TAK TERDUGA, IT’S A GREAT EXPERIENCE!
Selebar Catatan Perjalanan ke Mangku Sakti-Sembalun
(Nuriadi-Catatan Harian-Selasa,
11-11-2014 |13:54 WITA)
Pusuk Sembalun (Dok. Soni) |
Minggu, 9 November 2014 aku dan
teman-teman radio go to Sembalun. Tiga minggu sebelumnya embak Ika memintaku buat
ikut karena mereka kekurangan joki.
Jalan menuju Sembalun memang tanjakannya sangat terjal, so mereka sangat butuh
temen laki-laki sebagi joki.
Aku agak dilema menanggapi ajakan
itu. Pasalnya di satu sisi Sembalun
merupakan salah satu tempat favoritku. Aku suka banget sama kesejukan dan
pemandangannya bukit-bukitnya yang hijau. Namun di sisi lain, belakangan ini
aku lagi getol banget trekking ke Air Terjun. Hampir setiap hari minggu aku
manfaatkan untuk explore air terjun. Hampir
semua temen and kenalanku sudah ku minta
buat ajak aku jika mereka ada agenda buat explore air terjun. Nah yang aku
takutin di hari yang sama ada ajakan dari salah satu temen buat explore air terjun terus gara-gara ke
Sembalun aku enggak bisa ikut. Wah bakal ngerasa rugi banget.
H-1 sebelum hari H. Aku dan Rozi
berencana membawa temen-temen ke air terjun Mangku Sakti yang ada di Sembalun.
Tapi kau sangat ragu mereka mau kesana coz setahuku treknya panjang dan
terjal. Berdasarkan info yang aku dapet
kita harus jalan kaki selama dua jam baru bisa sampai di Mangku Sakti.
Sementara mereka hanya biasa travelling ke tempat-tempat yang mudah untuk
dijangkau dan tanpa menghabiskan tenaga yang banyak .
Ketidaksemangatanku untuk ikut
semakin parah. Ya selain udah sering ke Sembalun, di hari yang sama Kesebelasan
Sepak Bola kampungku juga akan berlaga di perempat final. Tapi ngebatalin janji
dengan alasan apapun terlalu menjijikan bagiku. Apa lagi Rere udah terlalu
berharap padaku sebagai jokinya. Aku cuma bisa berdoa semoga hujan lebat pagi itu agar trip ke
Sembalun ditunda ke lain hari. Namun kenyataan berkata lain, langit begitu
cerah tak mendengar doaku.
Walaupun embak Ika memintaku
untuk kumpul di studio jam setengah tujuh pagi, hingga jam tujuh aku malah
belum mandi. Aku ogah-ogahan pagi itu. Masih terus berharap ada info pembatalan
dari temen-temen.
Aku kencengin musik dan mulai
mandi. Seperti biasa aku enggak pernah bisa cepet di kamar mandi. Entah berapa
banyak lagu yang aku nyanyikan dulu baru mulai mengguyur badanku dengan air. Ya
konser tunggal selalu aku lakukan setiap masuk ke kamar mandi.
Begitu selesai mandi aku lihat
ada tiga belas misscalled di HP. Tak lama kemudian, panggilan ke empat belas
masuk
“Ya hallo”
“Lagi dimana”, suara Rere lirih.
“Ya bentar lagi, semuanya udah
ngumpul?
“Ya tinggal kamu aja yang
ditungguin nih”
“Ok aku berangkat”
Beberapa menit kemudian masuk SMS
dari Rere yang menyuruhku jangan ngebut. Sepertinya dia punya firasat buruk
sama sepertiku. Sekitar 300 meter meninggalkan rumah aku baru ingat aku lupa
bawa jas hujan. Aku kembali ke rumah mengambilnya dan pamitan ulang ke ibu
dengan mencium tangan beliau lagi. Tapi perasaanku masih aja was-was.
Sebenarnya rasa bersalah karena
menjadi orang yang ditunggu bergelayut di benakku. Akan tetapi pengaruh firasat
buruk lebih kuat hingga aku begitu pelan mengendarai motorku menuju studio.
Setiba di Studio Ijong langsung
bilang “Akhirnya yang ditungu-tunggu dateng juga”. Satu jam menungguku membuat
mereka kesal namun mereka cukup pintar menyembunyikan kekesalan mereka.
“Kamu pasti baru bangun ya”, kata
embak Moy.
“Enggak embak, cuma enggak bisa
bentar di kamar mandi”
“Na ngapain lama-lama di kamar
mandi”, sambar Yuni.
Ketidakkompakaan sudah mulai
terlihat beberapa ratus meter meninggalkan studio. Ijong belok kanan di
perempatan Granada yang kemudian diukuti oleh Soni. Padahal sebelumnya udah
sepakat akan isi bensin dulu di SPBU Karang Jangkong. Namun pada akhirnya Soni
yang membonceng Moy kembali mengikuti kami. Di SPBU tersebut kami nambah angin
ban motor kami masing-masing.
Sepanjang perjalan aku begitu
hati-hati, begitu pelan hingga aku berada di posisi paling belakang.
Tepat di Gerimak Narmada Rere
menegurku “Dev kita paling belakang Lo”
Aku cuma meresponnya dengan
begitu santai. Dan tetap pelan karena aku masih waswas karena firasat buruk.
Kepercayaan diriku berkendara kembali setelah masuk di wilayah Lombok Tengah.
Aku mulai berani memacu si Matic milik Lis dengan kecepatan tinggi. Dan kami
pun tak lagi menjadi yang terbelakang.
“Dev yakin bensinnya cukup hingga
pulang?”
“Cukup kok. Tapi kalau Rere
khawatir ayo dah kita isi dulu”
Di sebuah warung pengecer bensin
diwilayah Suela Rere meminta pedagang itu menuakan tiga botol bensin yang
masing-masing berisi satu liter namun
begitu botol kedua udah fulltang.
Perjalanan dilanjutkan, kami tertinggal lumayan jauh hingga harus
berusaha keras mengejar rombongan yang lain.
Begitu memasuki wilayah Lemor,
kesejukan mulai menyambut kedatangan kami. Huh..! suasana yang sangat aku
sukai. Suasan sejuk yang mendamaikan jiwa ini lah yang membuatku enggak
bosan-bosan dateng ke Sembalun.
Setelah masuk hutan di kaki Pusuk
Sembalun baru kami menemukan rombongan yang lain. Motor pertama yang kami
dahului adalah motor yang dikendarai Rozi. Tanjakan-tanjakan terjal pun mulai
kami lewati.
Kami sempat berhenti berhenti
cukup lama buat photo-an di sebuah tempat pemberhentian di dalam hutan
tersebut. Naluri ber-eksis ria kami memang tidak bisa ditahan. Hampir semua
eangle di tempat itu dijamah untuk ber-phhoto dengan berbagai pose.
“Next spot yok! Masih banyak spot
keren yang lain. Kan kita juga mau ke Mangku Sakti”, kataku berusaha mengakhiri
aksi jepret sana jepret sini yang enggak akan berhenti kalau enggak digitukan
itu.
Singkat cerita, setelah memaksa
motor kami berusaha keras menaklukkan tanjakan demi tanjakan tiba lah kami di
Pusuk Sembalun. Coba tebak apa hal pertama yang akan kami lakukan di tempat
ini?
Ya benar sekali, taking picturess so much! Semua camera keluar,
tongsis juga mulai dimanfaatkan, ada yang selfi, ada yang groupy, pose ini lah,
pose itu lah, engle ini lah, engle itu lah semua dicoba.
Jam sudah menunjukkan 12 siang,
Ijong terlihat sedang ngobrolin Mangku Sakti via telepon dengan temennya.
“Dev ada temenku yang siep
nganterin ke Mangku Sakti”
“Sip”, kataku girang.
“Ayo makan dulu!”, ajak Denu yang
kelaparan karena belum sarapan.
“Aku entaran aja deh makan, yang
penting photo-an dulu”, sahut Rozi.
Seusai makan, ternyata photo-an
berlajut lagi. Kali ini Denu lah yang
paling semangat. Dan kami pun melebur dalam keceriaan ber-narsis-ria.
“Kapan ke Mangku Sakti-nya nih”,
gumamku.
Melihat kondisi itu, ku ragu
rencanaku ke Mangku Sakti akan terwujud. Walaupun demikian ku terus berupaya.
“Dev kemana lagi nih?”
“Mereka sih maunya ke Kebun
Strawberry, Rumah Adat, Kebun Apel, dan Rinjani Lounge. Tapi tolong ajak mereka
ke Kebun Strawberry aja terus arahkan mereka langsung ke Mangku Sakti”, bisikku
ke Ijong.
Ketika menuju tempat parkir, Denu
mengajak kami pergi photo-an ke bawah bukit yang dulu pernah kami jadikan
backround untuk photo. Ternyata embak Ika dan beberapa teman yang lain udah di
sana. Denu semakin ngotot ke sana.
“Kan udah banyak photo-mu di sana
waktu kita ke sini yang terakhir”, kataku ke Denu.
“Tapi sekarang suasananya beda”
“Sama ja, Den. Mending kita coba
spot lain yang lebih keren”, kataku mulai kesal.
Beberapa temen berusaha memanggil
embak Ika agar kami bisa segera melanjutkan perjalanan. Namun sepertinya embak
Ika enggak mendengar panggilan berulang-ulang itu.
“Kalau dipanggil lama tuh, kita
kan lewat depan mereka, mending sekarang kita jalan, entar mereka pasti segera
ikut kita juga”, usulku otoriter.
Tiba di Kebun Strawberry, terjadi
tawar-menawar yang sangat alot antara embak Moy dan si ibu pedagang. Pedagang
tersebut memasang harga 50 ribu/kg strawberry petik sendiri. Melihat kealotan
yang memakan cukup banyak waktu itu, aku lagi-lagi ngomong “Lebih baik beli
yang udah dipetik aja Embak biar cepet, kan kita mau ke Mangku Sakti juga”
“Tapi pengen metik sendiri”,
jawab Embak Moy.
“Gini deh yang mau metik silakan, kita tunggu di sini”, kata mas
Daniel.
Hanya tiga orang yang tetap mau
metik sendiri namun mereka belum berani juga merogoh kocek sebesar yang
ditetapkan oleh pedagang itu. Harganya udah diturunkan menjadi 40 ribu/kg namun
mereka belum sanggup juga.
Aku terus berupaya mempengaruhi mereka
agar bisa lebih cepat biar kami segera tiba di Mangku Sakti. Ya akhirnya mereka
tidak jadi metik sendiri, namun mereka tetep aja lama milih strawberry yang
dijajakan dipinggir jalan itu.
Aku, Rozi, dan Ijong jalan duluan
dan menunggu mereka di depan rumah adat. Cukup lama kami bengong nunggu di
pinggir jalan. Melihat kondisi itu, Rozi dan embak Nini memanfaatkan waktu
dengan pergi ber-photo-an di dalam Rumah Adat. Sekian lama yang ditunggu enggak
muncul juga,bosan pun menyeruak. Aku dan Rere pun berniat membunuh kebosanan
dengan ikutan ber-photo-an sama Rozi. Eh dari kejahuan mereka terlihat sudah
mendekat.
“Dev ayo kita duluan!”, ajak
Ijong.
“Duluan dah aku tunggu mereka
bentar”
“Aku tunggu di rumah aja ya, mau
ambil uang”
“Ok dimana rumahmu?”
“Di Bawaq Enao, entar kutunggu di pinggir jalan”
Selang beberapa menit kami
melintas di Bawaq Enao, namun batang hidung Ijong enggak kelihatan. Beberapa
ratus meter setelah Bawaq Enao. Kami berhenti di pinggir jalan karena enggak
tahu jalan ke Mangku Sakti. Denu dan Rozi balik arah mencari Ijong dan
informasi arah ke Mangku Sakti.
Selang beberapa menit Rozi muncul
dan langsung memimpin kami menuju tujuan. Jalan bertanah sekitar 4 km dengan
beberapa titik yang sangat terjal memaksa perempuan-perempuan yang kami bonceng
turun dan jalan kaki. Setiba di tempat parkir kami baru menyadari bahwa Denu
dan embak Ika enggak ada dalam rombongan kami. Sekian lama kami beristirahat di
sebuah warung bertenda biru di dalam hutan itu barulah Denu dan Ijong muncul.
Selanjutnya dari tempat parkir
perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit
melewati jalan setapak menurun, melewati bebatuan besar dan menelusuri aliran
sungai hingga tiba di lokasi air terjun.
Pada sebuah persimpangan di dalam
hutan kami salah jalur. Air Terjun yang kami tuju ternyata berada di jalur yang
lain. Kami pun segera balik ke jalur yang benar melintasi sebuah batu yang
sangat besar. Dari kejauhan kami takjub melihat keidahan air terjun Mangku
Sakti. Dan segera mendekat untuk photo sana photo sini, berenang dan melompat
dari tebing bebatuan.
Air Terjun Mangku Sakti (Dok. M. Rozi) |
Tak semua rombongan kami sampai
di air terjun hanya aku, Denu, Rozi, Rere, Ijong dan temen sekampungnya yang
mengeksplore pesona Mangku Sakti. Sisa rombongan kami hanya ber-photo ria di
batu besar dan aliran Kokoq Puteq. Sepertinya mereka memang kurang interest
pada air terjun.
Setelah puas meng-explore air
terjun berbelerang itu kami bergegas naik ke tempat parkiran. Dan rombongan
kami yang lain sedang asyik bercengkerama di sana.
Diskusi mengenai jalur pulang pun
mewarnai cengkerama kami. Ada yang tetap ingin pulang melalui Lombok Utara, ada
yang ingin pulang melalui Lombok Timur.
“Entar aja deh tentuin jalur
pulang, yang penting sekarang bisa keluar dulu dari jalan yang sangat terjal
ini”, kata mas Daniel.
Satu kilo meter terakhir menuju
jalan perkampungan warga Sajang, hujan menyemarakkan perjuangan kami. Begitu
tiba di jalan raya, diskusi mengenai rute pulang berlanjut.
“Yang masih mau cepet nyampe
rumah silakan lewat Lombok Timur. Yang masih mau jalan-jalan ikut saya lewat
Lombok Utara”, saran mas Daniel.
Akhirnya Rozi dan embak Nini,
Ijong dan temennya, Yuni dan mas Panji, Aku dan embak Ika pulang lewat Lombok
Timur. Sementara itu, mas Daniel dan embak Agnez, embak Moy dan Soni, Denu dan
Rere pulang lewat Lombok Utara.
Aku memilih pulang lewat Lombok
Timur karena masih berharap bisa nonton laga perempat final kesebelasan sepak
bola kampungku walau hanya di menit-menit terakhir babak kedua. Namun kenyataan
berkata lain, rute Lombok Timur yang seharusnya memakan waktu lebih sedikit
ternyata menjadi lebih banyak karena hujan lebat mendera dari Aiq Mel hingga
Narmada. Jarak pandang menjadi sangat terbatas hingga aku hanaya bisa melajukan
kendaran dengan kecepatan 20-50 km/jam.
Di tengah hujan lebat aku sempat
ngobrol dengan embak Ika dengan setengah berteriak.
“Embak ada satu yang lupa kita
bawa nih!’
“Apa?!”
“Snorkeling, kita kayak naik
motor di dalem air aja nih gara-gara hujan ini”, kataku berkelakar.
Teman-teman yang pulang lewat
Lombok Utara nyampe lebih cepat walaupun panjang rutenya hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan rute Lombok Timur. Saat itu Lombok Utara tidak diguyur
hujan. Mereka hanya menemukan hujan setelah masuk diwilayah Lombok Barat.
Satu hal yang masih sulit aku
percaya, aku berhasil mengijakkan kaki di air terjun Mangku Sakti dengan
rombongan yang nota bene-nya enggak punya ketertarikan untuk trekking.
Thanks God! It’s really a great
experience!
(Kereng Paoq-Lokoq Ara-Sesait-Kayangan-Lombok Utara 11-11-2014)
0 komentar: