HIKING KE AIR TERJUN PRABA
HIKING KE AIR TERJUN PRABA
(Minggu, 2 Febuari 2014)
Malam
Minggu kemarin aku begadang “berkeliaran” di dunia maya. Aku baru tidur sekitar
pukul empat dini hari. Meskipun
demikian, aku bangun pagi untuk care free
day-an dengan Hendri dan Neni di Udayana. Setelah kembali ke Studio, SMS Suhardi
masuk “Payunta baq Air Terjun Pengantin
nu ning Akir ni?”. Tanpa pikir panjang aku langsung membalasnya “Aoq lampaqko uleq waq ni. Antingko semendaq”.
Aku berhenti di
warung inaq rari Par, Aswadi langsung
menghampiri dan berkata “Dendeq deq gati tenaq kami baq Benang
Kelambu aoq. Jerihko baq to, lelehko lampaq”.
“Misalta baq Praba noq?”, responku.
“Baraq Gangga bae lainta te sekali-kali te!”,
usulnya.
Aku perkirakan
usulan itu didasari karena dia punya gebetan di sana. Tetapi dia beralibi
karena di sana dia punya keluarga. Aku bilang ke dia, kalau kita ke sana
sedikit yang bisa ikut karena tidak semua teman punya motor dan punya uang
untuk membeli bensin.
“Embe yaq ta lai payu ni?” tanya Akir.
“Praba sih rencana e laguq penutuq-penutuq e
uli bara Peroyek lainta”, jawabku dengan dugaan.
Aku pamit pulang
dulu ke Aswadi, Akir dan teman-teman yang lain. Di rumah, Ibu menyuruhku sarapan namun aku menolak
karena sudah makan Soto di Udayana. Ibu memberi tahuku, bahwa bebarapa hari
lalu paman Tarmizi mencariku, sepertinya dia ada perlu denganku. Aku pun
langsung menemuinya. Beberapa lama di sana, SMS Suhardi masuk,
“Gesiit”
“Aoq”, balasku singkat.
Rupanya
teman-teman sudah banyak yang menunggu di berugaq
tuaq Sakirin. Pembahasan kemana tujuan ngelamang
hari ini masih berlangsung.
“Saq rapet-rapet waq lain ta te, lemaq baq
jaoq-jaoq, Peroyek waq ta lai aoq!”, usul Sarpin.
“Wa..! Praba nu bae lainta te”, bantah
Akir.
“Aoq ya waq te”, Suhardi mendukung usulan
Akir.
“Jam pira yaq dateng tukang deq Pin”,
tanyaku ke Sarpin.
“Saweq galeng. Peroyek waq lainta aoq antehko
mauq milu”, usulnya untuk kesekian kali.
“Aoq teh Peroyek waq yaq ta lai te”,
jawabku mengiyakan.
Sejak
awal aku sangat setuju dengan usulan Sarpin. Ya tentu saja sangat setuju karena
usulannya itu memberikan banyak keuntungan bagi aku secara pribadi. Pertama,
aku tidak yakin punya kekuatan untuk melakukan perjalanan jauh yang mebutuhkan
banyak tenaga karena kemarin aku begadang hingga jam empat dini hari. Kedua,
dompet sedang tipis, dengan pergi ke Peroyek yang tidak membutuhkan dana
tentunya tidak akan mengakibatkan dompetku semakin menipis.
Dengan alasan
bijak agar banyak yang bisa ikutlah yang aku jadikan alasan utama menerima
usulan Sarpin. Akan tetapi, keputusan itu mendapat penolakan keras dari Akir,
Suhardi, dan Aswadi.
“Wa..! Peroyek-peroyek diriq, pendaqta”,
kata Aswadi menunjukkan ketidaksetujuannya.
Akir dan
Suhardi sangat ingin ke Praba karena
meraka belum pernah ke sana. Dengan demikian meraka sangat mendukung penolakan
Aswadi. Sementara itu, Muji dan teman-teman yang lain lebih bersifat netral.
Kemanapun tujuan ngelamang hari ini,
mereka akan ikut. Melihat kondisi seperti itu, kami memutuskan tujuan ngelamang hari ini adalah Air Terjun
Praba. Setelah fixed, kami
mengumpulkan uang sama-sama dua ribu rupiah untuk membeli kerupuk, jaja bawang, dan permen. (Kere
banget kan kami, ha.ha)
Aku
pulang ambil sepeda motor sekaligus pamitan ke Ibu. Dalam perjalan kali ini
lima sepeda motor yang tersedia. Sementara itu, hanya delapan orang yang
positif ikut. Dengan demikian, ada dua sepeda motor tanpa boncengan. Aku
menginstruksikan para joki untuk menentukan siapa yang akan dibonceng. Maka
diketahuilah sepeda motorku dan satu sepeda motor lagi yang masih kosong. Kami mengajak
Agis dan Warid untuk ikut, mereka pun mengiyakan.
Sepuluh Teruna
Ketapang berangkat. Melihat rombongan sepeda motor kami, seluruh mata tertuju
pada kami. Kami merasa sangat gagah diperhatiakan seperti itu. Kami
seolah-seolah seperti artis. “Ya ini lah mereka..! Sepuluh artis bais. Yang terdiri cowok-cowok cakep”,
kata perempatan Akil.
“Sida baq embe kakak Adi”,
tanya Agil teriak
“Baq Aeq Terjun Praba”, jawabku.
Sekitar seratus
meter sekanjutnya, ada teriakan lagi.
“Sita baq embe”,
tanya Doni.
“Praba”, jawab para
teruna kere.
Kami mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan empat puluh meter per jam. Kami menikmati
perjalanan kami. Di tanjakan Batu Mekar si Revo mengeluh karena tersiksa berat
badan si gendut Agis.
“Ya Ongloh, mene laloq berat gentong ni”,
kata si Revo mengejek Agis.
Singkat cerita
kami pun tiba di dusun Punikan. Kami bingung mau titip motor dimana. Mau titi
motor di rumah mertua Munar kamai malau karena letak rumanya terlalu dalam dan
harus melewati gang kecil. Mau titip di rumah di rumah Handa, Muji malu karena
dia ditinggal nikah oleh Handa. Mau titip di rumah teman Musrain, Akir lupa
rumah orang itu.
“Mula ko tenag sita sodoq montor leq balen
Lufi baruq, laguq adeq e mau ning e”, kata Aswadi sok akrab dengan bunga
desa yang juga penari Joged itu.
“Anti seninganko nu uleq atong mentoanqko
juluq, terus iya taoq ta oloq montor uli”, kata Suhardi lebih sok lagi
sambil menujuk gadis cantik yang melintas dengan sepeda motor.
Tak lama
kemudian, seorang ibu paruh baya menghampiri. Ibu itu bertanya mengenai tujuan
kami. Beberapa diantara kami menjawab pertanyaan ibu tersbut yang kemudian kami
manfaatkan sebagai pembukaan obrolan untuk menitip motor kami di sana. Gayung
pun bersambut. Kami dipersilakan dengan sangat antusias.
“Beng inaq nu siq beli kupi, anteh e
gitaqangta montor nu!”, usulku.
Warid
mengeluarkan uang dua ribu rupiah. Sementara itu, yang lain saling tatap.
Apakah itu pertanda saling mengandalkan atau memang bingung karena mereka tidak
punya uang. Melihat kondisi itu Aswadi mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah.
Aku menyarankan agar pakai lima ribuan saja. Akhirnya Warid mengeluarkan uang
yang dibutuhkan tersebut. Kemudian unag Aswadi tdai dipegang olehnya.
“Inaq ni siq de beli kupi”,
kataku sambil menyodorkan uang tersebut.
“Jauq wah. Endaq nyerang mentie-mentie”.
Jawabnya sambil menolak uang itu.
Aku tetap
menyodorkan uang itu setengah memaksa. Akhirnya uang itu pun diterima.
****
Kami
mulai perjalanan dengan jalan kaki. Matahari cukup terik siang itu. Sengatan
matahari tidak terlalu kami hiraukan. Lagi-lagi kami menjadi pusat perhatian.
Semua mata tertuju pada kami. Eits..!
jangan bangga dulu. Warga setempat tidak memperhatikan karena kami ganteng.
Tapi karena dalam rombongan kami ada mahluk luar angkasa bernama Suhardi dan
Aswadi. Dua mahluk itu memang selalu menjadi pusat perhatian. Udah kulitnya
item, badan mereka pendek, hidup lagi. Parahnya, mereka punya tingkat
kepercayaan diri yang sangat tinggi. Wah
kayaknya aku perlu suruh kakekku buatin mereka cermin ukuran besar nih biar mereka bisa melihat tampang
aneh mereka. Dan mari kita berdoa Polong,
semoga mereka segara sadar. Amiiiinn..!
Ok cukup kita menghina dua ekor orang itu.. Upsss! salah maksud aku dua orang ganteng itu. Maaf teman-teman, biarkan aku menanggung dosa atas fitnah yang ku lakukan tadi, ya bilang mereka ganteng memang merupakan fitnah yang nyata. Tapi enggak apa- apa lah aku menanggung sedikit dosa, toh kita udah banyak menghina mereka dari tadi.
Ok
lanjut...! Beberapa ratus meter berjalan kaki, tibalah kami di jembatan yang
menghubungkan dusun Praba dengan Punikan. Dan di sana lah kami mendapat info
dari si ganteng Suhardi bahwa Doni menyusul kami. Sambil menunggu Doni kami photo-photo di jembatan itu. Men, kamu inget film Si Manis Jembatan Ancol? Ya itu lho yang
menceritakan jembatan angker dan ada tuyul yang diperankan oleh Ozy Syahputra. Nah jembatan yang dihuni oleh tuyul cakep Ozy aja tetap serem. Banyangin kalau jembatan yang dihuni tuyul
item seperti Suhardi. Gimana seremnya coba. Angker banget deh pokonya.
Berdasrakan info
yang kami dapet dari Suhardi, Doni menyusul bersama Sahri. Mereka sudah nyampe
desa Endut. Itu artinya mereka akan segera tiba. Namun hampir setengah jam
menunggu mereka belum juga tiba.
“Sang po baruq e lampaq leq bale’, kata
Muji mencurigai Doni berbohong.
Di tengah
kebosanan menunggu, Akir bertanya padaku mengenai jarak air terjun itu dari
posisi kami sekarang.
“Araq e leq bale baq proyek kebon jaoq e ah?”
“Araq e, jaoq-an sekediq”,
jawabku sedikit berbohong.
Setelah cukup
lama menunggu, akhirnya Doni dan Sahri tiba juga. Kami menyuruh si Belo Pajri
mengantarnya menitip motor. Kami harus menunggu mereka kemabali beberapa menit
lagi baru kemudian melanjutkan perjalanan. Jam menunjukkan jam dua belas siang.
Matahari terasa semakin menyengat. Kami tetap bersemangat melangkahkan
kaki-kaki rukek kami. Banyak
perubahan yang terjadi di dusun Praba sehingga kami tidak mengenal jalur menuju
air terjun. Salah satunya, perbaikan jalan yang cukup signifikan.
“Hasil TGB pasti ni embeq”, kata Muji sok
tahu.
Aku enggak komentar,
tapi yang jelas jalan-jalan yang diurus oleh gubernur seperti TGB adalah jalan-jalan Provinsi.
Jalan desa seperti yang dimaksud Muji tadi itu merupakan tanggungan Bupati,
bukan urusan guernur. (Sudahlah kita lupakan ketololan Muji. Kita lanjutkan
kisah kita). Perjalanan kami tetap berlanjut. Kami harus bertanya setiap kali
menemukan persimpangan. Kami benar-benar lupa jalan menuju air terjun. Di
tengah perjalanan, Si Belo Pajri
menyantap sarapan yang dibeli di Punikan sewaktu mengantar Doni menitip motor.
Akir
si jago gitar mulai memainkan gitarnya. Kami bak paduan suara menyanyi bersama.
Berbagai macam lagu kami nyanyikan. Wah
seru banget. Keceriaan mulai terasa dalam perjalan kami. Jalanan yang mendaki
pun tidak terlalu terasa karena keceriaan bersama itu. Semua orang yang
melintas memperhatikan kami. Ya kami memang pusat perhatian dalam perjalanan
menuju air terjun ini. Kami lah bintang film-nya hari ini. Tapi tahu enggak
kenapa orang memperhatikan kami? Enggak tahu ya? Kalau takjub karena pinternya
akir memetik senar-senar gitar mungkin ya. Tapi yang jelas mereka tidak
memperhatikan kami karena suara menyayi yang bagus. Suara kami nyanyi sama
sekali tidak bagus. Melainkan jelek sembilan puluh sembilan persen. Bagusnya
cuma satu persen. Itu pun jika didengar oleh orang tuli.
Beberapa meter
berjalan kami menemukan persimpangan lagi. Kali ini kami bertanya pada seorang
lelaki yang sedang mengangkut tuak dengan
sepeda motor.
“Permisi, Tuaq. Maap tebeketuan sekediq, embe langan
tipaq air terjun nu?”
“Oh ni wah lurus, terus bareh belok kiri”
“Tampiasih tuaq, enggeh”,
kataku
Beberapa
ratus meter berjalan, kami menjupai sebuah warung di dekat jembatan Praba. Di
sana kami bertanya lagi arah menuju air terjun. Di jembatan itu kami
photo-photo lagi. Kami memang termasuk manusia narsis. Seandainya kamera HP itu
punya mulut. Dia pasti sudah protes dengan mengatakan “Eh manusia-manusia tak tahu diri..! Kalian ini ngotorin memori saya
saja!”. Atau mungkin dia udah muntah karena jijik melihat kami bergaya
seperti top model, padahal majalah
alam gaib pun tidak sudi menerima kami sebagai modelnya.
Tidak hanya
jembatan yang menjadi korban kami, tapal batas Dusun Praba pun kami kotori
dengan perpose di sana. Kami bergaya seolah kami para pelancong yang baru
pertama kali melihat hutan. Padahal sehari-hari kami hidup bagaikan orang utan.
Bahkan saking deketnya sama orang utan, kami punya best friend bernama Bentar
(Nama monyet peliharaan tuaq
Sakirin). Setelah puas mengotori memori HP Warid dan yang lainnya kami
melanjutkan perjalanan. Kami mulai memasuki jalan setapak yang berbentuk
lorong. Jalan setapak itulah yang menjadi saksi letoy-nya Warid, Agis, dan Basri. Sebentar-sebentar mereka minta
istirahat.
Polong, salahnya,
beberapa di antara kami ada yang belum sarapan. Sementara itu, hari sudah
siang. Perut sudah keroncongan. Aku sih kasihan sama Agis, dia biasa makan
banyak dan tidak bisa telat makan. Sementara itu, hari ini dia tidak bisa makan
seharian karena kami lupa membawa nasi sebagai bekal. (Aneh mate e Agis kane jeq).
Tidak hanya Agis
yang kelaparan, melainkan kami semua kelaparan. Lalu bagaimana cara menyambung
hidup di tengah hutan Praba ini. Ya ide-ide nakal pun bermunculan. Setiap
buah-buahan yang kami temui kami sikat. Buah pertama yang kami colong adalah pepaya. Aku menjadi dalang
pencurian itu.
“Onyaq-onyaq
gitaq e ita siq epe e laun”, nasehat Basri khawatir.
“Tenang! lamun e gitaq ta siq epe e, ta lakoqin e.
Lamun e adeq beng, ta bayahin e”, kataku sok
tajir.
Tak sampai tiga
menit pepaya itu ludes dilahap manusia-manusia kelaparan. Ha.ha ternyata kita
memang rakus kawan. Hampir satu jam berjalan di dalam hutan itu, wajah-wajah
letih pun mulai terlihat. Wajah-wajah tak ganteng itu terlihat semakin jelek
karena kelaparan dan kelelahan. Rozi selalu berjalan di depan. Rozi dan
beberapa teman yang berjalan di depan bisa mencuri-curi istirahat. Sementara
itu, Warid, Agis, dan Basri yang selalu berjalan paling belakang merasa tidak
pernah bisa istirahat. Hal itu terjadi karena begitu dia tiba, teman-teman yang
lain berangkat lagi. Begitu lah penderitaan orang yang berada paling belakang.
Melihat semua anggota sudah kehabisan energi, kami memutuskan istirahat
bersama. Di sana lah kami menyantap kerupuk yang udah kami bawa dari rumah.
Beberapa menit istirahat, kami melanjutkan perjalanan lagi.
“Nengkane lamun e paq ragiin merek gerupuk ni kek
maiq e masih’, kata Aswadi mengungkapkan rasa
laparnya yang sangat.
****
Kami
melintas di kebun rambutan, mata kami melotot ingin lompat melihat buah rambutan
tersebut. Perut yang keroncongan membuat otak kami kreatif memikirkan cara-cara
licik untuk mencurinya. Namun keadaan tidak memungkinkan untuk melancarkan
aksi. Di dekat pohon rambutan itu terdapat warung. Itu lah warung satu-satunya
dalam hutan itu. Pedagangnya berasal dari Punikan. Di sana kami membeli es
untuk menyegarkan tenggorokan. Kami hanya membeli enam plastik es. Satu plastik
es kami minum berdua. Dan dengan tidak tahu malu kami meminta air minum di
pedagang itu. Kalau memintanya satu botol kecil mungkin masih wajar. Tapi kami
malah meminta air berkali-kali. Tahu enggak? pedang itu harus mengambil air ke
tempat yang sangat jauh. Di depan kami, dua orang pedagang itu tidak
menunjukkan keberatannya memberikan kami air. Tapi mungkin dalam hatin mereka
bilang “Sialan anak-anak enggak tahu malu
ini, ini sih bukan minta namanya, tapi ngerampok!. Mereka enggak tahu apa, saya
ngambil airnya jauh”.
Dari
pedagang itu kami dapet info bahwa tadi pagi ada rombongan pelajar yang menuju
air terjun. Dan kabar buruk bagi Akir, Warid, Agis, Basri, Pajri, Doni, Sahri,
Aswad, Rozi, dan Suhardi adalah jaraknya masih jauh. Kenapa aku bilang kabar
buruk bagi meraka, karena mereka belum pernah ke sana sebelumnya. Hanya aku dan
Muji yang pernah ke sana. Itu pun empat tahun yang lalu. Kami melanjutkan
perjalanan. Cukup jauh kami meninggalkan warung itu. Entah berapa kali Warid
minta istirahat. “Break!”, katanya.
Itu kata yang paling sering diteriakannya dalam perjalanan itu. Sementara itu,
Basri punya cara yang lebih kreatif. Dia memintaku mengajak teman-teman yang
lain istirahat. Alasannya yaitu Warid dan Agis tertinggal jauh di belakang.
Emang bener sih Warid dan Agis tertinggal di belakang. Namun ku melihat
kelicikkan di wajah Basri. Dia tidak benar-benar ingin menunggu Agis dan Warid.
Melainkan dia sudah kehabisan energi. Dia ingin melihat semuanya istirahat biar
dia tidak ikut tertinggal seperti Agis dan Warid. Wah kayaknya Basri ini punya bakat jadi caleg. Dia pintar menjual nama orang lain demi kepentingan
pribadinya. Coy besok jadi caleg ya.
Tuh PPP (Partai Pedagang Partner)
masih kekurangan caleg.
****
“Puntiq
masak nu eq”, Akir menunjukkan makanan yang dilihatnya.
“Aoq eh, gerik e!”, kataku
Singkat cerita,
tak butuh tiga menit pisang itu ludes. Kami berebutan, ada yang dapet satu, ada
yang dapet dua, ada yang dapet tiga, dan ada juga yang tidak dapet sama sekali.
Lucunya, Akir yang berusaha menjatuhkan pisang itu yang tidak kebagian. Ha.ha laper
memang bikin orang egois, bikin lupa sama temen.
Entah berapa
banyak kakao yang kami petik namun tak satu pun yang bisa dimakan. Semunya
rusak karena terkena hujan. Suatu ketika aku menyuruh Pajri yang jenjang memetikkanku
satu kakao. Sedikit sekali isinya yang bisa dimakan. Kelaparan membuat kami
menjadi rakus. Aku menggigit kakao yang dipetikkin oleh si Belo Pajri. Sial
kakao itu bikin nyeri gigiku. Dengan kesal aku meleparkan kakao itu sekuat
tenaga ke sebuah pohon. Dan sialnya kakao yang ku lempar itu mantul dengan
keras ke betis Pajri. Pajri tidak berani menunjukkan marahnya padaku. Tapi ku
yakin sebenarnya dia marah besar. Aku pun merasa bersalah dengan kecelakaan
itu. Aku minta maaf padanya. Enggak tahu apakah dia tulus memaafkan atau tidak.
Di dalam hutan itu, ada banyak pisang muda yang ditinggalkan, pisang-pisang
muda itu pun kami singkat untuk mengganjal perut. Wah ini bener-bener praktik
survival di dalam hutan. Apa pun yang bisa digunakan untuk mengganjal perut
pasti dimakan. Urusan enak enggak enak sudah tak diurus. Yang penting bisa
dimakan dan enggak membahayakan pasti dimakan.
****
Sudah
dua jam kami berjalan, tapi belum ada suara air terjun yang kami tuju itu.
Letih semakin menjadi jadi. Wajah-wajah lesu bertebaran di dalm hutan. Dan
pastinya itu adalah wajah kami, dua belas anak lelaki dari Ketapang. Rozi dan
Suhardi berada di depan. Sementara itu, Warid, Agis, dan Basri tertinggal jauh
di belakang. Di tengah-tengah ada Aku. Aswadi, Pajri, Doni, Akir, dan yang
lain.
“Mene jaoq e ampoq sita lalo penembeq laeq nu ah?”,
pertanyaan bodoh yang digunakan oleh Akir untuk becanda.
“Sang po pindeh e air terjun nu”,
kata Aswadi dengan candaan juga.
Kaki kami memang
lelah melangkah. Perut kami memang keroncongan karena kelaparan. Namun, kami
tidak pernah lelah bercanda. Dan bercandaan itu menghapus segala lelah. Selalu
ada hal yang kami jadikan bahan candaan. Ini adalah petualangan yang melelahkan
namun sangat menyenangkan. Ini tak kan terlupakan, kawan. Ini akan selalu
terkenang.
Enggak usah
terharu gitu bacanya! Entar nangis aja sekalian kalau ada di antara kita yang
meninggal. Siapa yang mau meninggal duluan silakan. Aku nantian aja deh
belakangan, masih banyak dosa nih.
****
“Apikan polong. Angin beleq mene biasa e ulah bawaq
taoq e”, intruksiku dengan teriak
“Nu okat aeq terjun nu, nu”, kata Rozi.
Setelah sekian
lama berjalan air terjun yang dimaksud tidak juga terlihat. Dan ternyata yang
dikira suara air terjun itu adalah suara hebusan angin kencang yang melewati
lembah dan ngarai. Perkiraan yang tidak
sesuai harapan tidak mengurangi semangat
Rozi. Dia tetap berjalan paling depan bersama Suhardi. Suhardi punya ambisi
tiba paling awal di air terjun itu. Mungkin begitu juga dengan Rozi, namun dia tidak
menyatakannya dengan kata-kata sebagaimana yang dilakukan Suhardi.
Sekian lama kami
jalan, terdengar lagi suara yang menyerupai suara air terjun, namun lagi-lagi
itu cuma suara angin. Itu membuat Rozi, Suhardi, Pajri, dan Doni mengira air
terjun itu masih jauh. Mereka tidak berani berharap air terjun itusudah dekat.
Tak lama setelah itu kami mendengar riuh suara manusia. Kami sontak
teriak-teriak memberikan tanda keberadaan kami di dalam hutan itu pada mereka.
Teriakan kami disambut dengan teriakan pula. Kami semakin bersemangat.
Adrenalin kami terpacu. Kami teriak semakin kencang. Begitu juga teriakan
mereka semakin kencang. Dan akhirnya, kami menemukan sumber suara manusia
itu. Terlihat banyak orang sedang istirahat
di sebuah berugaq. Dan lebih banyak
lagi yang sedang turun menuju berugaq
itu dari bebukitan. Di celana training-nya bertuliskan SMA 1 Labuapi dan SMK 8
Mataram. Di sana aku konfirmasi ke teman-teman yang berada di belakang apakah
akan istirahat atau langsung melanjutkan perjalanan. Rozi dan yang lain bilang
lanjut. Aku hanya mendengar suara yang setuju perjalanan dilanjutkan. Sementara
yang tidak setuju tidak ada suara. Makanya aku memutuskan melanjutkan
perjalanan itu tanpa break di berugaq yang tersedia.
Setelah mendaki
tanjakan yang sangat menguras sisa tenaga dan berantri trekk dengan anak-anak
PRAMUKA SMA I Labuapi dan SMK 8 Mataram, tiba lah kami di penurunan menuju air
terjun. Rozi tidak sabar segera turun. Namun aku menyuruhnya untuk bersabar
karena ada beberapa anggota rombongan yang tertinggal di bawah.
“Astaga lentaq leq naen sida tia!!!”,
teriak Pajri histeris.
“Embe?” tanyaku.
“Tia noq, leq bawaq betis kirin sida te!!”,
katanya sambil ketakutan.
“Aoq eh”, kataku dengan
santai.
Aku coba mencabutnya,
namun tidak bisa. Lintah hutan itu melekat erat di kakiku. Ya ku biarin saja,
toh entar kalau dia sudah kenyang menghisap darahku dia melepaskan diri
sendiri. Lagian gigitannya juga enggak sakit. Bahkan tidak ada rasanya sama
sekali. Aku santai saja dengan gigitan lintah di kakiku. Malah Pajri dan Doni
yang ketakutan melihatnya. Pajri lari sana, lari sini. Teriak sana-teriak sini
karena sangat ketakutan melihat lintah itu. Melihat ekpresi ketakutan Pajri
seperti itu, Aswadi dan teman-teman yang lain menakut-nakuti Pajri dengan
sangat jahil. Sebenrnya, Doni tak kalah takut, namun dia pintar menyembunyikan
ketakutannya. Dengan begitu dia tidak memancing keusilan Aswadi dan yang lain
menjahilinya.
“Aruan te ta entun baq aeq terjun nu”,
usul Rozi enggak sabaran.
“Ulian juluq, Ji, anti kanak-kanak nu mendaq. Kepusa
e laun”, kataku.
Aku pun langsung
menyuruh Suhardi memanggil Warid, Agis, Basri, dan yang lain.
Kami duduk
menunggu mereka. Kami saling mengingatkan untuk hati-hati karena di tempat kami
duduk itu banyak lintah. Tak lama kami duduk menunggu, Pajri teriak ketakutan
lagi.
“Astaga amapoq e araq lentaq leq naen sida tia”,
teriaknya sambil menunjuk lintah yang melekat di punggung kaki kiriku.
“Aoq eh”, kata Doni
merinding melihat lintah itu.
Ku cambut lintah
itu dan melemparnya ke Pajri, dia melompat ketakutan sambil teriak mengumpat.
Kami tertawa terbahak-bahak melihat Pajri ketakutan.
****
“We..! cepetan anak-anak itu udah mulai mandi!”, Kata
Suhardi membohongi rombongan yang kehabisan tenaga di bawah.
Kebohongan itu
membuat Warid, Agis, dan Basri bersemangat mendaki tanjakan terakhir itu.
Mereka memaksakan diri naik walaupun sebenarnya sudah tak mampu lagi. Setelah
bersusah payah, akhirnya mereka bisa. Mereka tiba di tempat kami menunggu.
“Potoangko onos kekeqan lentaq ni, Warid”,
pintaku.
“Tauq yaq e mate suruq deq moto’, kata
Aswadi meledek Warid.
“Aruan te!”,
kata Rozi.
Selanjutnya
kami turun menuju air terjun. Medannya cukup curam. Kami saling mengingatkan
untuk tetap barhati-hati. Aku melihat-lihat kondisi teman-teman. Aku
berkesimpulan Agis dan Sahri membutuhkan perhatian khusus dalam trek menurun ini. Bagaiamana tidak,
badan mereka besar kayak gentong dan pasti berat kayak stum. Salah-salah mereka jatuh menimpa aku, Doni, dan Muji yang krempeng.
Wah kami bisa jadi triplek nih. Wah kacau!,
aku melihat Sahri yang membawa gitar. Dia yang ku perkirakan butuh
perhatian khusus malah membawa beban. Dengan sopan aku menawarkan diri
menggantikannya membawa gitar tersebut. Takutnya nanti dia enggak bisa mengontrol
diri dengan maksimal dalam turunan curam ini. Kan repot kalau dia jatuh,
bisa-bisa gitar itu remuk berkeping-keping digilas badannya yang gede. Kalau cuman
gitar yang remuk sih enggak terlalu masalah bagi kami. Tapi masalah besar bagi
Akir yang punya gitar. Ha.ha.ha Serius nih, takutnya enggak cuma gitar yang
hancur tapi juga badan kami yang hancur gara-gara tergilas badannya yang
menggelinding. Singkat cerita kami tiba di air tejun dengan selamat. Kami
takjub dengan keindahan yang tersembunyai di hutan Praba itu. Memesona! Indah
luar biasa! Amazing! Pokoknya
kereeeen banget. Letih berjalan selama tiga jam terbayar lunas karena
pesonanya. Kami berphoto gila-gila-an di sana, mandi hingga puas, dan menyantap
sisa snack yang kami bawa dari rumah.
Wah puas gila dah pokoknya!
.
(Punia
Karang Kateng, 13 Febuari 2014 | 00:23
0 komentar: