METAMORFOSIS
SATU
ENAM
tahun umurnya saat itu, terlahir di sebuah dusun yang sebagian besar penduduknya
berpendidikan rendah bahkan tidak berpendidikan sama sekali. Hari-hari ia lalui
dalam keluarga yang hidupnya sangat
sederhana, mungkin kata sederhana itu cukup bermartabat untuk tidak menyebutkan
kemiskinan secara gamblang.
Diusia
sebelia itu, tentu ia sama seperti anak-anak seumurannya. Mengisi seluruh detik
waktunya hanya dengan bermain, bermain dan bermain. Pulang ketika ia lapar dan
saat ia ingin tidur. Tak ada TV yang bisa membuatnya betah di rumah, tak ada
hiburan sama sekali, bahkan udara rumah itu terlalu pengap sehingga ia sangat
tak betah di rumah. Rumah mungil dengan dinding bedekitu hanya terdiri atas dua ruangan, satu ruang tidur dan
ruangan yang lain adalah ruang tamu. Tak ada kamar mandi, tak ada dapur. Semua
aktivitas yang berhubungan dengan air dilakukan di sungai atau di telabah. Mulai dari mandi, cuci pakaian,
cuci piring, buang kotoran dan cuci beras semuanya berlangsung di sungai. Sedangkan kegiatan memasak berlangsung di
halaman rumah, alat-alat yang digunakan sangat sederhana, berit atau kayu, panci dan tungku. Untuk urusan tungku: mereka yang
lumayan beruang menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat yang bisa
diperoleh dari pedangang keliling, sementara yang lain biasa membuat tunggu
dengan menyusun dan mengatur batu bata sedemikian rupa atau hanya dengan memanfatkan
batu-batu yang diangkat dari sungai. Bagi warga dusun, itu bukanlah kebiasaan
yang aneh dan menjijikan tapi itu adalah kebiasaan yang wajar.
Rumah
tanpa loteng itu dihuni empat kepala, sepasang suami istri, satu bayi perempuan
berusia dua tahun dan bocah lelaki itu. Walaupun miskin, keluarga itu tidak
terlalu meratapi nasip. Kondisi rumah dirasa sudah lumayan baik, apalagi jika
dibandingkan dengan beberapa tahun silam: ketika suami istri itu memutuskan
membina keluarga diusia yang sangat belia, mereka tinggal di rumah yang lebih
pantas disebut gubuk reot, bedek-nya
bolong dimana-mana, atapnya bocor dan gubuk itu tanpa pintu. Pintu hanya
ditutupi kain rombeng.
Nostalgia
pahit masa lalu itulah yang membuat keluarga itu tetap bisa bersyukur. Seiring
berjalannya waktu, kondisi terus berubah. Tidak hanya berubah ke arah yang
lebih baik tapi juga berubah menjadi semakin kompleks. Kalau dulu sepasang
suami-istri hanya hidup berdua, kini mereka hidup berempat. Kebutuhan hidup pun
meningkat. Sang suami tidak hanya harus menanggung kebutuhan primer istri tapi
juga harus menangggung semua kebutuhan anak-anak, kebutuhan pakain anak-anak,
mainan anak-anak dan yang paling sering menjadi masalah adalah uang jajan
anak-anak.
Menjelang
siang, anak laki-laki itu bermain seperti biasa, seorang temannya sedang makan
kerupuk kemudian ia meminta pada temannya, permintaan pertama itu dipenuhi oleh
temannya begitu juga permintaan ke dua namun tidak untuk permintaan ke tiga. Ia
pulang berlari menuju rumah, melewati rumah bapuq
Jum belok ke selatan dan membus jalanan, kemudian belok kanan dan menuruni
jalan yang menurun. Sampai akhirnya sampai lah ia di teratakyang tepat berada di bawah rumahnya. Ia menajaki teratak itu dan sekarang ia tepat berada
di depan pintu rumahnya. Ibunya sedang berbicara dengan tetangga di sudut utara
rumah.
“Ibu minta uang, aku mau beli
kerupuk”
“Uang-uang terus..!”
Ia
tertunduk tanpa bicara, ia tak berani menatap ibunya.
“Tadi udah, sekarang minta lagi.
Kamu kira dapet uang itu mudah. Kerja sana biar kamu tau susahnya dapet uang!”
Bocah
itu malu pada ibunya. Ia berlari menjauh, ia melintasi lagi rumah bapuq Jumnamun kali ini dari arah yang
berbeda. Jalur gang itu tembus lagi ke posisi tempat ia bermain dengan temannya
tadi namun ia tidak berhenti disitu, lagi pula temannya sudah tidak disana
lagi. Ia belok ke arah utara, ia melintasi gang sempit. Gang sempit itu terasa
semakin sempit karena tumpukan ijuk dan dedandapara
pemilik rumah, dua benda itu adalah bahan baku pembuatan kerajinan sapu ijuk.
Membuat sapu ijuk merupakan salah satu mata pencarian utama masyrakat dusun itu
selain menjadi buruh pemecah batu dan bertani. sepertinya bocah itu menuju ke
arah rumah neneknya yang terletak tujuh ratus meter dari rumahnya.Di setiap langkah kakinya berlari, kata-kata ibunya
tadi selalu terngiang:
“...Kerja sana biar kamu tau
susahnya dapet uang!”
“...Kerja sana biar kamu tau
susahnya dapet uang!”
“...Kerja sana biar kamu tau
susahnya dapet uang!”
Muka
bocah itu merah padam, gigi atas dan gigi bawah bergesek, suara nafasnya lebih
keras dari pada biasanya. Setelah beberapa ratus meter berlari, ia istirahat di
belakang salah satu rumah warga. Rumah itu tidak jauh berbeda dengan rumahnya
bahkan lebih meperihatinkan. Kalau rumahnya sudah beratap genteng, rumah warga
itu masih beratap ilalang. Kalau lantai rumahnya sudah memakai semen, rumah itu
masih berlantai tanah liat.
“Besok aku harus kerja”,
ia membisikkan tekad pada dirinya sendiri sambil mengepal tangan kanannya. Ia
melanjutkan perjalanannaya menuju rumah nenek tapi kali ini tidak lagi berlari.
Ia hanya berjalan dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang pada pekerjaan
yang mungkin bisa dia kerjakan.
“Pokonya aku harus kerja!
Aku harus kerja!
Aku harus kerja!
Tapi apa yang bisa dikerjakan oleh
anak sekecil aku ini?”
Ia
sampai di ujung gang dan bertemu dengan jalan utama dusun itu. Tepat di
pertemuan gang dan jalan utama itu ada Mushala. Di undak-undakMushala itu ia duduk sendiri memaku dagu mencari jawaban
atas pertanyaan yang bergelayut di otaknya.
Gerombolan
siswa berbaju pramuka datang dari arah utara. Eh ternyata tidak hanya mengenakan baju pramuka tapi ada juga
beberapa yang mengenakan baju putih dengan bawahan coklat atau sebaliknya
mengenakan baju pramuka namun mengenakan celana merah bahkan ada yang
mengenakan baju putih dan celana merah hari itu. Mereka sebagian besar tak
beralas kaki sama sekali, ada yang mengalungkan sepatunya, ada yang hanya
memakai sendal jepit. Sangat jauh dari kesan rapi dan disiplin. Sangat
berbanding terbalik dengan gaya berpakaian siswa yang semestinya. Tapi mau
bagaimana lagi, semua itu terjadi karena kondisi ekonomi.
“Abis makan kita pergi nanding batu yok”
Kuping
bocah yang termangu di undak-undak
Mushala menangkap suara itu, kemudian ia menoleh ke arah sumber suara, ternyata suara itu berasal dari
salah satu mulut anak kelas satu SD yang bergerombol tadi. Ia tertarik pada
obrolan dua anak itu lebih lanjut. Ia memfokuskan telinganya pada obrolan
anak-anak itu:
“Nanding dimana?”
“Di bapuq Mahiyam”
“Boleh, nanti cari aku ke rumah ya”
“Ok”
Pertanyaan
yang memenuhi kepalanya terjawab sudah setelah mendapat informasi tanpa sengaja
dari obrolan anak-anak tadi. Bocah itu
mengangguk-angguk-kan kepalanya dan menggigit pelan bibir bawahnya
kemudian mengangkat telunjuk setara dengan bahu dan berkata, “Ya besok aku nanding”.
Ia meninggalkan bekas pantatnya di Mushala itu dengan
sedikit melompat dari undak-undak ke
jalan dan berjalan ke arah utara, ke arah rumah neneknya sambil sesekali
mengangguk dan tersenyum.
****
Besok
paginya, ia sudah standby di sungai
kekuasaan bapuq Mahiyam. Sungai saat
itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Kalau hari-hari biasa, jam delapan pagi
seperti itu yang ada di sungai hanya ibu-ibu yang sedang mencuci piring dan
pakaian sambil membicarakan kejelekan tetangganya, buruh-buruh yang sedang mengumpulkan
dan memecah batu dengan hamer,tapi
sungai pagi ini juga dipenuhi oleh anak-anak SD yang mengisi hari minggu mereka
dengan berenang seharian. Ada juga diantara anak-anak itu yang mengisi liburan
mereka dengan ikut menjelma sebagai buruh layaknya orang dewasa dengan
mengumpulkan batu. Aktivitas mengumpulkan batu dan menjualnya pada “si empunya sungai” itu lazim mereka
sebut dengan kata “Nanding”.
Salah
satu diantara buruh-buruh cilik itu adalah si bocah kemarin, ia agak ragu dan
malu-malu mulai mengumpulkan batu. Mungkin karena itu hari pertamanya nanding, ia curi pandang ke kiri dan
kanan, curi pandang ke depan dan belakang. Memperhatikan bagaimana cara orang nanding, memperhatikan bagaiamana aturan
mainannya, di wilayah mana saja ia boleh mengangkat batu, di area mana saja tempat yang diperbolehkan
untuk menaruh batu-batu yang akan di-tanding.
Setelah memperhatikan semuanya dari
mereka yang lebih senior dalam perburuhan cilik itu, ia mulai
mengumpulkan batu. Mula-mula ia mengangkat batu yang ukurnnya hanya dua
genggam, kemudian mengangkat yang lebih besar. Batu-batu itu ia taruh di dekat
batu milik teman sepermainannya, Hanan. Hanan lebih berpengalaman dalam hal
ini. Ia bekerjasama dengan kakaknya yang bernama Zur. Lama kelamaan batu-batu
yang bisa diambil di pinggir kali abis sehingga para buruh cilik itu harus
menyelam ke sungai yang berarus untuk mengambil batu. Proses pengerjaan jadi
bertambah, pertama mereka harus menyelam melawan arus untuk mendapatkan batu
kemudian menaruhnya dipinggir sungai,baru kemudian mengangkutnya ke tempat penandingan. Bocah itu terlihat begitu
bersemangat bekerja. Itu adalah kiprah perdananya di dunia kerja yang kelak
akan menjadi pengalaman tak terlupakan dalam hidupnya, Hari itu menjadi sejarah
yang terukir begitu rapi tidak hanya di otak tapi juga di hati.
Andri,
teman sepermainannya yang lain juga terlihat di sungai itu, apa yang
menyebabkan anak pedagang sukses itu mau berkerja juga di sungai itu. Entahlah
tak ada yang tahu. Si bocah terlihat berkali-kali menyelam, menaruh batu di
pingir sungai, mengangkutnya ke tempat tanding, begitu terus berulang-ulang.
Matanaya sudah terlihat merah karena terlalu lama menyelam. Ketika ia menaruh
batu di tempat tandingannya untuk yang kesekian kali. Zur menegurnya dengan
usulan:
“Kerjasama caranya sama Andri tu
biar batu kalian jadi lebih banyak!”
Ia
melongo ke arah wajah perempuan manis itu kemudian mengalihkan pandangan ke
arah tumpukan batu Andri. Pandangannya mencari-cari si empunya batu tapi tak
juga menemukan sosok itu.
“O ya ya, tapi...Andri mau enggak
ya?”, responya terhadap usulan Zur.
“Andri kerja sama caranya sama ini
biar kalian enggak terlalu capek”!, Kata Zur ke Andri yang
baru bangkit dari penyelamannya mencari batu dan kini ia berada di belakang si
bocah.
Andri
menjatuhkan batu yang ada dipundaknya ke tumpukan batunya, nafasnya agak engos-engos-an. Ia menatap batu yang
baru dijatuhkansambil menarik nafas kemudian mengarahkan tatapanya ke Zur. Tak
ada suara, Zur memfokuskan pandangannya ke si bocah yang berdiri di depan
tumpukan batunya, pandangannya seolah mengisyaratkan pada Andri untuk melihat
ke wajah si bocah guna menindak lanjuti usulannya tadi. Andri menangkap sinyal
isyarat yang diberikan Zur padanya. Ia menoleh sebentar ke wajah si bocah dan
segera mengalihkan pandang ke wajah Zur. Zur menunjukkan tumpukan batu si bocah
ke pada Andri, kali ini ia tidak hanya dengan insyarat padangan mata tapi lebih
dari itu ia menunjukkannya dengan bahasa tubuh : dengan mengangkat alis dan
acungan jari telunjuk. Andri mengikuti arah telunjuk itu kemudian mebandingakan
tumpukan batu itu dengan tumpukan batunya.
“Mau?”
Kata Andri menghentikan permainan isyarat itu.
“Ya”,
Jawab si bocah singkat.
Mereka menggabungkan dua tumpukan batu itu menjadi satu,
satu persatu batu milik Andri dilempar ke tumpukan batu si bocah, Zur dan Hanan
membantu mereka sehingga proses penggabungan itu selesai lebih cepat. Matahari
sudah bergeser ke arah barat, sinarnya tidak lagi terlalu menyengat namun masih
terasa hangat dikulit. Si bocah terlihat mengangkat batu yang sangat besar
untuk ukuran bocah seusianya. Tenaganya tak mencukupi untuk mengangkat batu itu
sampai ke pundaknya sehingga ia mengangkatnya hanya sampai perut. Ia
menggendong batu itu seolah-olah menggendong bayi. Ia terseok-seok menahan
beban, gendongannya itu beberapa kali dijatuhkan untuk kemudian diangkat lagi,
begitu berulang-ulang hingga gendongannya itu sampai di tumpukan batu kerjasamanya
dengan Andri.
“Taruh
yang kecil-kecil di dalam kemudian yang besar-besar di luar”,
saran Zur.
“Ya,
benar”, Andri mengamini
“Ayok”,
timpal si bocah.
Waktu yang paling ditunggu tiba jua, bapuq Mahiyam terlihat melangkah turun ke sungai setelah dijemput
dua orang buruh lainya. Inilah saatnya penentuan harga masing-masing tumpukan
batu yang sudah dikumpulkan sejak tadi pagi sampai sore ini.Bapuq Mahiyam dengan santai
memperhatikan tumpukan demi tumpukan batu itu sambil mengunyah pinang yang
membuat ludahnya berwarna merah menyala. Dalam transaksi ini Hanan dan Zur
didampingi ibunya.
“Berapa
harga batu saya ini Puq?”,Kata seorang buruh membuka
transaksi.
“Dua
Ribu”, jawab bapuq Mahiyam tegas menentukan harga.
“Banyak
ini Puk, batu pecahan lagi, empat ribu dah ya”, buruh
itu berusaha memaksimalkan harga.
“Tiga
ribu dah,kalau kamu setuju saya bayar kalau tidak silahkan kamu bawa pulang”,
tawaran mati bapuq Mahiyam.
“Baiklah
kalau begitu Puq”
Hampir semua tumpukan batu sudah ditetapkan harganya dan
semua tumpukan tersebut digabungkan menjadi satu. Pemiliknya kini satu orang
yaitu bapuq Mahiyam. Tinggal tumpukan
batu kerjasama Zur dan Hanan serta tumpukan batu kerja sama Andri dan Si bocah
yang belum ditentukan harganya. Besar tumpukan batu Zur dan adiknya memang cukup
jelas berbeda dengan tumpukan batu Andri dan Si bocah. Kira-kira tiga kali lebih banyak dari pada milik Andri
dan si bocah.
“Saya
bayar seribu ya”
“Mereka
berdua itu Puq”, kata ibu Hanan dan Zur.
“Oh,
seribu lima ratus ya”
“Saya
berapa Puq”, Si bocah menawarkan.
“Seratus rupiah ya, batumu sedikit”
“Dia
berdua itu Puq”, Zur membela.
“Kalau begitu dua ratus rupiah ya, nanti ambil uangnya ke atas”,
sambil menunjuk rumahnya.
Si bocah merasa sangat kecewa dengan harga itu, kalau
dibandingkan dengan batu Hanan dan Zur memang dia kalah banyak tapi
perbandingannya semestinya tidak sejauh itu. Kalau dibandingkan secara
obyektif, perbandingannya tiga banding satu jadi kalau harga batu mereka seribu
lima ratus rupiah seharusnya harga batu si bocah adalah lima ratus rupiah bukan
dua ratus rupiah. Ia tak punya kekuatan menolak, mau cerewet mempertahankan
harga, takutnya nanti malah tidak mau ditawar dan malah disuruh angkut batu itu
pulang. Ada kebencian muncul di hati si bocah, anehnya dia tidak hanya benci
pada si pembeli tapi juga pada teman-temannya yang bisa menjual batu mereka
dengan harga yang lebih mahal termasuk pada Hanan. Dia seumuran dengan Hanan
tapi Hanan bisa mendapatkan uang jauh lebih besar dari pada si bocah.
Kecemburuan itu menyebarkan virus benci di hatinya. Padahal Hanan adalah
adiknya Zur. Zur yang sebenarnya merupakan orang yang banyak membantunya. Dasar
anak-anak:egois, menuntut orang obyektif tapi dia sendiri tidak sadar dia tidak
bisa obyektif.
Pembagian
uang itu dilakukan di dekat Mushala tempat ia mendapat ide untuk nanding
kemarin. Karena memang di sebelah Mushala itu ada sebuah warung yang sering
dijadikan tempat penukaran uang menjadi pecahan yang lebih kecil oleh para
buruh setelah bertransaksi denagn pembeli.
Pembagian
sudah selesai, masing-masing orang sudah menerima uang sesuai dengan harga
penjualan batunya. Si bocah pun demikian namun ia masih menunggu Andri disana untuk
menyerahkan uang jatahnya dari kerja sama penjualan batu itu. Sambil menunggu
ia memakan kerupuk yang ia beli dari hasil jerih payah sejak pagi sampai sore
itu.
“Dapat uang berapa sayang”, ibu bertanya.
“Dia
dapet dua ratus berdua dengan Andri”, Zur yang menjawab.
“Kalau
Cuma segitu yang kamu dapet, tolong jangan kerja lagi biar besok ibu ngasih
kami uang dua ratus tiap hari..Ayo kita pulang sayang!”
“Tapi..”
“Apa?”
“Uangnya
Andri buk”
“Titip
saja disana, nanti dia yang kasih Andri”
Sambil menikmati kerupuk hasil keringatnyaSi bocah
digandeng pulang oleh ibunya. Dalam perjalanan menuju rumah itu, ibu bercerita
bahwa hari ini dia merasa kangen sama si bocah yang seharian tidak pernah
pulang minta uang jajan. Dan benar-benar
sangat tidak menyangka ternyata si bocah akan menuruti perintahnya untuk
bekerja kemarin siang itu, padahal itu hanya perintah asal-asalan yang hanya
merupakan ekspresi emosi sesaat.
****
“Kamu kerja dimana Tin?”
“Di Rama Fitnes”
“Berapa gajimu sebulan”
“Tiga Ratus Ribu”
“Saya juga pengen kerja Tin. Kalau
ada info lowongan kabari ya”
“Serius?”
“Ya, kerjaan apa saja pokoknya
kabari ya”
“OK”
Menjelang siang itu ia meninggalkan Kampus Putih yang
sudah terlihat abu. Cat-nya kusam tak terawat. Tak ingin datang ke kota hanya
membuang bensin karena sang dosen tak datang. Ia memutuskan ke Perpustakaan
Kota. Kebiasaan itu sudah berlangsung sejak ia masih di Madrasah Aliyah. Setiap
pintu gerbang Madrasah tertutup untuknya dan siswa lain yang terlambat. Ia
selalu memilih untuk tidak langsung kembali ke rumah tapi memanfaatkan waktu
untuk menambah ilmu di perpustakaan Propinsi maupun di perpustakaan Kota. Pada
awalnya, ia mengikuti teman—temannya yang terkenal sebagai bandit Madrasah
nongkrong di tempat tertentu sebagai pelarian karena tidak diijinkan belajar di
kelas gara-gara terlambat.
Ia tak mampu membohongi kata hatinya, itu bukan hal yang
nyaman baginya. Mungkin karena ia selalu terbayang akan keringat yang mengucur
dari seluruh badan ayah demi bisa membiayai pendidikannya. Ia ingin bisa
melepaskan diri dari keterlambatan namun itu bukan usaha mudah bagi penderita
penyakit terlambat akut seperti dia. Dalam kondisi buruk selalu ada pilihan
yang lebih baik. Dia yakin akan hal itu. Memilih perpustakaan sebagai pelarian
lah yang dianggap pilihan yang lebih baik baginya dalam keterlambatan akut yang
diderita.
Ia sedang membaca buku sexologi setelah sebelumnya
membaca beberapa buku psikologi. Buku psikologi itu seakan meninabobokannya
sehngga ia mengantuk jadi berpaling pada buku sexologi. Dan terbukti buku itu
memang ampuh. Remaja awal seperti dia selalu melek dengan buku seperti itu
tanpa ngantuk sedikit pun.
Handphone-nya
berdering.
“Lagi
dimana?”
“Di
Puskot. Ada apa Tin?”
“Ada
lowongan nih. Bisa segera kesini? Interview langsung dengan bosku”
“OK
saya segera kesana”
Tak menunda sedetikpun, ia langsung meletakkan buku yang
sedang dibacanya ke tempat semula. Ia bergegas turun untuk keluar. Ia memacu
motornya penuh harap. Hanya beberapa menit tiba lah ia di tempat yang dituju.
Disana ia disambut Atin, teman kuliahnya. Ia sempat merapikan kerah dan lipatan
tangan kemeja putih bergaris horizontal yang dikenakannya setelah selesai
memarkir motornya di tempat yang dirasa tidak mengganggu pengunjung.
“Mana bosmu Tin?”
“Tu di dalam, tunggu
bentar beliau masih ngobrol dengan tamu”
Saat ia sedang menyembunyikan rasa canggung dengan ngajak
Atin ngobrol, orang yang ditunggu menghampiri. Sepertinya bos itu orang yang
fun dan berjiwa muda kalau dilihat dari fhasion style-nya. Ia mengenakan celana
pendek abu berbahan katun sementara badan tambun dan buncitnya dibalut kemeja
putih. Kemeja lembut itu tidak dikancing penuh sehingga tatto di dadanya
menyeruak menampakkan diri. Lengan kemaja itu pun dilipat seperempat.
“Hallo.
Ini temanmu yang kamu maksud tadi itu, Tin?”,
“Ya
Pak”
“Selamat
siang Pak, saya Adi”
“Kita
ngobrol di atas aja yok!”
Adi mengikuti bos itu menaiki anak tangga menuju lantai
dua. Disana lah interview pertamanya di dunia kerja. Ia menerapkan semua teori
interview kerja yang pernah ia baca. Bos itu menjelaskan posisi pekerjaan apa
yang bisa ia lamar dan menjelaskan apa saja tugasnya, jam kerjanya seperti apa
dan lain-lain. Ia menyanggupi semua persyaratan yang diajukan perusahaan itu.
Bos itu mengusulkan segera memasukkan lamaran. Ia menunjukkan keantusiasan dan
kesungguhhannya sehingga walaupun besok pagi adalah hari minggu. Ia berjanji
akan memasukkan lamaran besok pagi. Dia bersyukur sekali bisa menjalani proses
interview dngan baik.
Ia turun tangga dan
matanya mencoba mencari-cari sosok Atin namun ia tidak menemukannnya. Ia ingin
segera mengucapkan terimakasih banyak atas info yang diberikan temannya itu.
“Kalau
parkir di tempat yang tidak mengganggu pengunjung dong!”
bentak tukang parkir.
“Maaf
mas”, ia merasa tukang parkir itu sengaja menyalahkannya
padahal ia sudah memarkir motornya di tempat yang sama sekali tidak menggangu
pengunjung. Ia jengkel di salahkan. Jiwa pemeberontaknya teransang namun ia
menyadari posisinya sebagai calon orang baru di tempat itu. Ia mengontrol diri
dengan baik dengan tetap meminta maaf meskipun ia merasa tidak salah sama
sekali. Bahkan ia berulang kali mengucapakan kata maaf itu sebelum meninggalkan
parkiran.
“Lain
kali parkir di tempat yang lain”, sok berkuasa.
“Ya
mas, maaf ya”
0 komentar: