MEMBUNUH KECEWA
(Adi
Dev Onk)
Tiba
lah aku pada puncak kemuakan terhadap
kekecewaan. Jiwaku memberontak. Kebencian yang sangat pun muncul begitu
tegas. Setiap hal yang berpotensi mengecewakan aku bantai terang-terangan.
Butuh
waktu puluhan tahun. Butuh sekian banyak
penolak kehendakku. Butuh begitu banyak situasi yang memuakkan. Sehingga aku
bisa menjadi pembunuh kekecewaan seperti sekarang ini. Dan diusia ku yang seperempat abad ini lah
aku memiliki kekuatan untuk membantai segala hal yang berpotensi melahirkan
bayi-bayi kekecewaan dalam kehidupanku.
“Berhenti berharap pada
orang yang enggak bisa diharapkan!”, teriak jiwaku penuh dendam. Dendam pada
kekecewaaan, dendam pada keadaan, dendam pada semua orang yang membuatku
merasakan kekecewaan. Bahkan pada kehidupan pun aku mendendam.
Seseorang
yang sangat dekat denganku lah yang sering mengajarkanku seperti ini. Dia tidak
mengajariku teori. Dia tidak mengajariku
menggunakan kata. Melainkan dia mengajariku dengan rasa. Ya dia
mengajariku dengan rasa. Dia mengajariku merasakan kekecewaan. Mungkin dia
tidak sengaja membuatku merasakan kekecewaan. Namun harus ku akui, bersamanya
lah aku begitu akrab dengan kekecewaan. Sejak kecil aku berteman baik dengan
kekecewaan. Kalau aku enggak salah ingat, dia lah yang pertama kali menyuruhku
berjabat tangan dengan kekecewaan. Aku pun menjadi dekat, berteman baik, hingga
akhirnya menjadi sangat akrab dengan kekecewaan.
Kertas
Putih, percaya enggak hingga sekarang aku belum punya kamar tidur? Aku yakin
seyakin-yakinnya kamu tidak percaya. Tapi itu benar, hingga usiaku seperempat
abad ini aku belum punya kamar sendiri. Begini ceritanya, dulu sewaktu kelas
satu SMP rumahku direnovasi. Setiap pulang sekolah aku harus ikut membantu
tukang bangunan. Semacam pelayan tukang bangunan gitulah. Ambil batu bata,
pasir, buat campuran pasir dengan semen dan lain-lain. Intinya melayani tukang
bangunan lah.
“Buatin saya kamar di
sisni ya”, pintaku padanya
“Ini buat kamar tamu”,
tolaknya
“Kan itu udah ada kamar
tamu”, protesku
“Kalau itu aja terlalu
sempit kamar tamunya”, dalihnya.
Penolakan itu adalah salah
satu kekecewaan dari sekian banayak kekecewaan yang aku terima darinya. Hingga
sekarang kamar itu hanya bisa aku miliki di dalam mimpi indah. Kamar itu hanya
aku dapatkan dalam hanyalan. Setelah aku banyak membuang waktu untuk merenung,
aku temukan penyebab penolakan itu karena kepelitannya. Kepelitan itu tercipta
karena kemiskinan yang melingkari hidupnya. Maka sejak itu aku teramat benci
pada kemiskinan, bosan pada kemelaratan, terlebih pada kemiskinan hati yang
membuat munculnya kekikiran.
Dua
atau tiga tahun kemudian. Aku masih sangat sering dicandai oleh kekecewaan. Dan
itu masih juga disebabkan oleh dia. Mulai dari motor yang seneng aku pakai
diutangkan pada orang. Terus aku disuruh pakai motor gadaian yang lebih jelek.
Motor yang lebih jelek itu mau akau perindah dengan mengganti velg-nya dengan
velg balok. Aku pun minta padanya untuk dibeliin velg tersebut namun lagi-lagi
dalam hal ini si kecewa ambil bagian dalam cerita kehidupanku. Dia menolak
dengan alasan velg balok seperti itu bikin rantai motor cepat aus dan bikin ban
mudah rusak parah. Seperti kecewa memang takdirku.
Aku
ingat dulu sewaktu sebagian besar teman sebayaku sudah memiliki hand phone. Aku
sangat ingin memiliki hand phone sama seperti mereka. Saat itu memang aku belum
terlalu butuh tapi keinginan untuk sejajar dengan teman-teman membuatku ingin
sekali memiliki HP. Bermodal keinginan yang kuat itulah aku beranikan diri
untuk meminta dibelikan HP. Dan jawaban yang langsung aku dapatkan adalah
penolakan kasar dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat
anak-anak sepertiku. Kurang lebih dia bilang seperti ini “Harga HP itu enggak
seberapa. Saya mampu membelikannya untukmu tapi nanti yang banyak menghabiskan
uang itu pulsanya”. Jelas sekali penolakan itu alasannya takut karna pulsa.
Maka entah berapa tahun setelah itu ketika aku diutangkan HP oleh ibu, aku
enggak pernah sama sekali minta diisiin pulsa. Meskipun saat itu aku masih
seorang pelajar SMA yang hanya mengandalkan beasiswa dari orang tua. Dan uang
jajanku pun hanya cukup untuk sebungkus nasi. Tapi aku bisa membuktikan aku
tidak membebaninya uang pulsa. Hal itu aku lakukan tiada lain untuk
menghindarkan diri dari kekecewaan.
Dalam
kisah cecintaan, kekecewaan juga menjadi tema utama di dalam naskah
kehidupanku. Aku salah jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seorang super play
girl. Banyak lelaki yang tergoda dengan kecantikannya. Dan sekian banyak lelaki yang mendekatinya
pun diterima. Lantas aku hanya menjadi salah satu pria dungu koleksi cintanya.
Dengan demikian, otomatis sekian banyak kekecewaan pun disumbangkan padaku.
Perempuan cantik itu menjadi manusia dermawan yang paling banyak mendermakan
kekecewaan kepadaku. Namun bodohnya aku, kok begitu lama bertahan dengannya.
Entah berapa kali putus-nyambung. Dia begitu mudah aku terima kembali.
Belakangan aku sok bijak mengakui kesalahanku dengan bilang “namanya juga dulu
cinta buta”.
Baru
beberapa tahun belakangan ini aku bisa realistis. Ya itu tidak lepas dari
pelajaran tentang kekecewaan yang sudah terlalu banyak aku dapatkan. Sehingga
rasa muak pun menyuruhku untuk meminimalisir kekecewaan. Ngomong masalah
realistis agar enggak kecewa, eh jadi inget sama sebuah cerita waktu di bangku
kuliah. Waktu itu demam Piala Asia melanda kampusku. Temen-temen sengakatanku
pun begitu fanatik membela kesebelasan Indonesia. Hampir semua sama. Mereka
girang minta ampun melihat Indonesia yang berjalan cukup mulus di babak
penyisihan. Kalau enggak salah tahun itu Indonesia lolos hingga ke babak final.
Di babak final dia berhadapan dengan negara yang kuat (aku lupa waktu itu dia
lawan Malaysia atau Myanmar). Bermodal pengetahuan tentang ritme kesebelasan
Indonesia dalam pertandingan seperti itu. Aku pesimis mereka bisa keluar sebgai
juara. Ya karena di beberapa kompetisi sebelumnya Indonesia selalu seperti itu.
Tampil membanggakan pada awal kompetisi namun lembek di laga final. Nah karena
itu lah waktu itu akau bilang ke teman-teman “Aku Cinta Indonesia TAPI TIDAK
MENUTUP MATA PADA REALITA”. Gara-gara sikapku yang seperti itu temenku benci
padaku. Dulu aku juga fanatik membela Indonesia, tapi sekarang enggak mau
fanatik lagi karena biasanya bakal berakhir mengecewakan.
Masih
tentang kekecewaan, lebih spesifiknya tentang membunuh kekecewaan. Beberapa
bulan terakhir ini ada seorang perempaun cantik yang kuberikan kesempatan ke
lima (antara kesempatan ke 5 atau 6. Mungkin juga sih ke 7,8,9 dan seterusnya
soalnya aku lupa. Tapi yang jelas seringlah). Aku yakin yang langsung muncul di
otak kalian kok mau sih ngasih kesempatan lagi? Sebenarnya aku juga enggak mau
sih. Cuman jadi mau karena usaha keras dia untuk mendapat kesempatan itu.
Bayangain aku udah putus hampir tiga tahun lalu sama dia. Waktu itu dia yang
mutusin tanpa alasan yang jelas. Nah
setelah sekitar setengah tahun putus dia minta balikan lagi tapi aku enggak
gubris sama sekali. Ternyata dia kekeuh dan pantang menyerah. Entah berapa kali
dia minta waktu untuk ketemu tapi aku tetep aja enggak mau. Aku ogah banget
dikecewain dikecewain lagi. Berbagai cara dan alasan digunakan untuk bisa deket
denganku. Ya tapi tetep aja aku enggak mau layanin dia. Lama kelamaan aku mulai
lebih bijak, aku mulai mau balas SMS-nya. Yang akau balas sih SMS yang topiknya
selain mengenai balikan. Kalau dia udah mulai bahas balikan, aku enggak mau
bales.
Singkat
cerita hampir dua setengah tahun dia masih berusaha mendapatkan kesempatan itu.
Meliahat usahanya yang sekeras itu ya aku luluh juga. Sampai akhirnya aku mau
ketemu untuk pertama kali. Dan berlanjut untuk keteu yang kedua. Terus aku
mulai jaga jarak lagi. Pokoknya kelihatan deh aku menghindarinya. Aku semakin
jauh. Semakin hari semakin jauh. Dan ternyata dia bosan dan mulai menyerah.
Sekian lama enggak dikejar-kejar oleh dia kok jadi kangen. Dan aku pun nelpon
dia duluan. Ngobrol laykanya teman. Berbagi cerita dan bercanda. Sampai juga ke
obrolan tentang buku dan perpustakaan pribadiku. Katanya dia mau menyumbangkan
buku dan benar saja besoknya dia datang ke rumahku membawa belasan buku. Cukup
lama lah ngobrol buku ini buku itu, penulis ini penulis itu, dan bla bla bla.
Sejak
kejadian itu kami mulai sering jalan bareng. Pada suatu ketika dia maksa aku ke
pantai dan di sana dia ungkapin penyesalan dan permohonan maaf serta
keinginannya untuk balikan.
“Maafin aku ya”,
katanya membuka obrolan serius
“Tanpa kamu minta maaf
aku sudah maafin..Tapi dulu kau sudah pernah bilang kan bahwa memaafkan bukan
berarti melupakan!”
“Apa sih yang membuatmu
begitu ingin maaf dariku?”, lanjutku
“Karenaku sadar arti
pentingnya orang yang tulus mencintaiku”
“Sekarang aku sudah
enggak mudah percaya sama kata-kata. Kamu perempuan cantik, usiamu sudah
segini. Apa sih yang menarik dari lelaki yang belum mapan sepertiku ini”,
kataku beretorika.
“Eh kamu hanya sebatas
minta maaf kan? Tanpa embel-embel yang lain?”, kataku pura-pura begok
“Ya” jawabnya malu
mengakui tujuan utamanya.
“Baguslah kalau gitu”
“Masak sih kamu enggak
ngerti”. Tukasnya.
“Aku enggak berani
berharap”, kataku pesimis.
“Apa yang enggak
diberaniin?”
“Aku enggak sanggup
kecewa”
“Please percayalah
padaku!”
“Aku enggak mudah
percaya hanya pada kata”
“Terus?”
“Buktikan!”
“Caranya bagaiamana?”
“Enggak pakai cara.
Nanti biarkan waktu yang membuktikan”
Romansa
berjalan indah seiring waktu berjalan. Kerinduan bersinggahsana dalam dada dua
manusia. Semilir angin berhembus mesra. Nafas-nafas rindu semakin meraja. Dunia
seolah tak pernah mengenal kecewa. Asa melukis senja bersama semakin nyata.
Begitu indahnya. Namun kejujuran waktu mulai bicara. Bintik-bintik kecewa
datang menyapa. Keraguan menyelinap menusukkan kecewa.
Dua kali pengingkaran
janji mulai mewarnai hari. Hiasan kebohongan pudarkan harapan. Dan gairahku
membunuh kecewa kembali berjaya.
Setidaknya
empat kali perempuan itu memintaku ke rumahnya. Namun kekecewaan atas
pengingkaran janjinya melarangku kesana. Perempuan itu sadar pengingkaran janji itu menjadi malapetaka.
Setelah sekian hari enggan menghubunginya duluan, kali ini ku menghubunginya
tapi bukan untuk memperbaiki hubungan melainkan untuk membunuh kekecewaan.
Obrolan via SMS pun terjadi. Seperti ini lah obrolan itu:
“Eh kaca mata saya
masih di sana ya?”
“Ya”
“Entar kalau kamu mau
keluar, tolong titipin di siapa aja ya disana. Entar saya mau ambil. Makasi
sebelumnya”
Membaca pesan singkat
dengan redaksi seperti itu, perempuan itu langsung mengerti kemana arah
hubungan itu akan bermuara. Maka dia membalas SMS dengan redaksi seperti
berikut:
“Ingatkah kamu waktu memintaku ngomong ke Ibu
tentang nikah beberapa waktu lalu itu? Itu lah yang saya lakuin selama ini. Dan
beberapa kali saya udah nyuruh kamu ke rumah buat omongin itu tapi saya enggak tahu,mungkin
usaha positif saya selama ini tertutup oleh pikiran-pikiran negatifmu terhadap
saya!”
“Sebelum kamu ngomong
ke ibumu saya juga udah diskusi dengan bunda saya mengenai hal itu. Yang saya
tahu kalau orang benar-benar cinta, maka orang yang dicintai itu prioritas.
Udah tiga kali saya uji tapi kenyataannya saya bukan prioritas”
“Terus kamu hanya
berpatokan pada ujian prioritas itu? Saya enggak bilang kamu salah, justru
sebaliknya karena itu sangat wajar. Tapi apa kita tidak bisa sesekali melihat
sisi lain dari tujuan kita?”
“Memang itu barometer
yang terlalu sederhana, Tapi kalau yang terlalu sederhana saja kamu tidak bisa
bagaimana dengan yang enggak sederhana!”
“Terkadang memeng ada
alasan yang yang tidak bisa kita jelaskan secara tidak langsung, dan yang saya
rasain kamu enggak pernah kasih saya kesempatan untuk itu. Karena ketika kamu
kecewa ya udah kecewa. Kenapa kamu tidak mau dengar penjelasan itu?”
“Apa lagi sih yang
perlu dijelasin? Ingat waktu kamu membawaku ke pantai itu? Kan disana saya
bilang saya udah enggak mudah percaya dengan kata. Saya mau mencoba menerimamu
kembali dengan satu syarat yaitu dengan pembuktian kesungghan cintamu oleh
waktu”
“Banyak orang yang
keliru tentang kebahagian yang sesungghnya. Kebahagian tidak didapat dengan
kepuasan diri, tetapi dengan kesetiaan pada tujuan. Ya Allah ikhlaskan hati ini
untuk melihat kebenaran, bukan pembenaran”
Membaca SMS terakhir
yang menggurui itu membuatku malas membalasnya lagi. Ku acuhkan Hand phone.
Dalam hati ku bergumam “Sudahlah simpan saja teorimu tentang kebahagian!
Kebahagian itu bukan teori. Kebahagian itu rasa. Dan yang aku rasakan aku tak
bahagia dengan pengingkaran—pengingkaran janji dan pengabaianmu!”
Ketapang, Oktober 2014 | 03:26
0 komentar: