalau Adi mau tinggal aja di sini hingga
tanggal tiga puluh itu”
“Oh ya, Pak. Saya akan
tinggal di sini sementara dapet kost baru. Sampai tanggal tiga puluh, Pak?”,
tanyaku memastiakan
“Ya. Maafkan ya”
“Ya mau bagaimana lagi,
Pak. Terimaksih, Pak ya”.
Pak Gede kembali ke
para pekerja. Ada rasa haru harus meninggalkan rumah itu padahal aku baru empat
bualan di sini. Apalagi Ibu Kus dan pak Gede yang sudah tinggal empat puluh
tahunan ya. Mereka pasti merasa sedih banget.
(Kost
Ricko dan Jaya di Punia Karang Kateng|24 Januari 2014|08.35)
0 komentar: