KAU TAK INGIN, KU TAK INGIN
KAU TAK INGIN, KU TAK INGIN
Fakta Patahnya
Jempol Suhardi
Setelah kemarin sempat cedera
ringan di tangan kiri, sore ini aku sedikit males main bola lagi. Aku
melihat-lihat ke halaman Sekolah Darussalam yang dijadikan tempat bermain bola,
kali ini aku enggak bermaksud nonton tapi bermaksud mencari Rozi. Teman
yang ku cari tak berada di sana, aku pun
memutuskan buat membantu bibi melayani pelangan di kiosnya yang berada di dekat
lapangan tersebut. Cukup banyak pembeli yang ku layani dan ketika udah sepi aku
duduk di kursi yang terletak di depan kios. Kursi yang terbuat dari bambu itu
menghadap persis ke lapangan bola itu.
Bosan dengan kesendirian itu, aku
pulang ganti baju dan akhirnya ikut main bola.
“Yaqko milu aoq”, pintaku.
“Aoq, langan to
eleq”, kata
Suhardi.
Di
halaman sekolah yang enggak terlalu lebar itu permainan bola ala anak kampung
berlangsung. Kaki telanjang tanpa sepatu, bermain dengan kuota tak terbatas,
siapapun yang mau main bisa langsung masuk lapangan. Maka enggak aneh jika kami
sering main dengan pemain yang sangat banyak dan tidak sesuai dengan luas
halamn sekolah yang kami jadiakn lapangan bola tersebut.
Ada rasa yang agak aneh di kaki
sebelah kiriku. “Mungkin disebabkan belum pemanasan sama sekali”, gumamku. Aku
coba melakukan sedikit streching buat menghilangkan rasa kaku itu namun tak
terlalu berpengaruh. “Mungkin ini pertanda buruk”, pikirku. Oleh karena itu aku
bermain sangat hati-hati buat meminimalisir kemungkinan cedera. Cukup lama kami
bermain, goal demi goal terjadi ke gawang timku.
“Eleq e tama Nuriadi
nu maq sere dearaq perlawanan e”,
kata Suhardi dengan nada bercanda.
“Aoq ah. Maeh kenaqan
tan ta maen”,
kataku ke teman-teman. Permaianan berlanjut dan timku beberapa kali bisa
berhasil mencetak goal. Semakin lama semakin asyik kami bermain. Keringat mengucur
membasahi baju kami. Tensi permainan semakin tinggi, kami pun semakin
bergairah. Aku yang tadinya bermain sangat hati-hati. Kini mulai sedikit lupa
dengan kekhawatiranku dengan firasat buruk di awal permainan tadi. Perebutan
bola terjadi antara aku dan Suhardi, Kami sama-sama menendang bola rebutan itu
dengan keras. Gerakkan kakinya sedetik
lebih gesit dari pada aku. Bola itu terdentang keras ke arah samping
olehnya. Kemudian kakinya yang masih mengayun keras di udara itu mengenai
tulang kering kaki kiriku. “Broooook!” Dia langsung tertidur merintih
kesakitan. Dia intruksikan Fauzul dan Aswadi menarik kakinya yang sakit itu. Ku
kira dia cuma keram biasa Namun ternyata tulang jempol kaki kanannya patah. Aku
speechless melihat jempol kakinya
yang mendongak ke atas karena patah tulang itu. Orang yang berada di sekitar
lapanagan itu menjadi heboh karena melihat Suhardi tergeletak menahan sakit di
tengah lapangan. “Astaga sai cekok nu”, kata
seorang ibu.
“Sai nu kaq?”, kata ibu yang lain.
“Suhardi”, jawab seorang remaja.
“sang kelengkong
e”, kata ibuku
sambil menghampiri.
“Adooooh..! maq
kelengkong ning e”,
kata Suhardi kesal sambil menahan sakit.
“Adeq e
kembe-kembe”,
kata Fauzul berbohong agar warga tak semkain heboh.
“Maq momot sita,
dong opong e dit aruan beng e nginem!”, kata Ibuku.
“Aruan baitang e
aeq!”, kata
seorang pemuda.
Sama seperti aku, sebagian besar
teman-teman kami bermain yang lain bingung tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu
harus melakukan apa untuk menolong Suhardi. Fauzul berinisiatif menggendongnya
dan bilang “Enteh ta jauq e baq tuaq
Maat!”.
Pertama-tama
Fauzul bermaksud hanya memapahnya namun Suhardi benar-benar tak bisa jalan
sedikitpun. Oleh karena itu Fauzul terpaksa menggendongnya hingga badan jalan.
“Dendeq opong
dateng balen tuaq Maat. Kembelas laloq e tau laun. Rozi montor deq te yaq ta
adu jauq e mae!”,
perintah Fauzul.
Suhardi
kesulitan naik ke atas jok motor itu. Dengan susah payah sambil merintih
kesakitan akhirnya dia bisa menaikinya. “Dong
dendeq beng mesaq terq e laun”, kata seorang lelaki.
Tapi
belum selesai lelaki itu bicara Fauzul sudah memacu motor itu dengan segera.
Aku dan Aswadi berlari mengejar dari belakang. Begitu tiba di rumah tuaq Maat Aku dan Aswadi langsung
membopong Suhardi turun dari motor dan menidurkannya di beranda tuaq Maat, si tukang urut.
Sontak
warga berkerumun menyaksikan kejadian itu. Dengan telaten tuaq Maat mengurut jempol kaki yang patah itu. Sementara itu,
Suhardi mengerang menahan sakit.
“Dendeq beriin inaq e juluq, yengkaq e kurang
sehat nu laun kembelas e.”, kata inaq
rari Asiah.
“Na e adeq yaq aru
lampaq baq Malasya apa kanak te”,
kata seorang lelaki dewasa.
“Aoq kadi nu
mentelah juluq maen bal lamunta yaq aru lampaq nu”, timpal seorang ibu.
Banyak warga yang mengira-ngira
bagaimana proses kejadiannya sehingga Suhardi bisa cedera parah seperti itu.
Banyak pula versinya namun tak satu pun yang tepat. Inaq rari Rukiah menangis melihat putranya terlentang kesakitan.
Sementara itu, sebagaian besar sanak keluarganya yang lain menyesalkan kejadian
itu. Akan tetapi masih ada orang yang begitu bijaksana menerima musibah itu
dengan sabar.
“Mula perjanjiannya
aran e”, kata tuaq Rahbi dengan bijak menerima ujian
yang dialami putranya.
“Lailah jangkaq
lekok tanaq nu isiq e”,
kata Fauzul berbohong untuk kebaikan.
Infomasi
palsu yang diberikan itu diterima sebagai kebenaran oleh sebagian besar warga
yang berkerumun di tempat itu. Di satu sisi kebohongan itu menguntungkanku,
tetapi di sisi lain nuraniku sendiri ingin menentang dan ingin memberikan
informasi yang sebenarnya. Aku memilih diam. Mungkin kebohongan Fauzul itu
adalah cara terbaik untuk sementara ini.
Ketika tuaq Maat menyelesaikan tugasnya, aku langsung mengambil posisi
untuk menggendong Suhardi. Akan tetapi, Aswadi lebih dulu mengambil posisi yang
ku maksud.
“Ku jari opong
maeh”, pintaku
“Kancanta dua tanta, diq jagaq nae e te”,
usul Aswadi.
Aku tetap ingin menjadi orang
yang menggendong Suhardi namun sepertinya Aswadi juga menginginkan hal yang
sama. Saat kami masih berebut tiba-tiba tuaq
Rusniadi mulai mengangkat tubuh pria yang sedang kesakitan itu. Pada akhirnya
aku ditugaskan untuk menjaga kaki yang patah itu agar tak terbentur tembok di
gang sempit yang kami lalui. Beberapa menit mengusung tubuh itu, tibalah kami
di rumah Suhardi. Di ruang tamu kami baringkan dia dan para tetanggapun
berdatangan.
Cukup lama aku berdiskusi dengan
rasa bersalahku karena melihat air mata dari ibunda Suhardi. Air mata seorang
ibu memang selalu bisa membuatku jadi lelaki sensitif yang cendrung cengeng. Di
tengah keramain itu beliau terus menangis seolah tak percaya dengan apa yang
terjadi. Pertunjukan kesedihan itu semakin membuatku merasa bersalah.
“Kembeq jari tan e baru tia?”, tanya Saupi.
“Kenyang laloq tan
ko pulaq, terusko nendang biqang balung”, Suhardi menjelaskan.
“Mun meno dong
bawaq lai e polak naen deq te, iniq e bae baq atas”, Saupi mencium aroma kebohongan
dalam penjelasan itu.
“Bagusan tan
ajahangko adin deq te, Upi. Pageh laloq e nya!”, kata ibu Suhardi.
“Wa karing-karing
telu jelo te uwaq e ni Inaq, bagusang angen bae”, kata Suhardi menghibur ibunya.
“Yaqta uleq juluq
enteh, uli ampoqta kete!”,
ajak Aswadi kepadaku..
“Aoq enteh”, jawabku
“Saweq Isya te
kumpul leq Perempatan, nyugulangtan ta aoq siq ta jangoe”, usul Aswadi.
Karena
arah rumah kami berbeda, kami berpisah. Kami sepakat akan menjenguk Suhardi
sehabis Isya dengan mengajak teman-teman yang lain. Ku siapkan beberapa makanan
dan obat pereda nyeri yang akan ku bawakan. Sehabis Isya aku dan Aswadi
langsung ke sana dan menyuruh teman-teman yang lain menyusul.
“Dendeq ngelah
nyugulang waq, saweqko siepang jaja saq yaq ta jauq nu”, intruksiku ke Aswadi.
“Dong ni siq entuk
e, rokok endah jauqang”,
usul Aswadi.
“Aoq engkah”, kataku menyetujui.
“Lewah deq bentek e
jaja te?”, tanya
Aswadi meragukanku.
“Aoq enteh”, jawabku dengan mantap.
Tak
lama setelah itu kami sudah berada di depan pintu rumah Suhardi. Pemandangan
yang mengiris hati tersaji. Suhardi ngesot
dengan susah payah menuju kamar mandi. Dia hendak kencing. Rintihannya menahan
sakit terdengar begitu jelas keluar dari mulutnya.
“Assalamualaikum”, kataku.
“Waalaikum salam”, jawab Saerani yang merupakan
saudari sulung Suhardi.
Saerani
mempersilakan kami duduk, kemudian membuka obrolan dengan menceritakan kejadian
yang tak kami ketahui.
“Lamun sita ite kek
jigah e, laguq lamun sita uleq dearaq tau kenaq isiq e. Baruq naken e ribut
mele e belewas e”,
kata Saerani.
“Ni siq jaga-jaga
ning e ngemut olong”,
kataku sambil menyodorkan obat pereda nyeri kepada Suhardi.
Muji datang dan tak lama kemudian
satu per satu teman berdatangan. Hingga rumah itu begitu ramai. Bahkan Usen and the gank pun datang namun mereka
cuma melihat-lihat sebentar kemudian pergi karena tak tertampung oleh ruang
tamu itu. Aswadi, Fajri, Saya, dan Suhardi pun sempat bercanda. Kejadian itu
mengundang pernyataan ibu Suhardi.
“Ya ampoqko tunaq
gitaq sita uleq, sengaq adeq e pati rasanin sakit e lamun sita eleq tene”, kata beliau.
***
Singkat cerita aku sudah di
rumah, ku putuskan untuk menulis catatan harian ini. Hampir jam satu dini hari
aku masih asyik menulis. Tiba-tiba notebook
mati, sempat kesal karena catatan yang hampir rampung itu hilang. Untungnya autosaved-nya aktif sehingga tulisan itu
bisa “diselamatkan”. Setelah memastikan tulisan ini tersimpan, aku istirahat
karena besok jam enam pagi ku harus siaran. Akan tetapi satu jam berlalu aku
belum bisa tidur juga. Aku kepikiran dengan rasa sakit yang dirasakan Suhardi.
Ku kirimi dia pesan singkat.
“Olong adekko iniq
tidem indeng sakit e ngumutan naen deq te. Maap beleq-beleq olong atas musibah
saq adeqta pada meleang ni”,
begitulah bunyi pesan singkatku padanya.
“Wa dendeq pikirang
laloq olong! Embe bae tan ta, waq ia mula perjanjianta”, balasan SMS Suhardi paginya.
***
Ketapang, 6 Mei 2014 | 0:56 wita
0 komentar: